kelompok ekstrimis

Jakarta (Metrobali.com)-

Tidak sedikit orang yang punya gagasan atau ambisi untuk menghabisi atau membinasakan kelompok-kelompok ekstremis, entah berbasis agama atau ideologi politik, untuk menciptakan tatanan sosial yang damai dan toleran.

Sepintas, ide untuk menghabisi kelompok yang menjalankan aksi kekerasan untuk mencapai tujuan itu masuk akal dan sah-sah saja. Akan tetapi, secara strategis jangka panjang, ikhtiar kekerasan untuk menghabisi kelompok ekstremis atau fundamentalis itu tidak produktif serta jadi bumerang bagi pertumbuhan demokrasi.

Negara memang dibangun dan diperlengkapi dengan hak untuk melakukan kekerasan terhadap pelanggar hukum yang dianggap mengancam nyawa penegak hukum. Namun, makin beradab dan matang sebuah organisasi politik yang bernama pemerintahan, makin minim ikhtiar mengatasi masalah dengan menghabisi sumber masalah.

Begitu pula, dengan ikhtiar negara menghadapi kaum ekstremis yang menggunakan kekerasan untuk mencapai cita-cita mereka. Membunuh kaum ekstremis harus dihindari dan diupayakan menangkap mereka hidup-hidup untuk dihukum lewat proses peradilan yang terbuka, tidak bias, dan independen.

Munculnya gerakan ekstremis yang pusatnya berbasis di sebagian wilayah Irak dan Suriah yang disinyalir sudah merambah ke Nusantara ini juga sempat menimbulkan gagasan untuk menghabisi mereka sebelum menjadi ancaman serius.

Gerakan yang ekstrem yang mendasarkan aksinya dengan menghalalkan kekerasan tidak akan musnah dengan membinasakan aktor-aktornya. Sebuah ide akan hidup meskipun pengusung ide itu dilenyapkan secara jasmaniah. Itu sebabnya ada sementara kalangan yang percaya bahwa hanya nilai-nilailah yang bisa menghadapi ide tanpa harus membinasakan sosok-sosok yang meyakini ide itu` Gagasan menggunakan kekerasan untuk mengakhiri kekerasan takpernah pudar. Dalam batas-batas tertentu, gagasan itu kadang terpaksa dijalankan. Fakta historis memperlihatkan perlunya pembunuhan untuk mengakhiri pembunuhan. Namun, prinsip demikian ini hanya bisa dijalankan ketika situasi sudah sedemikian gawatnya.

Cukup menarik apa yang diperlihatkan Gus Dur (mendiang) saat menjadi presiden dan menyaksikan sekelompok orang yang terhimpun dalam organisasi berbasis keagamaan yang punya kecenderungan garis keras melakukan aksi jalanan dengan membawa pedang.

Gus Dur tak serta-merta menginstruksikan polisi meringkus mereka. Akan tetapi, mencemoohnya dengan kata-kata yang membuat pelakunya merasa malu, ternistakan.

Menghadapi kelompok ekstrem kadang membutuhkan kiat dan seni tersendiri. Menangkap kaum ekstrem dalam kondisi tak bernyawa jelas merupakan kebebalan penegak hukum. Betapa banyak rahasia dan strategi gerakan kaum ekstrem yang terkuak dan terpelajari jika aktor-aktor ekstrem itu tertangkap hidup-hidup.

Gerakan ekstremis berbasis agama sebetulnya bukan bahaya atau ancaman laten di Indonesia sebab agama-agama yang berkembang di Indonesia termasuk berwatak terbuka, inklusif, tenggang rasa, Islam sebagai agama dengan pengikut terbesar di Tanah Air juga berkarakter toleran.

Seperti sering diungkapkan cendekiawan Azyumardi Azra, Islam di Indonesia adalah Islam jalan tengah yang tidak dipunyai negara-negara lain, terutama dengan hadirnya dua ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang menjadi jembatan antara negara dan masyarakat.

Islam di Indonesia juga berkelindan dengan kebudayaan, dan tentu saja dalam hal ini mengandung sejumlah kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah melahirkan sikap keberagamaan yang lapang dada, dan kekurangannya adalah munculnya kecenderungan sinkretisme, tentu saja jika sinkretisme dipahami sebagai sesuatu yang mencemari keyakinan seseorang.

Kecenderungan inklusi dalam keberagamaan di Tanah Air makin diperkuat atau diwarnai oleh hadirnya kalangan pengiman Islam dari kelompok generasi muda di kalangan komunitas NU yang menyebarkan dan melanggengkan ide-ide toleransi Gus Dur dan Nurcholish Madjid (mendiang) yang mnyerukan beragama dengan rendah hati dan lapang dada menerima segala perbedaan.

Tentu di antara arus utama sikap keberagamaan yang toleran itu kadang muncul kelompok-kelompok yang cenderung mengeras dan mendambakan kemurnian dalam beriman dengan sikapnya yang mudah mengafirkan dan menghalalkan darah kelompok lain. Namun, kelompok yang demikian sangat tidak signifikan, baik jumlah maupun pengaruhnya.

Makanya, cukup aneh jika ada sikap paranoid yang berilusi bahwa gerakan ekstremis yang berbasis di sebagian wilayah Irak dan Suriah dapat mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia.

Adanya belasan warga Indonesia yang belum lama ini dinyatakan hilang saat tiba di Turki, yang disinyalir simpatisan dan hendak bergabung dengan kelompok ekstremis di Irak dan Suriah hanyalah riak-riak kecil yang tak mengubah kekukuhan karakter inklusif Islam Indonesia.

Dalam soal keberimanan, Indonesia punya fundamen yang kuat dalam menopang kehidupan antarumat beragama yang damai, toleran, dan prodemokrasi. Namun, tidak berarti bahwa persoalan yang muncul akibat gesekan antarpemeluk iman sudah terbereskan secara tuntas.

Persoalan yang beraroma keimanan takjarang muncul bukan karena isu keyakinan murni, melainkan lebih diperkeruh oleh kepentingan politik yang sama sekali jauh dari substansi iman semata.

Yang menyedihkan, hanya kalangan terpelajar yang bisa mengendus adanya kepentingan politik di balik isu pertikaian berwatak keimanan atau keberagamaan. Sebagian besar kaum akar rumut, yang mudah termakan isu-isu keagamaan berbalut kepentingan politik, tak menyadari.

Pada titik ini pula negara harus hadir dalam bentuk pemberian kesempatan warga untuk memperoleh pendidikan tinggi yang menjangkau sebanyak mungkin kelompok masyarakat akar rumput. Tentu bukan tugas instan dan segera membuahkan hasil. AN-MB