BIN: Usia 17-24 Tahun Rentan Terpapar Radikalisme
Seorang pemuda peserta unjuk rasa menentang keputusan Presiden Joko Widodo membubarkan beberapa ormas, di Jakarta, 18 Juli 2017. (Foto: Beawiharta/Reuters)
Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto mengatakan anak muda berusia 17-24 tahun rentan terpapar paham radikal dan teroris, karena masih dalam fase mencari jati diri sehingga mudah dipengaruhi.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (10/8), juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto, mengatakan anak-anak muda berumur 17-24 tahun itu menjadi target utama penyebaran paham ekstremis dan terorisme karena mereka masih muda, energik, mencari jati diri, dan masih memiliki semangat yang tinggi. Selain itu, mereka relatif belum memiliki tanggungan.
“Yang menjadi target adalah anak-anak muda umur 17-24 tahun. Dani Dwi Permana, itu umur 18 tahun. Dia anak Bogor dan meledakkan bom Marriott. Kemudian juga ada Umar yang meledakkan bom di Suriah, anak umur 19 tahun, anak dari Banten,” kata Wawan.
Wawan enggan menyebut angka pasti jumlah usia 17-24 tahun yang terpapar radikalisme dan terorisme di Indonesia. Namun, berdasarkan data BIN ada 900-1.000 orang yang terpapar paham tersebut.
Menurut Wawan, dari jumlah 900 orang itu tidak semuanya dari usia 17-24 tahun. Ada yang dari usia 24-45 tahun dan di atas 50 tahun yang hanya terlibat, tapi yang menjadi garis terdepan adalah usia 17-24 tahun. Karena itu, lanjutnya, BIN terus melakukan literasi publik, literasi digital, termasuk patroli siber untuk melakukan deteksi dini, dan juga lapor cepat.
Wawan juga menekankan banyak kasus terorisme seperti bom bunuh diri yang melibatkan anak usia muda karena ada faktor-faktor yang melatarbelakangi. Salah satu faktor adalah tidak kritis dalam mempertimbangkan sesuatu termasuk masuknya paham radikal dan terorisme.
Deputi Pembinaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Asrorun Ni’am Soleh mengakui saat ini terdapat ancaman riil, yakni soal ekstremitas karena merasa super, baik itu persoalan pemahaman keagamaan, persoalan etnisitas. Kalau hal ini tidak diwaspadai dengan baik, tegasnya, akan mengancam integrasi nasional.
Karena itulah, menurut Asrorun Ni’am, penting untuk mengkampanyekan moderasi dalam sikap keagamaan dan kebangsaan. Caranya dengan menanamkan nilai-nilai kebersamaan, keterbukaan, kebhinnekaan dan secara bertahap di tingkat komunitas.
Asrorun Ni’am mengatakan mayoritas masyarakat Indonesia berada dalam sikap moderat dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
“Cuma ada elemen kecil yang masuk kategori minoritas vokal. Kecil tapi berisik dan ofensif. Tapi khasnya yang kecil itu begitu. Untuk menegaskan identitas, dia cenderung berisik dan juga ofensif. Ini harus diantisipasi,” tutur Asrorun Ni’am.
Menyangkut anak-anak muda, maka perlu menguatkan para pemuda dalam konteks ideologi, kewirausahaan, dan jiwa kepemimpinan.
Selain pemblokiran, kata Ferdinandus, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga memiliki literasi digital yang mengkampanyekan tentang bagaimana bijak dalam bermedia sosial dan menggunakan internet secara baik dan benar. [fw/ft] (VOA)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.