ketimpangan

Jakart (Metrobali.com)-

“A predatory capitalist’s greatest enemy, and humanity’s greatest ally, is the self-educated individual who has read, understood, delays their gratification, and walks around with their eyes wide open”.

Kutipan dari film dokumenter “Four Horsemen” itu juga bisa mencerminkan isu kapitalisme pemberitaan. Dalam pemberitaan ada semacam adagium berbahasa Inggris yang menyebutkan “if it bleeds, it leads”, yang secara bebas dapat diartikan sebagai paham dari sebuah pemberitaan media yang mementingkan unsur konflik dan kekerasan.

Meski fenomena itu tidak bisa disamakan ke dalam semua media, tetapi dapat diakui bahwa terdapat media yang pemberitaannya hanya bernada bombastis atau sensasional di awal (judul), tetapi di dalam isinya hanya berupaya untuk mengubah makna sebenarnya dari yang sebenarnya disampaikan narasumber.

Hal itu juga yang barangkali mendasari merebaknya banyak acara pemberitaan yang sebenarnya hanya mengisahkan konflik antara dua manusia, tetapi menjadi pemberitaan yang banyak ditonton oleh masyarakat dan diikuti secara berhari-hari hanya karena dua manusia tersebut adalah figur publik.

Padahal, esensinya dua konflik itu tidak memiliki dampak yang meluas kepada kesejahteraan manusia seperti hal lainnya seperti ketimpangan pendapatan.

Saat ini, isu ketimpangan bukanlah sebuah masalah yang kerap dibicarakan sambil lalu atau berdebat hangat antara kaum elite intelektual.

Namun, ketimpangan sudah menjadi isu yang nyata yang mesti dihadapi oleh berbagai pemerintahan di dunia, karena telah menjadi perhatian mengglobal yang perlu mendapatkan solusi yang komprehensif.

Berdasarkan data dalam buku “Plutocrats” karya Chrystia Freeland (editor media Thomson-Reuters), 20 persen orang terkaya di Amerika Serikat menguasai 84 persen dari total kekayaan di negara adidaya tersebut.

Selain itu, masa pemulihan ekonomi di AS pada tahun 2009-2010 (setelah didera krisis finansial 2007-2008), ternyata hanya mampu meningkatkan 0,2 persen dari pendapatan sebanyak 99 persen, sedangkan 1 persen orang kaya di AS mampu meningkatkan pendapatannya menjadi 11 persen.

Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi di negara kapitalis seperti Amerika Serikat, tetapi telah terindikasi juga terjadi seperti di Tiongkok.

Menurut Freeland, “booming”-nya pendapatan kaum elite urban Tiongkok ternyata berbeda keadaannya dengan separuh populasi negara Tirai Bambu yang masih tinggal di daerah pedesaan dan pedalaman yang jauh dari metropolitan.

Tidak mengherankan bila buku “Plutocrats” yang terbit pada tahun 2012 itu diberi subjudul “The Rise of the New Global Super-Rich and The Fall of Everyone Else” (Kebangkitan Super-Kaya Global Baru dan Kejatuhan yang Lainnya).

“Lampu Kuning” Ketimpangan Di Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sejumlah kesempatan telah menyatakan keinginannya agar ketimpangan pendapatan yang berdampak kepada semakin melebarnya tingkat kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dapat segera diatasi.

“Arab Spring (gerakan reformasi di negara-negara Arab beberapa tahun terakhir ini) meledak pada ‘gini ratio’ (indeks pengukur tingkat ketimpangan) 0,45, sedangkan gini ratio kita 0,4,” kata Wapres di Jakarta, Desember 2014.

Untuk itu, ujar Jusuf Kalla, pemerintahan saat ini berupaya untuk membangun perekonomian rakyat kecil.

Hal itu, ucap dia, dilaksanakan antara lain dengan membangun perumahan rakyat dan memberikan dukungan besar kepada sektor UMKM serta bagi para petani dan nelayan tradisional.

