Salah satu tempat penyulingan arak tradisional di Sidemen, Karangasem-

Karangasem, (Metrobali.com)

Pengerajin arak tradisional khawatir melihat fenomena kurangnya minat generasi muda untuk melanjutkan usaha sebagai pengerajin arak tradisional yang sudah diwariskan secara turun – temurun.

Kehawatiran para petani sekaligus sebagai pengerajin arak tradisional ini bukan tanpa alas an. Jika melihat fenomena yang terjadi belakangan ini, sangat sedikit anak muda yang mau meneruskan usaha sebagai seorang petani penyadap tuak maupun pengerajin arak tradisional. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk merantau mencari pekerjaan di Denpasar.
“Anak muda lebih memilih bekerja merantau di Denpasar ketimbang dikampung menjadi nyadap tuak ataupun sebagai pengerajin arak tradisional,” tutur Ketut Togog salahg seorang petani penyadap sekaligus pengerajin arak tradisional asal Sidemen, Karangasem kepada media ini saat ditemui dirumahnya beberapa wakti lalu.

Jika ini terus terjadi, maka dikhawatirkan bakal berdampak terhadap jumlah pengerajin arak tradisional. Padahal menjadi seorang petani penyadap tuak dan pengerajin Arak tradisional bukan hanya soal ekonomi namun juga melestarikan warisan leluhur.

Sehingga apabila tidak dilestarikan mulai saat ini, maka bisa dipastikan sedikit demi sedikit keberadaan petani tuak sekaligus pengerajin arak tradisional lambat taun pasti akan terus berkurang dan berakhir dengan kepunahan.

Dari pengamatan dilapangan, saat ini saja, yang masih menekuni sebagai seorang pengerajin arak dan penyadap tuak adalah mereka yang rata – rata telah berusia diatas 35 tahun. Kendati beberapa anak muda masih ada yang mau neruskan usaha kerajinan arak tradisional dan penyadap tuak namun jumlahnya sangatlah sedikit kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk merantau bekerja didaerah Denpasar.

Sementara itu, Ketut Togog sendiri adalah seorang Petani Penyadap tuak sekaligus pengerajin arak tradisional yang telah dijalani secara turun temurun.  Usaha Ketut Togog sendiri diwariskan oleh almarhum ayahnya.

Dari sisi ekonomi harga arak tradisional ini untuk satu liternya dihargai dengan harga Rp. 60 ribu untuk kualitas kelas satu. Sementara Rp. 30 ribu untuk arak dengan kualitas kelas dua.

Dalam sekali proses penyulingan secara tradisional, Togog memasak sekitar 120 liter tuak kelapa. Prosesnya pun tidaklah terlalu lama hanya hitungan jam saja sudah bisa menghasilkan arak. Dari 120 liter tuak Togog bisa menghasilkan 15 liter arak. 10 liter arak dengan kualitas kelas 1 dan 5 liter arak kualitas kelas 2.

Hanya saja, untuk mendapatkan tuak hingga 120 liter perlu waktu untuk mengumpulkannya. Togog sendiri setiap harinya hanya berhasil mengumpulkan rata – rata sebanyak 25 liter tuak dari 25 pohon kelapa yang ia sadap.

Dengan kondisi saat ini, dirinya berharap dengan adanya wacana dilegalkannya arak tradisional ini bisa menumbuhkan minat generasi muda sehingga keberadaan pengerajin arak tradisional tetap lestari dari kepunahan. Editor : Sutiawan