Setelah Firasat Bambang Widjojanto Nyata, Lalu Apa ?
“Begitu tensi tinggi, kira-kira dua hari lalu. Sehabis Shalat Subuh, saya panggil semua, duduk di tempat tidur. Saya cerita kalau kondisi ini meningkat yang paling buruk adalah penetapan tersangka dan saya ditahan.
“Maka kita sudah mulai membagi tugas, siapa melakukan ini dan itu,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, seusai dilepaskan pada Sabtu (24/1) dini hari di gedung KPK Jakarta.
Bambang yang menghabiskan sekitar 18 jam di ruang Bareskrim Polri pada 23-24 Januari 2015, karena ditangkap tim penyidik dari Subdirektorat VI Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Kejahatan Khusus Bareskrim Polri.
Ia menjadi tersangka kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalbar di Mahkamah Konstitusi pada 2010.
Bambang mengaku bahwa ia sudah punya firasat akan ditangkap, khususnya pascapengumuman 13 Januari 2015 bahwa KPK menetapkan calon tunggal Kapolri Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan saat masih menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006.
“Yah itu kira-kira 2-3 hari sebelum (penangkapan), jadi semua sudah disiapkan semua,” tegas Bambang.
Ayah empat anak ini juga mengungkapkan firasatnya kepada atasan sekaligus koleganya di KPK, Abraham Samad.
“Sesampainya di rumah sakit untuk menjenguk Abdee SLANK, kita banyak bercerita, dan ada sesuatu hal yang menurut saya mungkin Pak BW (Bambang Widjojanto) sudah merasa bahwa akan menjadi target sama dengan saya, ada hal-hal yang sangat sulit saya lupakan ketika dia bilang ‘Pak Abraham ini malam mungkin malam terakhir buat kita’,” tutur Abraham Samad dalam konferensi pers di gedung KPK, Jumat (23/1) malam.
“Saya punya firasat lain, mobil saya menyusul. Saya satu mobil dengan pak BW, dia bilang mungkin ini hari-hari terakhir kita, karena dia bilang ‘Saya punya firasat antum kan dua kali diserang, saya belum, mungkin saya nanti girilrannya’,” ucap Abraham mengulang pernyataan Bambang.
Bahkan menurut Abraham, Bambang pun banyak bicara mengenai masa lalu.
“Dia mengingatkan bagaimana masa-masa lalu. Menurut Pak BW bahwa dia akan dikriminalisaisi dari kasus ini (Kotawaringin Barat), dan saya rasa dia punya firasat juga. Sampai RS kita ngobrol sama Abdee dan saat pulang tidak sama dia lagi, saat itu jam 10 malam,” ungkap Abraham.
Bambang, menurut Abraham, bahkan mengatakan berkhayal bahwa keduanya lebih baik ditahan di Mako Brimob Depok bila keduanya dikriminalisasi.
“Dia main-main sama saya, dia bilang ‘Pak Bram, antum itu senangnya yang mana? Kalau kita dua-duanya ditahan kita ditahan di Markas Brimob saja supaya dekat dengan rumah saya, jadi istri saya bisa antar-makanan ke saya, dan saya bisa kasih makanan saya ke anda,’ tapi saya bilang antum jangan begitu kita masih butuh kamu, Pak BW pun mengatakan, kita harus jaga kemungkinan terburuk,” cerita Abraham.
Firasat itu pun menjadi kenyataan pada Jumat (23/1) pagi.
“Pak BW menduga serangan akan datang ke dia, karena analisis dia serangan itu akan ditujukan ke dua orang yaitu saya dan Pak BW, tapi ada satu hal yang diambil hikmatnya pemberantasan korupsi tidak bisa terhenti dengan ditangkapnya Pak BW,” tegas Abraham.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja juga menyatakan bahwa Bambang sudah berkemas di kantornya.
“Pak Bw beberapa hari terakhir sudah kemas, dia punya ‘feeling’ yang intuitif akan menghadapi kasus ini, saya katakan kepada beliau tidak mungkin lah bos karena saya baru ketemu Badrodin Haiti dan dalam pertemuan itu beliau (Badrodin) mengatakan terkendali dengan benar,” ujar Pandu.
Sehingga karena penjelasan Pandu tersebut Bambang pun keluar rumah pada Jumat pagi tanpa pendamping.
“Beliau keluar rumah tanpa pendamping berdasarkan penjelasan saya, tapi tanpa diduga terjadi hal-hal ini, maka bila pesannya agar kinerja kami terpengaruh insya Allah tidak sepreti itu, kami tetap seperti sedia kala, jadi jangan ada kekhawatiran akan ada perubahan yang terjadi di KPK,” ungkap Pandu.
Firasat lain? Pertanyaan selanjutnya, apakah pimpinan KPK lain juga kemudian mendapatkan firasat mirip Bambang mengingat Abraham Samad, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain juga sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri.
Abraham Samad, dilaporkan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch M Yusuf Sahide karena dinilai melanggar pasal 36 dan pasal 64 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK.
Yusuf mengungkapkan artikel “Rumah Kaca Abraham Samad” yang ditulis Sawito Kartowibowo di laman Kompasiana pada 17 Januari 2015 itu sebagai landasan pelaporan kepada Bareskrim Polri.
Yusuf selanjutnya menyatakan bahwa pelaporan itu pun berdasarkan pengakuan pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto yang melakukan jumpa pers untuk mengungkapkan kebenaran artikel itu.
Hasto pada pada 22 Januari 2015 membuat konferensi pers yang menyatakan bahwa Abraham Samad melakukan beberapa pertemuan dengan para petinggi partai PDIP dan Nasional Demokrat (Nasdem), termasuk pertemuan di apartemen “The Capital Residence” Sudirman Central Business District (SCBD) terkait proses pencalonan Abraham sebagai calon wapres pada Pemilu Presiden 2014.
