Denpasar (Metrobali.com)-

Negara bangsa yang dilahirkan melalui perjuangan, dengan pengorbanan: darah, air mata dan harta benda, selalu semarak dalam merayakan hari proklamasi kemerdekaannya. Berbagai rupa lomba dengan semarak diselenggarakan, perayaan yang penting untuk merawat dan merevitalisasi spirit kebangsaan. Spirit kebangsaan dikatakan, nilai: kemanusiaan, persatuan dan keadilan sosial dikumandangkan, dalam fenomena kehidupan yang didominasi oleh: Nepotisme, Oligarkhi dan agenda terselubung ambisi besar kekuasaan. Nepotism, Oligarhy and Hidden Ambition.
Timbul pertanyaan menggelitik, bagaimana perayaan menggugah kesadaran, menjadi “metaksu”, jika figur publiknya tidak dipercaya, mengalami “social distrust” akut dalam fenomena kebangsaan yang sarat dengan nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Nepotisme politik menjadi nyata, yang mencapai puncaknya dalam politik dinasti yang merambah luas, dari Jakarta – Sabang – Merauke. Prilaku politik yang melahirkan keputusan ekonomi politik yang “mempersubur” kesenjangan pendapatan, distribusi kekayaan dan ketidakadilan sosial.
Perayaan proklamasi Kemerdekaan, memerlukan pendekatan baru, melahirkan greget kesadaran, akan arti semakin penting nilai – nilai: kebangsaan, kemanusiaan, keadilan sosial, tidak sekadar acara monoton, yang diisi oleh pidato pejabat publik yang diragukan kapasitas moralnya dalam perjuangan bersama mengisi kemerdekaan.
Dalam perayaan 79 tahun proklamasi kemerdekaan, diperlukan pendekatan ketokohan yang telah terbukti berprestasi dalam perjuangan bersama mengisi kemerdekaan.
Dalam konteks ini, penulis ajak netizen mengenang ketokohan Prof.Dr.Wayan Windia dalam mengemban profesi dan intelektualitasnya selama perjalanan hidupnya.
Prof.Windia, demikian kami rekannya menyebut seorang jurnalist by profession, Re, profession by Calvin.Pakar pertanian yang mumpuni, pembela Subak yang tangguh, pemikir dan pelaku kebangsaan yang pantas menjadi suri teladan bagi generasi muda, terlebih-lebih bagi generasi yang “DNA”nya Merah Putih. Mereka yang lahir dari orang tua yang 9 bulan dalam kandungan, diiringi doa berkepanjangan, agar insan manusia yang akan lahir mengabdi buat bangsa dan masa depan bangsanya.
Prof.Windia yang lahir Desa Sukawati, Gianyar 15 Desember 1949, meninggal di Denpasar, 1 April 2023, dibuatkan upakara pengabenan di Sukawati, 11 April 2023, memberikan keteladanan dalam upaya mengisi kemerdekaan, menyebut beberapa, pertama, memilih profesi wartawan secara profesional dan bertanggung-jawab, mewakili kepentingan publik, menyebut beberapa: pentingnya paham kebangsaan, keberpihakan kepada petani, pembelaannya “at all cost” bagi sistem Subak. Kedua, sebagai pakar pertanian, berjuang lahir batin sepanjang hidupnya: membela kepentingan petani: jumlah APBD untuk petani, strategi pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani, NTP (Nilai Tukar Petani) yang harus terus ditingkatkan. Ketiga, pembela gigih dan lantang bagi petani, melalui kritik kerasnya pada kebijakan pemerintah, dalam bahasa Prof.Windia: demikian harga beras, cabai, bawang naik, pemerintah segera melakukan pengendalian, sehingga petani tidak memperoleh surplus dari kenaikan harga komoditas pertanian. Ketiga, bersuara amat lantang terhadap konversi lahan pertanian ke industri, dan terus menerus mengingatkan, jika konversi lahan pertanian 2,000 ha per tahun, diperkirakan setelah 10 tahun, Subak tinggal nama. Kritiknya terhadap Perda Desa Adat no.4/2019 yang “menganakemaskan” Bendesa Adat dan “menganaktirikan” Pekaseh dan Bendega, padahal kegiatan ekonomi produktif merupakan “swadharma” Pekaseh dan Bendega Dengan sebuah pertanyaan retorik, apakah orang Bali bisa hidup dari Adat tanpa pengelolaan subak dan desa pesisir?.
Prof.Windia, meminjam pemikiran Gandhian “Man of action”,,memilih jalan karma yoga (istilah yang Prof.Windia belum tentu berkenan). Mungkin mengikuti jejak ayahnya Made Sanggra, pejuang kemerdekaan, intelektual yang kemudian menjadi sastrawan, sebagaimana orang Bali yang menjadi panutan, berkarya tanpa henti tanpa terlalu hirau pada hasilnya.

Oleh : I Gde Sudibya, intelektual, sahabat Prof. