13 Juli, 47 Tahun yang Lalu : Penggranatan Fakultas Sastra masih Disimpangsiurkan
SERAMBI depan Fakultas Sastra Universitas Udayana digranat orang. Peristiwanya terjadi 13 Juli 1966 tengah malam. Pelakunya, I Gusti Gde Rai Weda Adnyana, dipidana hukuman 5 tahun penjara. Sebanyak 11 orang mahasiswa, korban fitnah yang ditahan 8 sampai 22 bulan dan tak terbukti bersalah, dibebaskan. Sudah 47 tahun berlalu, tetapi kesimpangsiuran informasi masih saja terjadi. Dalam buku ”Menerobos Badai Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus” yang diluncurkan 28 Desember 2012, tersaji tulisan yang tidak sesuai dengan faktanya (halaman 343 dan 344).
Dalam buku yang ditulis Nyoman Wijaya itu disebutkan, ”penggranatan terjadi 20 Mei 1966”. Tiga dari 11 mahasiswa itu yakni Ketut Robin, Ketut Tama dan Wayan Bawa ”dikenai hukuman masing-masing tiga tahun. Delapan orang tertuduh lainnya dikenai kurungan masing-masing satu tahun”.
Mengapa sampai terjadi, dalam buku yang diharapkan dibaca para pewaris sejarah itu, justru tersaji informasi yang tidak benar? Mengapa terpidana I Gusti Gde Rai Weda Adnyana justru tidak disebut-sebut dalam tulisan itu?
Saksi-saksi sejarah yang memiliki kedekatan dengan peristiwa itu lewat ingatan dan catatannya sebenarnya bisa dimintai informasinya. Selain Bawa yang meninggal tahun 2005 dan Robin tahun 2006, sembilan korban fitnah yang kini berusia di atas 70 tahun itu sebenarnya bisa dijadikan narasumber. Begitu pula Ny. Bawa dan Ny. Robin yang dari hari ke hari selama hampir dua tahun turut merasakan penderitaan suaminya.
Berita dalam koran pun sebenarnya dapat dijadikan sumber informasi. Kliping-kliping yang kebetulan disimpan Darma Putra, peneliti sejarah media dan kebudayaan di Bali, yang menjadi sebagian acuan tulisan ini, kiranya dapat dijadikan sumber informasi.
Kesalahan kecil bisa dihindari jika penulisnya mengecek di lapangan bahwa yang benar lokasi rumah Ida Bagus Mantra saat itu di utara rumah Ngurah Bagus, bukan di sebelah selatannya.
Kilas Balik
Setelah tragedi G 30 S/PKI penjagaan gedung-gedung vital di Denpasar diintensifkan pada malam hari. Sejak 11 Juli 1966, selain dijaga waker, FS Unud juga dijaga anggota Resimen Mahasiswa Ugrasena.
Berita Suluh Marhaen Edisi Bali 15 Juli 1966 yang berjudul besar ”Granat Meledak di Fak. Sastera” menyebutkan, pada malam kejadian Resimen Ugrasena yang berjaga di bawah pimpinan Komandan Jaga Nyoman Astina. Granat meledak di bagian depan FS kira-kira dua meter di kanan depan pintu masuk. Pecahan-pecahan granat menghancurkan kaca-kaca pintu dan jendela serta teras gedung berlubang-lubang. Granat diduga diledakkan dari jalan yang jaraknya l.k.12 meter.
Beberapa hari kemudian Ketut Tama, B.A. dicari polisi. Tetapi, tidak ditemukan karena malam itu ia sedang tidur di luar Asrama Mahasiswa. Ia adalah mahasiswa angkatan I FS yang dibuka 29 September 1958. Begitu menerima informasi ia dicari polisi, Tama datang ke Markas Angkatan Kepolisian RI Resor Badung untuk menanyakan, ada apa polisi mencarinya. Sejak hari itu ia ditahan, terus-menerus sampai ia dinyatakan ”tidak terbukti bersalah dan segera dikeluarkan dari tahanan”, 31 Mei 1968 (Suluh Marhaen Edisi Bali, 4 Juni 1968).
Saat ditahan, status Tama mahasiswa FS tingkat doktoral, Ketua Umum GMNI Cabang Denpasar, Ketua IV DPD PNI/FM Bali dan anggota DPRDGR Provinsi Bali. Setelah itu Wayan Bawa diinterogasi dan ditahan sejak 3 Agustus 1966. Ketut Robin diinterogasi, kemudian sempat dibebaskan sebelum ditahan sejak 13 Oktober 1966.
Status Bawa asisten dosen/mahasiswa tingkat doktoral FS Unud, Komandan Resimen Ugrasena, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Unud, dan Ketua III Korda GMNI Bali-Nusra. Robin, mahasiswa FS Unud, Ketua I Korda GMNI Bali-Nusra.
Sejak 14 Oktober 1966 mulai ditahan delapan aktivis GMNI lainnya. Mereka bukan hanya dari kalangan mahasiswa FS Unud, juga dari fakultas lain bahkan juga dari luar Unud. Yang jelas, mereka aktivis GMNI. Yakni, I Gede Suartika (mahasiswa Unmar, Pegawai Teknis FKHP Unud), I Gusti Nengah Suraget (mahasiswa Akademi Koperasi, pegawai Jawatan Koperasi Badung), Sentot Mubyarto (karyawan Jawatan Penerangan Bali, mantan mahasiswa FS Unud), I Gusti Agung Ketut Nodher (mahasiswa Unmar, PNS di Paldam XVI Udayana), Made Paneca (mahasiswa FHPM Unud), Jaya Arison (mahasiswa Unmar, wirausaha), Nyoman Agus Bagiada dan Wayan Delun, mahasiswa FK Unud. Mereka menuturkan, selama dalam tahanan mengalami penganiayaan berat di luar perikemanusiaan.
Kedelapannya dibebaskan Juni 1967. Bawa dan Robin dibebaskan 20 Mei 1968. Mereka semua dibebaskan tanpa pernah menjadi terdakwa di depan sidang pengadilan, apalagi ”dihukum tiga tahun dan dikenai hukuman kurungan”.
Susun Strategi
Mengingat ditahan tanpa kepastian kapan berakhirnya dan akibat tidak tahan mengalami penyiksaan, mereka mengatur strategi: Ikuti saja kemauan penyidik, nanti dibuka apa yang sebenarnya terjadi di sidang pengadilan. Dengan strategi itu mereka berharap segera diadili.
Strategi itu diterapkan Tama. Di depan jaksa, ia berpura-pura tangannya gemetar tidak bisa menulis akibat penyiksaan. Ia minta jaksa itu yang menulis, menulis apa saja silakan. Tama tidak bersedia membaca tulisan jaksa itu. Ketika diminta membubuhkan tanda tangan, langsung Tama menandatanganinya tanpa pernah membaca pengakuan yang ditulis jaksa. Berdasarkan proses pemeriksaan seperti itulah Tama ditetapkan menjadi terdakwa (tertuduh), terdakwa satu-satunya dari 11 mahasiswa yang ditahan.
Tuduhan Jaksa Lintoyo kepada Tama, pertama merencanakan, kedua menganjurkan, ketiga mengadakan pertemuan politik dan keempat menyalahgunakan jabatan sehingga timbul kegoncangan di masyarakat. Namun, Jaksa mengaku tertuduh tidak ada hubungannya dengan perencanaan maupun peristiwa penggranatan. Karena itu Tama dibebaskan dari tuntutan I, II dan IV. Tama hanya dituduh melakukan pertemuan politik yang menyebabkan tujuan pokok dari revolusi terganggu jalannya; pertemuan tersebut tidak memakai izin dari yang berwenang. Tama dituntut hukuman 2 tahun 6 bulan tanpa potongan tahanan serta mengganti seluruh biaya perkara.
Setelah mendapat pembelaan dari AZ Nasution, S.H. dan I Nyoman Cakra, S.H., dalam sidang 31 Mei 1968 Hakim menyatakan Tama ”tidak terbukti bersalah dan segera dikeluarkan dari tahanan. Biaya perkara dibebankan pada Negara”. Pimpinan sidang, Hakim Ketua Tirtayasa, S.H. hakim anggota Sudharta, S.H. dan Sidiarsa, S.H.. Setelah vonis ditetapkan, hari itu juga Ketut Tama, B.A. dibebaskan dari tahanan.
