Denpasar (Metrobali.com)-

Keberadaan Taman Budaya (Arts Centre) Bali, Denpasar yang dulunya sangat fenomenal kini semakin dilematis. Pasalnya, sebagai destinasi budaya bangsa Arts Centre Bali yang berada di Jalan Nusa Indah Denpasar secara publik telah dicap gagal menyajikan kreativitas seni budaya secara terus menerus baik bersifat harian, mingguan, bulanan, triwulan, semester, maupun tahunan. Pada umumnya, Arts Centre Bali selama ini hanya mampu bergeming saat penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, yang diagendakan setiap bulan Juni-Juli setiap tahunnya saja.

Ironisnya, kegiatan spektakuler dan sangat kolosal dengan aneka ragam jenis pertunjukan seni budaya unggulan dari para seniman di setiap kabupaten/kota di Bali ini pun masih dianggap gagal menjadi daya tarik wisata nasional (domestik) maupun luar negeri (mancanegara). Ini karena otonomi program kegiatan PKB tersebut hingga saat ini masih tersandera dan bahkan terkooptasi kepentingan hegemoni persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok atau golongan tertentu dalam desa pekraman, terutama yang berada disekitar kawasan Arts Centre Bali, Denpasar. Akibatnya, manajemen pengelolaan dari Arts Centre Bali menjadi terhambat dan kurang greget atau kehilangan kekuatan ruh dan taksunya.

Menyikapi beragam persoalan klasik yang telah menggerogoti Arts Centre Bali itulah kemudian menggulirkan usulan mendesak pemerintah untuk membangun Arts Centre Bali yang baru dengan sistem pengelolaan manajemen modern dan kelengkapan sarana prasarana pemanggungan berstandar internasional. Kenapa ? Ini mengingat kapasitas gedung di Arts Centre Bali saat ini sudah tidak memadai dan refresentatif untuk pementasan pertunjukan seni budaya berskala kolosal dan spektakuler.

Selain itu, sarana prasarana penunjang terutama aksesbilitas jalan menuju Arts Centre Bali tidak nyaman dan selalu krodit karena adanya pengaplingan ruas jalan sebagai lahan parkir liar oleh persekusi etnisitas masyarakat dai kelompok atau golongan tertentu dalam desa pekraman setiap perhelatan PKB berlangsung setiap tahunnya. Celakanya, para elite politik penguasa pemangku kebijakan pun terkesan membiarkan tanpa ada tindakan tegas dari aparat ataupun instansi terkait terutama yang memang memiliki kewenangan dalam penegakkan hukum.

Tak pelak, para pelaku pariwisata merasa enggan dan takut untuk mengarahkan para wisatawan (turis) baik domestik maupun mancanegara yang berwisata di Bali untuk berkunjung ke Arts Centre Bali terutama saat perhelatan PKB berlangsung. Bahkan, Arts Centre Bali pun kini sudah tidak lagi menjadi agenda wisata dalam kalendar kunjungan pariwisata Bali. Mengingat, tak adanya denyut nadi kehidupan berkesenian dalam kesehariannya. Makanya, Arts Centre Bali harus berbenah secara menyeluruh, agar tetap mampu menjadi destinasi budaya bangsa.

Kepada koran ini, Sugi Lanus, sebagai pemerhati sosial budaya yang aktif menjadi narasumber berbagai pertemuan seni budaya baik lokal, nasional maupun dunia ini secara blak-blakan mengakui keberadaan Arts Centre Bali sudah tidak memadai dan refresentatif untuk menggelar pertunjukan seni budaya yang kolosal dan bertaraf internasional. Ini karena memang kapasitas gedung yang sudah sangat terbatas, sehingga tidak dapat menampung apresiasi publik yang terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat setiap tahunnya. Di samping itu, sarana prasana parkir dan akses jalan yang kurang mendukung. “Jadi jalan terbaik harus ada kemauan kuat dari pemerintah untuk membangun Arts Centre Bali yang baru dengan bertaraf internasional,” tegasnya.

Menurutnya, pembangunan Arts Centre Bali yang baru ini harus dilakukan, sebagai upaya menopang kepariwisataan Bali secara mendunia. Jika tidak sudah dapat dipastikan Bali yang selama ini dikenal mendunia dengan pariwisata budayanya akan tertinggal dan kalah bersaing dengan negara lain. Karena hampir seluruh objek wisata di dunia kini berbenah untuk merebut hati warganya, wisatawan dan investor. “Jika pemerintah dulu dengan kepemimpinan Ida Bagus Mantra saja mampu mendirikan Arts Centre Bali, semestinya tidak ada alasan pemerintah sekarang tidak mampu mendirikan Arts Centre Bali yang baru dan lebih modern,” sentilnya.

Hal senada juga diungkap I Gede Arya Sugiartha, Pembantu Rektor II, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang menegaskan bahwa saat kampanye dulu, gubernur Bali saat ini, Mangku Pastika sempat berjanji akan mendirikan Arts Centre Bali yang baru, karena gedung Arts Centre Bali yang ada saat ini sudah tidak refresentatif lagi baik dalam kapasitas penonton maupun ketersediaan lahan parkir.

Menurutnya, memang sudah sangat mendesak untuk mendirikan Arts Centre Bali yang baru untuk kegiatan pementasan seni budaya yang bersifat kolosal dan bertaraf internasional. Sedangkan, gedung Arts Centre Bali yang ada sekarang bisa dimanfaatkan sebagai museum dan pementasan seni budaya tradisional dalam berskala lokal. “Yang penting adalah adanya kebijakan politik secara konkret untuk merealisasikan pembangunan Arts Centre Bali yang baru itu,” tegasnya.

Lebih jauh, Arief Budiman, pemerhati sosial budaya, menambahkan bahwa dengan desakan arus globalisasi yang cukup pesat, memang sudah semestinya pengelolaan Arts Centre Bali berbenah dan menerapkan sistem dan manajemen modern. Terlebih lagi, sebagai destinasi budaya bangsa, Arts Centre Bali harus mampu memberikan informasi publik secara terbuka, dan transparan, serta akuntabel. “Yang jelas pembenahan tidak hanya mempertaruhkan reputasi yang baik tapi lebih merepresentasikan tata nilai adiluhung dari kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal Bali,” ulasnya.

Sementara itu, I Wayan Geriya, selaku budayawan, menegaskan bahwa Bali sejatinya mampu mengubah dunia kalau para elite politik penguasa pemangku kebijakan dapat bersinergi secara holistik dan komprehensif dengan para kaum intelektual baik dari kalangan akademisi maupun praktisi serta tokoh masyarakat dalam membangun kepariwisataan Bali yang berbasis seni budaya Bali. Indikatornya, Bali memiliki keunikan dengan keragaman ritual keagamaan yang sarat kesan magis dalam nuansa religius spritualis. Selain itu, Bali sangat kaya dengan konsep atau filsafat kehidupan yang sangat universal, dan aneka ragam seni budaya, termasuk budaya Subak yang kini telah diakui dunia melalui Unesco sebagai destinasi budaya dunia. “Jadi politik kebijakan merupakan kunci utama dari pembenahan kepariwisataan Bali ke depan, terutama pengelolaan Arts Centre Bali secara lebih baik sebagai modal kultural, edukasi, ekonomi, dan ekologi berbasis budaya dunia,” tegasnya.(nyoman wija)