Komang Jun, Owner Manca Dewata Farm Sukses Maksimalkan Hasil Budidaya Ayam Caru
Karangasem (Metrobali.com)
Melihat tingginya permintaan akan Ayam Caru yaitu ayam yang dikhususkan untuk melengkapi keperluan sesajen/banten untuk umat Hindu di Bali serta potensi peluang usaha dengan keuntungan yang menjanjikan membuat I Komang Juniawan dengan cepat memutuskan untuk berinvestasi membangun Peternakan Manca Dewata Farm yang terletak di desa Ababi, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali.
I Komang Juniawan, Seorang anak muda yang juga sukses berprofesi sebagai leader perusahaan multilevel marketing yang menjajakan produk keuangan NET89 ini dengan jeli melebarkan unit usahanya yang bercita-cita ingin dapat memberikan dampak yang bermanfaat bagi masyarakat pedesaan, Komang Jun, panggilan akrabnya, merasa terpanggil untuk membangkitkan perekonomian masyarakat pedesaan dengan konsep yang terukur. Sebagaimana umumnya terjadi biasanya laju perkembangan perekenomian pedesaan selama ini dirasakan bergerak lambat, untuk itulah dirinya memulai sebuah usaha demplot percontohan di peternakan, perikanan dan pertanian di desa asalnya.
“Untuk memantapkan kesuksesan ekspansi usaha tersebut, kami sengaja menggunakan tenaga konsultan yang memang memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya, maka dimulailah proyek Manca Dewata Farm ini pada bulan Juli 2020. Awalnya dengan setting peternakan Ayam Caru yang menjadi topik nama usaha ini; Manca diambil dari kata Panca artinya lima, dimana untuk kepentingan upacara hindu, ada 5 jenis warna bulu ayam yang digunakan yaitu, hitam di utara, putih di timur, merah di selatan, putih kuning di barat dan brumbun di tengah tengah, dari perhitungan 5 penjuru Dewata menurut filosofi Hindu, maka usaha tersebut dinamakan Manca Dewata Farm,” tutur Komang Jun di kantornya di Denpasar, Rabu (29/7/2020).
Peternakan ayam caru atau sesajen menjadi pilihan utamanya, selain ditambahkannya juga dengan peternakan ayam pejantan untuk memenuhi permintaan Ayam Pedaging di Bali dan daerah lokal pada khususnya, serta Ayam Aduan sebagai sarana hobi. Dalam usaha tersebut, “Desain kandangpun sudah dibuat sedemikian rupa dan pakan ternak dibuat dan diolah sendiri dengan berbasis maggot BSF atau ulat belatung BSF,” ujarnya.
Apa itu maggot BSF? Black Soldier Fly (BSF) adalah nama yang “digandrungi” saat ini oleh banyak pihak khususnya para peternak tidak hanya di Indonesia tapi juga di banyak tempat di dunia. “Black Soldier Fly (hermetia illucens) atau Lalat Tentara Hitam (indonesia) adalah suatu jenis lalat dari sekian banyak yang tersebar di dunia yang memiliki banyak kelebihan dan manfaat bagi manusia,” terang Jun.
Kata “fly” disini artinya adalah “lalat”, jadi jangan kepleset dengan masih menyebut kata lalat BSF. Black soldier Fly (BSF) dan Maggot BSF adalah dua istilah/nama dari satu “jenis” hewan yang sama yang mempunyai perbedaan bentuk dan nama karena memiliki fase metamorfosis dalam siklus hidupnya seperti kupu-kupu dan ulat. BSF sendiri melekat pada fase lalat nya, dan maggot tentu saja pada fase larva nya.
Maggot BSF adalah fase yang dimulai sejak telur-telur dari bsf ini menetas. Larva/Maggot bsf ini dijelaskan sebelumnya memberikan banyak manfaat bagi manusia. Selama hidupnya maggot ini memakan hal-hal yang bersifat organik, dan ini dapat dimanfaatkan untuk menekan limbah organik yang sudah lama ini menjadi masalah serius bagi kita termasuk pemerintah.
Kemampuan mereka dalam melahap makanan organik ini sangat fantastis, dari jumlah 10.000 larva dapat menghabiskan 1Kg makanan organik dalam 24 jam. Jika satu ekor betina dapat menghasilkan 500 telur (minimal dari jumlah hasil penelitian 500-900 buah telur), maka hanya dibutuhkan 20 ekor betina yang bertelur untuk menghasilkan 10.000 larva untuk mereduksi 1 Kg sampah organik setiap hari.
Maggot bsf ini juga memiliki nutrisi yang baik, kandungan protein dan asam amino yang lengkap dimiliki oleh maggot bsf dan hal ini menjadikannya digunakan sebagai sumber pakan alternatif yang baik bagi sejumlah hewan ternak seperti jenis unggas dan ikan, serta sejumlah binatang peliharaan seperti iguana, burung berkicau, dsb.
“Berdasarkan pemaparan diatas, diharapkan ternak dan daging yang dihasilkan lebih berkualitas, pertumbuhan ternak lebih cepat dan sehat, serta menekan biaya FCR (Food Cost Ratio) dari penggunakan pakan itu sendiri,” ujar Jun.
Dampak lainnya yang diharapkan adalah tidak adanya ketergantungan kembali terhadap pakan pabrikan yang semakin hari harganya semakin naik, serta tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mengolah limbah organik lingkungannya secara mandiri dan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Komang Jun membuat peternakan ini sebagai contoh yang baik dan cerdas untuk penduduk desa setempat dan saya membuka pintu jika ada yang hendak mengetahui tata cara pengembangan pertanian dan peternakan yang komprehensif dapat menghubungi saya di nomor 0858-5877-6765 untuk informasi mengenai bagaimana membuat pakan secara mandiri dan potensi ternak ayam sajen untuk provinsi Bali, dimana saat ini belum ada perkampungan yang secara khusus sebagai cluster pengembangan Ayam Caru/Sajen. (hd)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.