Art_Centre_Bali

Denpasar, (Metrobali.com) –

DALAM buku percikan perenungan dari Jaya Sabha (Made Mangku Pastika; 137-138) terbesit sebuah goresan kata sarat makna dan bernilai bernas, yang merupakan pernyataan Prof. P.E. Lotulung, yakni “Perubahan harus dimulai oleh orang yang BERANI, dikawal oleh orang PINTAR, dan diselesaikan oleh orang yang TULUS dan IKLAS”.

Dalam konteks ini, sangat relevan dalam menguatkan inspirasi strategis untuk bangkit mengonstruksi perubahan moralitas dari ego sektoral berbasis desa pakraman (adat) di tingkat banjar dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) selama ini. Sehingga, kemuliaan dari keagungan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali tetap ajeg dan lestari.

Menyikapi hal tersebut, para elite politik penguasa pemangku kebijakan dituntut haruslah berani mengambil resiko untuk melakukan perubahan ekstrem dalam meningkatkan kualitas pelaksanaan PKB mendatang. Guna memangkas sikap pragmatis yang mementingkan diri sendiri, maupun kelompok atau golongan tertentu saja dalam pelaksanaan PKB selama ini.

Sikap pragmatis dan ingin menang sendiri tersebut di antaranya aksi premanisme dan praktik pungutan liar (pungli) yang suka menerabas aturan dan ketentuan hukum negara dengan mengokupasi ruas jalan raya sebagai parkir bazar (komersial) berlabel desa Adat dengan mengabaikan tanggung jawab sosial budaya dalam mengayomi dan melindungi kepentingan publik.

Selain itu, juga adanya upaya pembiaran terhadap tindakan memaksakan kehendak dengan menguasai ruang publik seperti kampus ISI Denpasar, yang kerap mengeruk keuntungan secepatnya tanpa bekerja keras dan terkesan lebih mementingkan kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan di atas kepentingan bangsa atau bahkan di atas kebenaran.

Bahkan, pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini, yang secara internal terus berbenah diri dan telah menunjukan perubahan signifikan menuju proses memuliakan seniman dan pengerajin, serta memanusiakan manusia (pencinta seni) secara berbudaya dan bermartabat justru masih ternoda oleh faktor eksternal, yang seakan sengaja dibiarkan hingga terkesan tak pernah tersentuh hukum alias kebal hukum.

Peluang dari gagagan untuk bangkit tersebut adalah memindahkan pelaksanaan PKB dengan mendirikan New Arts Centre di lokasi yang lebih strategis dan representatif, serta terbebas dari sikap ego sektoral berbasis desa pakraman (adat) di tingkat banjar. Seperti di kawasan desa Baha, Mengwi Badung, ataupun kawasan lain yang memang dianggap layak.

Mengingat, UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar sudah dianggap kurang representatif dan bahkan aksesbilitasnya acapkali terkendala kemacetan krodit yang sudah terlanjur masif, terstruktur dan sistemik. Bahkan, sangat sulit untuk dilakukan perubahan karena ego sektoral sudah mentradisi sebagai budaya konsumtif dalam semangat primodialisme berbasis kesadaran budaya koruptif.

Kadisbud Bali, Dewa Putu Beratha, mengakui bahwa UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar memang sudah kurang mendukung untuk pelaksanaan PKB dalam konteks kekinian. Selain karena memang tidak terdapat layanan publik terkait parkir kendaraan, juga akibat aksesbilitas kendaraan terlanjur terbatas dan acapkali terjebak kemacetan krodit.

Menurutnya, sebaiknya memang perlu adanya kajian kritis untuk mewacanakan gagasan mendirikan New Arts Centre secara lebih konkret. Dan, rasanya saat ini merupakan momentum yang sangat baik dan tepat untuk merealisasikan gagasan tersebut secepatnya. “Sehingga pelaksanaan PKB selanjutnya akan dapat berlangsung semakin lebih baik, berbudaya dan bermartabat, serta terhindari dari kesan tersandera ego sektoral seperti selama ini,” tegasnya.

Sementara itu, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika bahkan sempat merasa sangat sedih dan prihatin melihat perilaku warga masyarakat di kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali Denpasar, dengan berbusana Adat merasa bangga sebagai tukang parkir. “Kenapa pakaian adat yang begitu diagungkan justru dilecehkan hanya untuk memungut uang recehan,” sesalnya.

Fenomena ini mencerminkan bahwa tidak adanya keteladanan dan panutan dari kepemimpinan para elite politik penguasa kebijakan pemerintahan dalam ekologi desa pakraman di tingkat banjar. Selain itu, lembaga Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) dan Majelis Desa Pekraman (MDP) terkesan mati suri ataupun sudah tidak metaksu lagi.  

Atas realitas itulah, gagasan mendirikan new arts centre sepertinya sudah menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda lagi. Bahkan, kajian geografis terkait lokasinya sudah harus ditetapkan secepatnya. Guna menjawab keraguan khalayak publik atas upaya peningkatan kualitas pelaksanaan PKB selama ini, yang dicap senantiasa tersandera fenomena dari faktor eksternal, aksi premanisme dan praktik pungutan liar (pungli).

Sementara itu, untuk menunggu terealisasinya New Arts Centre, kawasan terdepan dari UPT Taman Budaya (arts centre) Bali Denpasar, terutama di pintu masuk sebelah Selatan dan Utara secara menyeluruh sudah seharusnya dibongkar untuk areal parkir kendaraan. Artinya menyambung areal parkir kendaraan di depan panggung Ardha Candra.

Selain itu, perlu adanya keberanian untuk memindahkan pementasan sejumlah pagelaran dalam pelaksanaan PKB selanjutnya di luar areal UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, seperti di depan atau samping Menumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) Renon, Denpasar. Guna mengurai kemacetan dan sekaligus memangkas aksi premanisme dan praktik pungli dari ego sektoral yang terjadi dalam pelaksanaan PKB selama ini.

Akhirnya, kita ucapkan selamat datang perubahan, dan marilah kita sambut New Arts Centre, untuk kebudayaan dan kebahagian masa depan. WB-MB