Keterangan foto: Kegiatan Sekolah Lapang dan Kursus Daring yang diadakan pada Sabtu, 5 Desember 2020 ini bertepatan dengan perayaan Hari Tanah Sedunia/MB

Denpasar, (Metrobali.com) –

Kegiatan Sekolah Lapang dan Kursus Daring yang diadakan pada Sabtu, 5 Desember 2020 ini bertepatan dengan perayaan Hari Tanah Sedunia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2014. Hari Tanah Sedunia memiliki visi memelihara seluruh makhluk di dalam tanah. Pemeliharaan dilakukan dengan mempertahankan keberagaman komunitas organisme yang akan menjaga kesehatan dan kesuburan tanah.

Hadirnya Hari Tanah Sedunia berangkat dari realita bahwa sepertiga tanah di bumi telah rusak akibat berbagai permasalahan lingkungan. Faktor utama dari permasalahan ini adalah pencemaran tanah yang menyebabkan ekosistem mikro organisme dalam tanah berkurang. Padahal kehadiran mikro organisme ini sangat penting untuk keberlanjutan dan kesuburan tanah.  “Tanah adalah yang paling penting, dan MOL [Mikro Organisme Lokal] berfungsi untuk menyuburkan dan menyehatkan tanah,” ungkap Roberto Hutabarat sebagai pemateri. Ungkapan ini betul adanya, sebab tanah yang subur akan menghasilkan tanaman yang sehat, meningkatkan pasokan makanan, dan melindungi ekosistem.

Meningkatkan Kesuburan Tanah

Mengambil momen Hari Tanah, Tanam Saja merespon degradasi tanah yang tengah terjadi dengan mengadakan Sekolah Lapang dan Kursus Daring untuk mengupayakan proses-proses dalam meningkatkan kesuburan tanah. Kegiatan ini dilakukan dengan pemberian materi dan praktek pembuatan MOL.

Komunitas organisme dapat diciptakan melalui pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL), yang biasa digunakan pada pertanian organik. MOL sebagai mikro organisme seperti bakteri kecil, kaki seribu, ataupun cacing akan bekerja mengurai tanah yang keras menjadi gembur dan membantu penyerapan unsur hara ke dalam tanah. Kemudian tanah yang subur akan berdampak pada kesehatan tanaman.

Pada Sekolah Lapang dan Kursus Daring yang bertema “Ngompos Yuk! Tanah Subur, Tanaman Sehat” ini, Roberto menjelaskan tentang peran pupuk cair, khususnya MOL di dalam tanah. Pupuk cair ini akan memberikan asupan makan pada tanaman, yang biasa kita kenal sebagai unsur hara. Dengan menghadirkan MOL pada tanah, berarti kita juga menghadirkan ekosistem di dalam tanah yang saling menguntungkan antar tanaman dan mikro organisme. “Dalam cara pandang pertanian organik, kita melihat tanah dan lingkungan sekitar sebagai makhluk hidup, mikro organisme hidup,” Jelas Roberto sembari menunjukan tanaman dan tanah di sekitar kebun.

Praktek pertanian organik pun memiliki konsep untuk bekerjasama dengan alam. Maka dari itu, membangun relasi yang baik dengan alam adalah sebuah keharusan. Hal ini berbanding terbalik dengan pertanian monokultur yang justru memusuhi alam, seperti memusnahkan makhluk hidup yang disebut hama dengan zat-zat kimia berbahaya.

Penggunaan zat-zat kimia seperti pestisida, fungisida, herbisida, maupun roundup akan menyebabkan mikro organisme dalam tanah berkurang, bahkan musnah. Dengan hilangnya mikro organisme dan “suntikan” zat kimia secara berlebih akan membuat tanah menjadi jenuh dan tidak produktif. Selain itu, konsumsi pada zat-zat ini pun berdampak pada ketergantungan petani terhadap perusahaan penyedia produk tersebut. Oleh karena itu, pembuatan MOL atau pupuk kompos lainnya dapat menjadi alternatif dari ketergantungan petani.

Dalam Sekolah Lapang kali ini, proses pembuatan MOL juga dipraktekan sebagai upaya memberikan pengetahuan secara langsung kepada petani maupun masyarakat yang baru mulai berkebun. “Kita kasi contoh, karena petani itu biasanya punya prinsip seeing is believingdia melihat dulu baru percaya,” kata Roberto sembari mempraktekan proses pembuatan MOL bersama peserta sekolah lapang. Proses pembuatan MOL ini menjadi cerminan dari cara kerja alam. Selain MOL, ada berbagai jenis cairan organik yang dapat digunakan dalam bertanam seperti pupuk organik cair (POC), kompos padat, maupun zat pengatur tumbuh (ZPT).

Menggunakan bahan-bahan organik selain menyuburkan tanah dan tanaman, juga berdampak pada keberlanjutan tanah itu sendiri. Hal ini diperoleh dari mikro organisme yang diciptakan untuk membangun ekosistem dalam tanah. Terciptanya ekosistem ini akan menyehatkan tanah dan tanaman, sehingga ketergantungan petani terhadap obat-obatan kimia akan berkurang. Kemudian petani pun dapat menghasilkan pangan secara mandiri, berkelanjutan, dan berdaulat.