Ia mengingatkan bila “lampu kuning” terkait dengan ketimpangan tersebut tidak segera diatasi, maka fenomena seperti yang terjadi di kawasan Timur Tengah perlu diwaspadai. “Lihat yang terjadi pada Mesir dan Libya,” tukasnya.

Memasuki tahun 2015, pemerintah juga telah memiliki rencana untuk membangun sejumlah upaya memperkecil ketimpangan, seperti pembangunan satu juta rumah.

“Kita perlu program ini untuk pemerataan,” kata Ketua Tim Ahli Wapres, Sofjan Wanandi, dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, 29 Januari.

Sofjan juga menyuarakan hal yang sama dengan Jusuf Kalla, dengan mengingatkan bahwa rasio gini atau pengukur tingkat ketimpangan di Indonesia sudah mendekati 0,43.

Sesuai dengan perkataan Wapres pula, mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu juga menyatakan bahaya karena bila mencapai 0,5 maka kemungkinan besar kondisi di Indonesia bisa menyamai seperti yang terjadi di sejumlah negara di kawasan Timur Tengah seperti Mesir dan Libya.

Untuk itu, ujar dia, pembangunan satu juta rumah juga diharapkan dapat membantu pemerataan ekonomi antara masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan masyarakat menengah ke atas. “Nelayan, petani, maupun pekerja di sektor informal, ini yang perlu dibantu,” katanya.

Ia juga menyatakan program satu juta rumah itu akan dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi dan berbagai Peraturan Daerah yang mengganjal program pembangunan dan perizinan pembangunan rumah yang ada di daerah akan ditinjau kembali, bila perlu akan dicabut.

Hambatan Namun, akan lancarkah penerapan kebijakan seperti pembangunan satu juta rumah yang dimaksudkan untuk memperkecil tingkat ketimpangan tersebut?.

Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Property Watch mengemukakan, terdapat lima hal yang mesti dapat dilakukan pemerintah bila benar-benar ingin mewujudkan program pembangunan satu juta rumah di berbagai daerah.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengemukakan, lima faktor itu pertama adalah ketersediaan tanah melalui bank tanah sehingga harga tanah tidak mengikuti mekanisme pasar.

Faktor kedua adalah ketersediaan lembaga yang dapat fokus untuk mengurusi rumah rakyat.

“Saat ini Perumnas diperkirakan cocok untuk tugas tersebut, namun harus keluar dari BUMN untuk menjadi fokus Perumnas yang tidak ‘profit oriented’ (mencari keuntungan),” kata Ali Tranghanda dalam situs resmi Indonesia Property Watch.

Faktor ketiga adalah ketersediaan pendanaan terkait dengan bantuan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) serta pendanaan dari pihak lain seperti BPJS.

Faktor keempat adalah ketersediaan data dan informasi kekurangan perumahan yaitu daerah mana saja yang porsi kekurangan rumah terbesar sehingga pembangunan menjadi tidak terarah dan hanya berorientasi fisik saja.

Faktor terakhir atau faktor kelima adalah pemangkasan biaya terkait dengan proses perizinan, biaya sertifikasi, dan penyambungan PLN.

“Program ini harus dimulai dengan inisiatif dari pemerintah. Jangan bebankan pengembang swasta yang dalam hal ini dapat dilakukan program kemitraan melalui program Hunian Berimbang yang juga harus dipenuhi oleh pengembang, namun jangan jadikan alasan oleh pemerintah untuk tidak membangun rumah,” katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch merasa miris bahwa setiap tahun yang bisa memasok 100-150 ribu unit rumah adalah seluruhnya pihak swasta, berbeda halnya dengan negara tetangga, Singapura.

“Bila kita melihat negara Singapura dengan Housing Development Boardnya telah membangun 1 jutaan unit flat mulai tahun 1960-an, dan sejak tahun 2000-an Singapura telah berhasil membuat 85 persen rakyatnya memiliki hunian,” katanya.

Rasa keadilan Sebenarnya bukan saja hanya masalah pembangunan fisik atau perumahan untuk seluruh rakyat, tetapi yang perlu diperhatikan adalah hambatan terkait dengan pemenuhan rasa keadilan masyarakat.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ketimpangan yang terus mengemuka di Tanah Air serta tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan terjadi akibat ketiadaan akses lahan kepada petani kecil.

“Kemiskinan pedesaan sebagai konsekuensi dari ketiadaan akses atas tanah pertanian dan pesatnya laju konversi kepemilikan dan tata guna lahan,” kata Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin dalam jumpa pers di Jakarta, 23 Desember 2014.

Iwan mengaku keheranan karena pemerintahan sebelumnya menyatakan penyusutan jumlah petani adalah hal yang positif, padahal di lain pihak, terjadi deindustrialisasi khususnya pada sektor manufaktur di Tanah Air.

Untuk itu, menurut dia, dapat disimpulkan bahwa kaum muda di pedesaan tidak lagi menjadi petani bukan karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tetapi karena banyak yang bekerja di sektor informal perkotaan.

“Mereka meninggalkan desa dan tercerabut dari pertanian karena tanah-tanahnya sebagian besar dirampas oleh korporasi-korporasi besar,” katanya.

Bahkan, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim pada awal Desember 2014 juga pernah menyatakan menyatakan setiap negara di dunia pada saat ini mencemaskan tingkat ketimpangan yang terjadi, sehingga pembagian kesejahteraan dalam bentuk yang lebih merata dan inklusif adalah sangat penting.

“Setiap negara yang saya kunjungi mencemaskan tentang ketimpangan,” kata Jim Yong Kim dan menyebutkan, Grup Bank Dunia untuk pertama kalinya dalam sejarah kelompok lembaga keuangan multilateral itu mengukur tingkat ketimpangan setiap tahun.

Dengan demikian, lanjutnya, Bank Dunia mengamati perkembangan pertumbuhan pendapatan dari 40 persen warga lapisan terbawah dan membandingkannya dengan pertumbuhan pendapatan populasi lainnya.

Implementasikan kebijakan Sementara itu, Presiden lembaga The ONE Campaign Michael Elliott dalam artikelnya di majalah Time edisi Januari 2015 mengingatkan bahwa perlu adanya desakan dari jutaan orang (tidak hanya elit, tetapi juga masyarakat biasa), untuk menekan pemerintah agar mendanai dan mengimplementasikan kebijakan yang benar-benar menyelamatkan dan memperbaiki taraf kehidupan jutaan orang.

Untuk itu, Elliot yang lembaganya bertujuan antara lain mengatasi kemiskinan ekstrim di dunia, juga sepakat dengan adanya peta jalan baru seperti SDG “Sustainable Development Goals” yang disiapkan PBB untuk menggantikan MDG (“Millenium Development Goals”/Sasaran Pembangunan Global).

Sementara itu, Directur Program The Schumacher College (pusat kajian ekologi internasional) Satish Kumar mengingatkan bahwa “The crises we face today, are created by humans. And what can be created by humans, can be changed by humans. So, we are all capable of transforming our world.”.

Dengan kata lain, Satish Kumar yang juga merupakan aktivis perdamaian asal India itu menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah karena ulah umat manusia, sehingga sebenarnya apa yang diciptakan oleh manusia dapat pula diubah oleh manusia.

Untuk mengubah sesuatu, sebagaimana adagium “two is better than one”, maka diperlukan upaya dari banyak orang dari beragam kalangan untuk memahami bahwa ketimpangan sudah merupakan isu yang esensial untuk segera dipecahkan.

Karena itu, pemberitaan media juga perlu pula untuk membuat isu ketimpangan sebagai sebuah pemberitaan yang layak dicermati, jauh dari berbagai macam informasi sensasionalis yang sebenarnya hanya bertahan sebentar.

Bila ketimpangan telah menjadi isu yang “seksi”, maka akan muncul pula berbagai gerakan yang memberikan perhatian lebih dan memberikan masukan kepada isu yang benar-benar berdampak kepada seluruh masyarakat ini.

Diharapkan dengan demikian, isu ketimpangan juga dapat segera diatasi dengan sebuah solusi yang komprehensif dan memenuhi rasa keadilan masyarakat seutuhnya. AN-MB