Ratusan sivitas akademisi UGM berharap Jokowi memperkuat KPK, bukan sebaliknya.(Foto:VOA/ Nurhadi)

Meski laju perubahan Undang-undang KPK sepertinya tidak terbendung lagi, para akademisi di UGM tetap menaruh harapan bahwa Jokowi akan berpikir ulang. Mereka berkumpul, menyatakan sikap, membaca puisi dan mengirimkan doa kepada salah satu alumni kampus itu, yang mereka panggil Mas Joko.

Puisi berjudul “Mas Joko, Kami Mengandalkanmu” dibacakan oleh Wahyudi Kumorotomo, dosen di Universitas Gadjah Mada. Sebelum membacanya, dia mengatakan bahwa masa kuliahnya di UGM tak berbeda jauh dengan ketika Presiden Jokowi menjadi mahasiswa di Fakultas Kehutanan. Puisi itu mengingatkan Jokowi, yang dipanggil sebagai Mas Joko, tentang secuil kenangan bersama di bangku universitas.

“Ingatlah ketika kita sama-sama menikmati nasi kucing. Menikmati gudeg. Menikmati mie dingin. Di Lembah Bulaksumur. Di Selokan Mataram. Di atas Puncak Merbabu….”

Wahyudi Kumorotomo membacakan puisi untuk ikut mengingatkan Jokowi dalam melangkah. (Foto: Humas UGM)
Wahyudi Kumorotomo membacakan puisi untuk ikut mengingatkan Jokowi dalam melangkah. (Foto: Humas UGM)

Pembacaan puisi itu menjadi salah satu bentuk keprihatinan sivitas akademisi UGM terhadap revisi UU KPK. Mereka menilai, rencana itu tidak memperkuat lembaga anti rasuah, namun justru sebaliknya. Jokowi, meski sudah mengeluarkan surat persetujuan pembahasan RUU tersebut, dinilai masih bisa mencegah hal buruk terjadi. Setidaknya dengan lebih teliti melangkah, dan jika memang ingin melakukan perubahan UU KPK, semestinya dilakukan secara lebih cermat.

Ratusan sivitas akademika UGM itu, terdiri dari para guru besar, dosen, pegawai dan mahasiswa berkumpul pada Minggu (15/9) di Balairung kampus setempat. Mereka mengenakan pakaian hitam sebagai simbol duka. Poster-poster bernada protes juga dipajang. Pernyataan sikap dari perguruan tinggi lain, seperti sivitas Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro dan Universitas Airlangga ditayangkan melalui jaringan internet.

Ketua Dewan Guru Besar UGM, Koentjoro yang membacakan pernyataan bersama memaparkan, ada upaya sistematis pelemahan KPK.

“Pelemahan KPK dan gerakan anti korupsi yang agresif dan begitu brutal dalam beberapa pekan terakhir sungguh melecehkan moralitas bangsa kita. Hati nurani telah dicampakkan secara terang-terangan,” kata Koentjoro.

Sivitas UGM menilai pengajuan RUU KPK tidak mengikuti prosedur legislasi, proses pemilihan capim KPK penuh kontroversi, dan juga terjadi teror kepada akademisi aktivis anti korupsi. Semua itu akan melemahkan KPK, gerakan anti korupsi dan sendi-sendi demokrasi. Jika dibiarkan, amanah reformasi dan konstitusi berada dalam kondisi amat berbahaya, tambah Koentjoro.

Karena itulah, sivitas UGM meminta DPR dan pemerintah menghentikan segala tindakan pelemahan terhadap KPK.

“Kedua, menghentikan pembahasan RUU KPK, karena prosedur dan substansinya yang dipaksakan berpotensi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi dan menjadi akar dari carut marut persoalan akhir-akhir ini. Ingat, semua ini terjadi dalam kondisi perekonomian yang menghadapi potensi resesi,” tambah Koentjoro.

Sivitas UGM juga meminta dilakukan evaluasi pembahasan RUU lain yang melemahkan gerakan anti korupsi. Misalnya, memisahkan pasal-pasal anti korupsi dari revisi UU KUHP dan melakukan revisi UU Tipikor untuk mengakomodasi rekomendasi lembaga anti korupsi PBB, UNCAC. Selain itu, pembahasan beberapa RUU terkait Sumber Daya Alam seyogyanya tidak dipaksakan selesai dalam waktu dekat untuk memastikan tidak adanya state captured corruption di dalamnya.

Semua pihak juga diminta menyadari situasi krisis yang terjadi, dan bersama-sama mengakui telah terjadi pergeseran dari amanah reformasi dan konstitusi. Karena itu, kata Koentjoro, Indonesia wajib kembali ke rel demokrasi, sesuai haluan reformasi dan amanah konstitusi.

Zaenal Arifin Mochtar, pakar hukum UGM dan aktivis anti korupsi.(Foto:VOA/ Nurhadi)
Zaenal Arifin Mochtar, pakar hukum UGM dan aktivis anti korupsi.(Foto:VOA/ Nurhadi)

Pakar Hukum UGM, Zaenal Arifin Mochtar mengatakan, desakan ini tidak berarti mereka paling memahami persoalan. Desakan tersebut lebih sebagai upaya untuk berbagi kehawatiran akademisi mengenai nasib KPK ke depan. Perubahan UU KPK yang dipaksakan, bagaimanapun tidak bisa diterima.

“Saya yakin presiden tidak mendapatkan asupan analisis yang cukup. Saya yakin betul itu. Presiden tidak mendapatkan analisa yang lengkap. Tidak mendapatkan hal-hal yang luar biasa. Sehingga Presiden melakukan langkah yang boleh dipandang keliru. Tidak tepat. Hari ini kami mengingatkan. Hari ini kami memberikan batasan kembali, bahwa ada yang harus diperhatikan, yaitu pemberantasan korupsi itu sendiri,” kata Zaenal.

Zaenal menambahkan, proses pembahasan RUU KPK saat ini ada di DPR pada bagian yang disebut sebagai pembahasan dan persetujuan. Mereka berharap, presiden menolak membahas dan menyetujui. Dengan langkah itu, revisi UU akan langsung berhenti.

UGM juga berharap Presiden mau mendengarkan masyarakat untuk melengkapi sudut pandang atas polemik ini. Agar analisanya lengkap, Jokowi semestinya memanggil berbagai pihak seperti perguruan tinggi, para pakar, dan juga KPK sendiri.

Berbagai poster dibawa mewakili aspirasi kepada Presiden. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Berbagai poster dibawa mewakili aspirasi kepada Presiden. (Foto:VOA/ Nurhadi)

“Jangan hanya mendengarkan orang-orang dan kepentingan politik tertentu. Lebarkan perspektif untuk mendapatkan gambaran utuh, bagaimana UU KPK ini,” tambah Zaenal.

Dalam sejumlah orasinya, para akademisi menyebut aksi keluarga besar UGM ini tidak lepas dari posisi Jokowi sebagai alumni kampus tersebut. Mereka tidak mau, KPK dilemahkan justru oleh seseorang yang menjadi bagian dari keluarg besarnya. Mereka ingin Jokowi kuat dan dapat diandalkan dalam upaya pemberantasan korupsi, seperti petikan paragraf terakhir puisi yang dibacakan.

“Dengarlah suara rerumputan di Bulaksumur, Kuatkan hatimu Kobarkan nyalimu Mas Joko, kami mengandalkanmu…” [ns/ab] (VOA)