Jaksa Lintoyo banding. Sidang banding menolak dan menguatkan putusan hakim. Lintoyo mengajukan kasasi ke Mahmakah Agung. Sidang kasasi pun tetap menguatkan putusan hakim PN Denpasar.
Penjara Lima Tahun
Sebelum Tama, diajukan ke meja hijau terdakwa I Gusti Gde Rai Weda Adnyana, mahasiswa Fakultas Sastra asal Peguyangan (Denpasar Utara). Jaksa Penuntut Umum Singgih, S.H. menuduh terdakwa tanpa hak/izin menyimpan bahan peledak berupa granat dan meledakkan granat tersebut di depan Fakultas Sastra Unud, 13 menjelang 14 Juli 1966 sehingga akibatkan kerusakan. Hakim yang diketuai Suraputra, S.H. menjatuhkan hukuman lima tahun penjara potong tahanan dan diharuskan membayar biaya perkara terhadap tertuduh dalam sidang ke-6 dan terakhir 14 Maret 1968. Barang bukti tangkai dan pen pengaman granat dikembalikan kepada Jaksa. Terhukum maupun Jaksa menyatakan menerima putusan hakim.
Pertanyaan Besar
Setelah dibebaskan, Tama langsung kembali bekerja di FKHP Unud. Jabatan terakhirnya, Kepala Biro Administrasi Akademik Unud hingga pensiun tahun 1998. Selain bekerja, ia meneruskan kuliah dan meraih gelar Sarjana Arkheologi tahun 1985.
Ke-10 orang lainnya, begitu dibebaskan dari tahanan juga langsung kembali bekerja dan kuliah di tempatnya semula. Sebelum kembali mengajar, Bawa menjadi wartawan Suluh Marhaen Edisi Bali. Jabatan terakhir Prof. Dr. Wayan Bawa, Ketua Program Studi S-3 Linguistik Unud. Robin yang bergerak dalam bisnis pariwisata, menjabat Wakil Wali Kota Denpasar, tahun 2000 – 2003. Suartika yang lulus sarjana tahun 1980 dan jabatan terakhirnya Kepala BP-7 Kabupaten Badung hingga pensiun tahun 1998, pernah menjadi Calon Bupati Badung bersama I G.B. Alit Putra dan I Made Runartha. Agus Bagiada lulus dokter tahun 1975, pernah menjabat Pembantu Dekan III FK Unud dan Pembantu Rektor III Unud. Suraget, jabatan terakhirnya Kepala Bidang Organisasi Kanwil Koperasi Bali dan pensiun tahun 1994.
Yang lainnya pun kariernya berkibar secara mulus di pekerjaannya masing-masing, karier mulus yang pasti sulit dicapai orang yang pernah memiliki cacat hukum.
Pertanyaan besar yang berkembang dan belum terjawab hingga sekarang adalah siapa dalang di balik peristiwa penggranatan FS tersebut dan apa motivasinya. Sebelum pertanyaan tersebut terjawab, kini publik dikagetkan tulisan sejarawan Nyoman Wijaya sebagai bagian dari biografi Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus asal Peguyangan (di balik pertanyaan besar itu lebih lengkap juga dapat dibaca dalam buku ”Memilih Jalur Autodidak” yang akan segera diluncurkan).
Kiranya penulis buku setebal 1.209 halaman itu perlu merespons koreksi terhadap kesalahannya. Sebab, hal itu menyangkut nama baik belasan orang dan organisasi, serta kebenaran sejarah.
Oleh Widminarko
***
Penulis, saat terjadinya penggranatan Fakultas Sastra, menjabat Sekretaris II Korda GMNI Bali-Nusra, PNS di Jawatan Penerangan Provinsi Bali, dan wartawan Suluh Marhaen Edisi Bali.
Catatan : Artikel Widminarko ini pernah dimuat Bali Post Sabtu, 13 Juli 2013, halaman 6.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.