Opini : Kado Lebaran, TDL 900 VA Naik Bertahap
Kasak kusuk pencabutan subsidi listrik 900 VA bukan sekedar angin yang numpang lewat. Hal ini telah ditegaskan oleh mentri ESDM Sudirman said dalam kicauannya, “Sejauh ini usulan kita, biarkan lebaran berlalu, puasa berlalu. Setelah lebaran maka secara bertahap akan dilakukan,” kata Sudirman di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (9/6). Akibat penundaan pencabutan subsidi listrik inipun membuat beban anggaran di APBN semakin bertambah., imbuhnya. Data mengenai 18 Juta rumah tangga tidak layak subsidi merupakan data yang didapat dari koordinasi dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan verifikasi perseroan di lapangan sejak pertengahan Januari lalu. Hasilnya, hanya ada 4,3 juta pelanggan 900 VA dan semua pelanggan 450 VA yang mendapat bantuan pemerintah. Dengan pencabutan subsidi listrik itu, artinya akan ada kenaikan tarif listrik. Setidaknya ada empat tahap kenaikan tarif yang rencananya dimulai pada Juni hingga Desember. Kenaikan tarif akan mencapai 23 persen selama dua bulan sekali untuk menghindari gejolak di masyarakat. Selama tenggat waktu ini, PLN berjanji melakukan sosialisasi sebelum mengubah besar tagihan.
Sama dengan alasan sebelumnya, lagi-lagi beban subsidi adalah alasan yang dikemukakan pemerintah mengapa diterapkan kebijakan kenaikkan TDL. Bila dicermati lebih dalam, apa yang dikemukakan pemerintah tersebut merupakan manifestasi dari kebijakan sekuler kapitalistik. Dimana dalam pengelolaan energy yang merupakan harta milik umum, khususnya listrik harus dikomersialkan sekalipun kepada rakyat sendiri. Lebih jauh lagi, sebelum kebijakan kenaikan TDL, prinsip kapitalisme/liberalisme dalam pengelolaan listrik telah diterapkan pemerintah melalui kebijakan unbundling (pemecahan) PLN (pembangkit sampai dengan ritail) ini akan membukakan keran bagi korporasi untuk leluasa memperdagangkan hajat hidup masyarakat yang satu ini dari hulu (pembangkit) sampai ke hilir (ritail). Inilah salah satu alasan yang ditengarai menjadi pemicu besarnya biaya produksi listrik. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan serupa dalam berbagai sektor lainnya. Dalam sektor migas dan batu bara, misalnya, mengakibatkan PLN harus membeli BBM dengan harga mahal. Di samping itu, sekalipun sudah nyata bahwa penggunaan gas mampu menjadikan biaya produksi listrik jauh lebih murah, namun di tengah kelimpahan potensi sumber daya gas, pemerintah justru lebih mengutamakan kemauan korporasi. Yaitu mengekspor gas bumi ke beberapa Negara hususnya Cina sementara pasokan di dalam negeri dipatok dengan jumlah yang sangat terbatas.
Pengelolaan energi yang berorientasi melayani kepentingan korporasi seperti ini adalah hal yang pasti dalam sistem politik demokrasi. System ini memberikan kewenangan membuat aturan kehidupan, khususnya dalam hal pengelolaan layanan energi yang diserahkan pada hawa nafsu manusia. Di sisi lain, korporasi adalah pihak yang memiliki kontribusi besar, khususnya dana dalam pembuatan aturan tersebut. Akibatnya, kepentingan korporasi menempati kamar-kamar istimewa dalam kebijakan/aturan tersebut. Lebih jauh, mahalnya biaya dalam politik demokrasi menjadikan kekuasaan sebagai objek bisnis yang melahirkan iklim arogansi di kalangan penguasa dan aparatnya. Wajar bila penguasa dalam system ini tak berempati pada beban penderitaan rakyat. Bahkan lempar tanggung jawab terhadap kehidupan rakyat dibungkus dalam balutan pemanis yang mengatakan bahwa kemandirian rakyat kunci sukses pembangunan. Mentalitas yang ingin dibangun di masyarakat adalah jangan ‘membebani’ pemerintah. Jika demikian, lalu untuk apa ada Pemerintah? Ini semakin menunjukkan bahwa negara memang sudah lepas tangan. RED-MB
Penulis : Tri Ayuning S, S. Si
Alamat : jl. Nangka, no.28 loloan barat, Negara Jembrana-Bali
Phone : 081.916.110.962
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.