Topeng

 

NILAI keteladanan kepemimpinan pemerintahan kekinian dicap publik semakin merosot, terutama terkait dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-37 tahun ini yang terpusat di UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar.

Hal ini karena, para elite politik penguasa pemangku kebijakan pemerintahan dalam ekologi birokrasi desa pakraman di tingkat banjar telah tersandera ego sektoral dari perilaku budaya konsumtif dan tindakan aksi premanisme dan praktik pungutan liar (pungli) atas nama kepentingan desa Adat secara terstruktur, masif dan sistemik.

Dalam konteks ini, berarti kelompok warga masyarakat dari strata sosial yang lebih tinggi (kaya/intelektual), kelas menengah (kreatif/inovatif), hingga kelas bawah (miskin/tak berdaya) pun dicap publik terkesan telah takluk dan bahkan kecenderungan terbawa arus budaya koruptif tanpa adanya kesadaran dan kemuliaan menjaga keagungan tatanan nilai adiluhung ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang dikonstruksi dalam pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini.

Namun, di sisi lain, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika telah berupaya keras menjadikan perhelatan PKB ke-37 tahun ini betul-betul mencerminkan sebuah pesta bagi proses kreatif dan inovatif berkesenian dengan memanusiakan dan memuliakan seniman, pengerajin, dan pencinta seni budaya secara menyeluruh dan komprehensif. Demi mencapai tujuan bersama dalam menciptakan kemaslahatan publik, yakni kesejahteraan berkeadilan yang berbudaya dan bermartabat.

Pandangan ini sempat terungkap dalam rapat evaluasi terbatas antara Gubernur Bali, Made Mangku Pastika bersama tim kepanitiaan PKB ke-37 yang berlangsung di ruang media centre, gedung Ksirarnawa, UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, Kamis (25/6).

Di mana ketidakjelasan sikap atas kinerja tim kepanitiaan PKB-37 terkait keamanan telah memicu terjadinya upaya pembiaran terhadap pelanggaran hukum negara hingga mengakibatkan munculnya konflik sosial, yakni kesenjangan sosial yang semakin mentradisi sebagai budaya cacat moral.

Faktanya, okupasi ruas jalan raya sebagai mata pencaharian instan berbasis aji mumpung dengan cara melawan hukum dan mengatasnamakan kepentingan desa adat masih terus terjadi tanpa pernah adanya solusi bijak dalam menuntaskannya.

Celakanya, ini berarti bahwa nilai keteladanan seperti musyawarah, gotong royong, dan toleransi dicap publik acapkali hanya ditujukan untuk memuaskan hasrat keinginan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu semata. Sehingga, masih banyak pihak yang bersikap intoleran, bahkan acapkali melakukan kekerasan terhadap orang lain atas kepentingan publik secara lebih luas.

Padahal, nilai keteladanan itu sesungguhnya merupakan kekuatan atau modal utama dalam menghadapi persaingan global dan perubahan dari peradaban zaman dengan kemajuan teknologi serba canggihnya serta perkembangan masyarakat ekonomi ASEAN yang disingkat MEA tahun ini.

Menyikapi fenomena ini, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pun sempat merasa prihatin dan sedih, karena warga masyarakat sekitar kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali Denpasar, yang menjadi pusat pelaksanaan PKB selama ini telah dengan sengaja melecehkan simbol suci dan keagungan desa Adat di Bali hanya demi uang recehan untuk memenuhi hasrat keinginan ekonomi secara instan.

Menurutnya, warga masyarakat sekitar kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali Denpasar kurang peduli dan tidak punya budaya malu, serta dianggap kurang menghargai tatanan dari kemuliaan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang dikonstruksi dalam pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini.

Implikasinya, aksesbilitas arus lalu lintas kendaraan menuju kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar menjadi semakin krodit dan pengadaan shuttle bus gratis pun gagal total. Indikatornya, di mana kesadaran warga masyarakat terutama pencinta seni budaya Bali yang mengunjungi PKB ke-37 untuk memanfaatkan fasilitas publik menjadi semakin merosot tajam.

Hal itu terjadi akibat dari tidak adanya komitmen bersama untuk berbenah diri dan menegakkan supremasi hukum secara berkeadilan, berbudaya dan bermartabat. Sehingga tradisi dari aksi premanisme dan praktik pungli yang mengokupasi fasilitas publik seperti ruas jalan raya termasuk perguruan tinggi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar terus terjadi setiap tahun saat pelaksanaan PKB berlangsung. 

Atas ego sektoral ini, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pun sempat marah hingga mengusulkan supaya desa pakraman tingkat banjar sekitar kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar yang memungut parkir untuk menaikkan tarifnya, yakni sepeda motor sebesar Rp 25 ribu, dan mobil sebesar Rp 50 ribu.

Diharapkan, dalam pelaksanaan PKB selanjutnya warga masyarakat tidak lagi parkir di ruas jalan raya dan trotoar, dan mau memanfaatkan fasilitas shuttle bus gratis. Sehingga desa Adat tidak lagi dijadikan alat untuk melakukan tindakan melawan hukum melalui aksi premanisme dan praktik pungli. “Sebagai orang Bali saya sangat malu simbol kesucian desa Adat dijadikan sebagai tukang parkir di jalanan hanya demi uang recehan lagi dan melawan hukum,” sesalnya dalam nada kecewa dan prihatin.

Sementara itu, terkait evaluasi internal, Prof. Dr. I Wayan Dibia, selaku tim kurator PKB ke-37 mengakui program pagelaran sudah berlangsung dengan baik, pameran kerajinan sudah lebih baik dan patuh dengan kriteria yang ditetapkan, sehingga seniman merasa lebih lega dan pengunjung, pencinta seni budaya pun dapat mengapresiasi setiap sajian pertunjukan seni dengan lebih baik, aman dan nyaman. “Ini artinya peningkatan secara kualitas sudah lebih baik,” katanya.

Menurutnya, terkait apresiasi publik, perlu adanya pembenahan jalur masuk dari ISI Denpasar, kuliner hendaknya ditempatkan di depan balai panjang seperti sebelumnya. Selain itu, fasilitas ruang rias atau ruang ganti seniman perlu dilengkapi dengan alas duduk atau karpet yang lebih memadai.

Di samping itu, petugas jaga perlu lebih aktif dalam mengamankan penunjung, penonton dan fotografer yang kurang tertib karena dapat mengganggu kenyamanan selama pertunjukan seni berlangsung.

Sedangkan, mengenai kendala dari gangguan sound system (tata suara) dan ligthing (tata cahaya) saat pertunjukan seni berlangsung rasanya perlu adanya pengadaan manajemen stage secara profesional. Apalagi, sumber daya manusia (SDM) sudah tersedia dan tinggal diberdayakan saja.

“Segala wujud pembenahan yang lebih baik saat ini perlu dipertahankan dan bahkan ditingkatkan di masa datang. Karena image PKB tahun ini sudah dianggap sebagai pesta kesenian dan bukan pesta dagang lagi,” tegasnya. WB-MB