Ancaman Kesuburan Tanah

Permasalahan tentang kualitas dan kesuburan tanah terjadi karena penggunaan bahan kimia berbahaya secara masif. Aktivitas ini biasanya terjadi pada industri pertanian yang mengandalkan bahan-bahan seperti pestisida, pupuk sintetik, fungisida, maupun roundup.

Fenomena industri pertanian di Indonesia yang mengandalkan bahan-bahan kimia berawal dari rezim Orde Baru yang menciptakan sistem Revolusi Hijau. Selama ±32 tahun Indonesia terjebak dalam revolusi hijau yang mengedepankan produksi pangan—beras—secara masif dan monokultur. Sistem ini menjadikan beras sebagai sumber utama pangan masyarakat Indonesia. Petani pun bekerja dengan prinsip meraih keuntungan semaksimal mungkin. Menurut Roberto, keuntungan itu memang harus ada, namun tidak dengan menghalalkan segala cara untuk produksi yang cepat dan instan melalui bahan-bahan kimia.

Revolusi Hijau dengan sistem monokulturnya menyebut produksi pangan beras yang masif sebagai capaian dari ketahanan pangan Indonesia. Meskipun capaian “beras yang melimpah” tidak berlangsung lama, karena memasuki dekade 1990-an, Indonesia kembali mengimpor beras mencapai ± 3 juta ton. Kemerosotan ini terjadi karena sistem Revolusi Hijau yang tidak mengedepankan keberlanjutan baik itu tanah maupun pertanian itu sendiri. Termasuk ketergantungan petani pada benih-benih hibrida ataupun GMO (organisme termodifikasi secara genetik), bibit di pasaran, pestisida, maupun roundup yang dibeli petani. “Semuanya petani akhirnya harus beli-beli terus, yang kaya perusahaan, kapitalisme, dan revolusi hijau yang merusak tanah,” jelas Roberto.

Berbicara tentang ketahanan pangan, Roberto sendiri lebih menyukai penggunaan kata kedaulatan ketimbang ketahanan pangan. Menurutnya, kedaulatan pangan lebih berorientasi pada industri, yang biasanya berskala besar dan monokultur. Hal ini berbanding terbalik dengan kedaulatan yang mencerminkan kemandirian pangan. Petani yang benar-benar memproduksi tanpa adanya ketergantungan pada industri.

Maka dari itu, pria yang memiliki pengalaman di dunia permakultur selama lebih dari 15 tahun ini mengungkapkan bahwa cara pandang petani dan masyarakat Indonesia pada umumnya harus dirubah. Perubahan ini dapat dilakukan dengan mengkampanyekan dan mempraktekan sistem petani organik, lebih-lebih permakultur.

Sistem Permakultur Untuk Keberlanjutan

Sistem organik merupakan bagian dari permakultur sebagai konsep yang lebih luas. Tidak hanya soal produksi kebun, permakultur juga mengedepankan sistem kerja sama dan membangun hubungan yang harmonis dengan alam. Seperti upaya kerjasama untuk menyuburkan tanah, menciptakan ekosistem, melindungi kelompok-kelompok lemah, dan saling berbagi. “Prinsip permakultur itu fair share, yaitu berbagi secara adil,” tegas Roberto.

Namun mengubah pola pikir monokultur yang sudah tertanam selama lebih dari 32 tahun bukanlah hal yang mudah. Maka langkah kecil pun sangat berarti dalam upaya ini, seperti prinsip permakultur yaitu small and slow solution. “Saya punya pengalaman tujuh tahun di Aceh, beralih ke permakultur itu memang sulit sekali, paling engga harus ada demplot [demontrasi plot],” kata Roberto.

Demplot permakultur nantinya akan menjadi penyuluhan dan percontohan kepada warga, khususnya petani. Roberto menegaskan bahwa tidak ada rumus kunci dalam pertanian permakultur, sehingga proses peralihan ini berlangsung secara lambat dan dimulai dari skala kecil. Permakultur merupakan gerakan yang mengedepankan conscious mind yaitu berawal dari paham kemudian sadar, dan muncul kemauan untuk berubah.

Upaya inilah yang dilakukan gerakan Tanam Saja untuk membangun sistem pertanian yang berdaulat dan berkelanjutan. Diantaranya mengadakan pembagian benih dan bibit gratis, kunjungan lapangan dan sekolah lapang ke kebun-kebun komunitas, serta membuat demplot permakultur. Hal ini disambut baik oleh anggota Tanam Saja, salah satunya Adopt A Family (AAF) Bali dalam Sekolah Lapang mengenai MOL. “Terima kasih telah menjawab ketidaktahuan saya selama ini dan memberikan pengalaman baru buat kami yang membuat kami lebih bersemangat dalam menanam,” ungkap Nando, peserta Sekolah Lapang dari AAF Bali.*