Hasto bahkan memperagakan kedatangan Abraham dengan menggunakan masker dan topi, sehingga tidak dikenali masyarakat.
Namun, Deputi Pencegahan KPK Johan Budi Sapto Pribowo menyatakan bahwa Abraham membantah tuduhan Hasto itu.
“Pak Abraham membantah dengan keras apa yang disampaikan Pak Hasto cs,” ucap Johan.
Pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh pimpinan KPK menurut Johan hanya terkait dengan sosialisasi pemberantasan korupsi.
“Pertemuan dengan parpol biasa dilakukan KPK karena beberapa kali ketua KPK diundang oleh parpol untuk sosialisasi. Substansi pertemuan itu harus diklasifikasikan apakah boleh dan tidak boleh, misalnya, menghadiri pernikahan anaknya elite parpol kan tidak apa-apa, yang jadi poin adalah substansi pertemuan itu yang diklasifikasikan pertemuan itu haram atau halal,” tambah Johan.
Pernyataan Hasto itu hanya selang seminggu dengan beredarnya foto Abraham Samad bersama seorang perempuan muda yang terindentifikasi sebagai Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira dengan pose mesra dan berangkulan. Belakangan diketahui bahwa foto-foto tersebut hanya rekayasa belaka.
Elvira sendiri memang pernah bertemu dengan Abraham saat acara Program Pemilu Berintegritas pada 8 Maret 2014.
Selanjutnya Adnan Pandu Praja dilaporkan pada 24 Januari 2015 oleh ahli waris pemilih PT Deasy Timber karena diduga memalsukan surat akta perusahaan pada 2005 saat menjadi kuasa hukum perusahaan yang bergerak dalam bidang hak pengelolaan hutan (HPH) tersebut.
Sedangkan pada 28 Januari, Zulkarnain dilaporkan Aliansi Masyarakat Jawa Timur, karena diduga menerima uang dan gratifikasi berupa mobil saat mengani tindak pidana korupsi Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada 2008 yang menjadikan 186 orang sebagai tersangka.
Zulkarnain menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur saat itu. Ia diduga melakukan tebang pilih atas penetapan 186 tersangka yang merupakan penerima P2SEM, misalnya, tidak memeriksa Gubernur Jatim Imam Utomo dan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakt Suyono.
Persoalannya, kenapa baru sekarang kasus-kasus itu dilaporkan? Kenapa setelah KPK menetapkan calon tunggal Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka maka kasus-kasus dari masa lalu itu diungkit pembuktiannya? Apakah panitia seleksi calon pimpinan KPK dan DPR saat melakukan uji kepatutan dan kelayakan tidak memeriksa kasus-kasus itu? Apakah ketiga pimpinan juga punya firasat mengenai kelanjutan pelaporan-pelaporan terhadap diri mereka? Keberlangsungan KPK Hal lain yang perlu dipikirkan tentu adalah keberlangsungan KPK sebagai institusi penegak hukum itu sendiri, dan nasib sekitar 700 orang karyawan KPK bila empat komisioner mereka menjadi tersangka di Bareskrim Polri.
Padahal, dalam konsideran UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK memuat bahwa “…pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.” Selanjutnya disebutkan “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.
Artinya, lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung dinilai memang masih belum maksimal memberantas korupsi dan dibutuhkan lembaga lain yang dapat memutus rantai praktek korupsi sehingga nyawa KPK pun mutlak untuk dipertahankan sebagaimana amanat UU.
Belajar dari pengalaman pada konflik KPK vs Polri jilid I yaitu saat Polri menetapkan dua pimpinan KPK jilid II Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai tersangka dan kemudian ditahan dengan tuduhan menerima suap dari tersangkut kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan Anggoro dan Anggodo Widjojo, terungkap bahwa kasus tersebut merupakan kesepakatan antara pejabat kepolisian dan kejaksaan.
Berdasarkan rekaman pembicaraan hasil sadapan KPK yang diputar di Mahkamah Konstitusi, terungkap percakapan telepon seluler Anggodo itu menunjukkan percakapannya dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan menyebut bagaimana merancang kasus Bibit-Chandra hingga tawar-menawar imbalan kepada pihak-pihak yang diduga ikut merekayasa.
Kejaksaan Agung lalu menghentikannya demi hukum perkara pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Bibit-Chandra.
Di saat yang sama, Ketua KPK Antasari Azhar saat itu juga ditahan Polri dengan tuduhan sebagai otak pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen sehingga membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 4 Mei 2009 memberhentikan sebagai ketua KPK.
Kondisi tersebut mendorong lahirnya Perppu No. 4 tahun 2009 yang diterbitkan pada 21 September 2009 berisi pemberian kewenangan kepada Presiden untuk menunjuk langsung tiga nama pelaksana tugas (plt) Pimpinan KPK di bawah kepemimpinan Tumpak Hatorangan Panggabean.
Jadi, bila akhirnya empat pimpinan KPK menyandang status tersangka di Bareskrim Polri dan berdasarkan pasal 32 ayat 2 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya” bagaimana kelanjutan KPK? Dalam ayat 3 pasal 32 tersebut mengatur bahwa pemberhentian tersebut ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, yaitu melalui Keputusan Presiden (Keppres), dan sayangnya Presiden Joko Widodo sampai saat ini belum mengeluarkan Keppres sebagai sikap resminya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Apakah Presiden Joko Widodo juga butuh firasat agar segera membuat kebijakan resmi demi menyelamatkan KPK? AN-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.