Oleh: I Gusti Ngurah Agung Darmayuda (Komisioner KPU Kota Denpasar)

 

Akhir-akhir ini terjadi silang pendapat di media berkaitan dengan hasil berbagai poling (jajak pendapat). Ada yang merasa dirugikan dengan hasil jajak pendapat bahkan mepertanyakan metode dan kredibilitas lembaga survey.  Fenomena ini sering terjadi sehingga publik dapat menilai dan semakin cerdas untuk menjaga orsinilitas informasi yang diserapnya.

Kegiatan jajak pendapat merupakan rangkaian aktifitas yang kita lihat dalam setiap perhelatan pemilu maupun pilkada. Jajak pendapat adalah kegiatan riset yang bertujuan untuk mendapatkan pemetaan sikap publik terhadap suatu hal. Apabila kita kaitkan dengan hal pemilu maupun pilkada hasil jajak pendapat bertujuan untuk menakar popularitas partai atau seseorang calon pemimpin atau wakil rakyat. Praktik kegiatan ini sudah jamak dilakukan di belahan benua Eropa maupun Amerika yang saat ini sudah biasa dilakukan di Indonesia

Rilis jejak pendapat memunculkan angka-angka dengan penjelasan yang dituangkan oleh berbagai lembaga survey, yang secara tidak langsung mempengaruhi pemilih dan strategi calon. Berbagai upaya dilkukan untuk mendongkrak popularitas calon dan menjatuhkan calon lawan. Kampanye hitam sampai penyebaran hoax tak terhidarkan Dalam hal hasil jajak pendapat mendapat nilai tinggi seolah menjadi refrensi bagi pemilih untuk mengikuti hasil jajak pendapat tersebut. Melihat kejadian itu kecerdasan pemilih diuji untuk bertanggungjawab terhadap pilihannya.

Abraham Lincoln (1805-1865) pernah mengatakan, hindari popularitas jika anda menginginkan kedamaian. Aku tak pernah terlalu mempedulikan atau terobsesi dengan jejak pendapat popularitas atau opini. Kupikir pemimpin yang mempedulikan hal seperti itu adalah pemimpin yang lemah. Jika kau masih mengkawatirkan apakah ratingmu naik atau turun kau bukanlah pemimpin. Kau hanya menunggang angin, pergi kemanapun ia membawa, kata perdana mentri Singapura  Lee Kuan Yow (1923-2015).

Berbicara tentang demokrasi bahwa kebebasan berpendapat memiliki posisi yang utama disamping adanya prinsip kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan. Setiap individu bebas menyampaikan pendapat dan gagasannya. Tentunya kebebasan berpendapat yang dimaksud disini adalah kebebasan berpendapat yang bertanggungjawab. Asalkan masih dalam koridor diskusi rasional, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk terlibat dalam diskusi publik. Implikasinya, politik terjebak dalam urusan keterkenalan. Boni Hargens mengatakan dalam sebuah tulisannya demokrasi berubah jadi tirani popularitas. Pertarungan elektoral sama dengan pertarungan popularitas. Fakta ini diperkokoh hadirnya berbagai industri survei yang bisa mendongkrak atau mengambrukkan figur dalam semalam. Kalaupun survei berbeda tajam antarlembaga, toh itu cuma pandangan publik pada hari survei diadakan.

Selanjutnya Boni mengatakan, benarkah demokrasi sebuah tirani? Tiap negara ada konteksnya. Di Indonesia tren demokratisasi sesudah 1998 memunculkan tirani lain. Politik bukan lagi monopoli kelas tertentu. Tiap orang berada pada jarak yang sama di hadapan konstitusi. Intimidasi tak berlaku lagi. Pendekatan mobilisasi digeser pendekatan persuasi. Alhasil, peran media menjadi krusial, terutama untuk membangun citra. Iklan politik bertaburan. Mereka bicara bagus tentang apa yang mereka tak bisa lakukan. Paradoks terjadi dalam berburu popularitas. Demokrasi berubah menjadi tirani popularitas. Pertarungan electoral sama dengan pertarungan popularitas.Fakta ini ditegaskan dengan hadirnya berbagai lembaga survey yang bisa mendongkrak atau mengambrukan figure dalam sekejap. Apalagi lembaga survey itu sudah tidak lagi independent.

Wikipedia menjelaskan Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Secara substansial sebenarnya demokrasi sebuah cara hidup yang harus dibagi bersama oleh siapa pun dalam suatu komunitas politik. Pembagian bersama tersebut harus bersifat jujur dan adil. Demokrasi juga berarti perluasan sekaligus konkretisasi kebebasan. Perluasan berarti menjamin kebebasan bagi semua (tidak hanya mereka yang berkecukupan) sedang konkretisasi berarti menjamin kemampuan riil mengakses kebebasan. Kemampuan riil mengakses kebebasan guna meraih fungsi hidup dinamakan dengan kebebasan positif. Demi tercapainya semua ini prinsip kesetaraan perlu dipatenkan pada struktur dasar masyarakat.

Mari kita kembalikan fungsi demokrasi sebagai yang diamanatkan, dengan meningkatkan literasi masyarakat terhadap berbagai hal tentang demokrasi dengan mengenali lebih baik para calon pemimpinya dengan ukuran integritas, kapabilitas, serta rekam jejaknya, bukan berdasarkan ukuran kedekatan primordial serta popularitas semata. Mari kita jaga marwah demokrasi dan pilkada serentak 2017 mencapai tujuan demi kesejahteraan rakyat. RED-MB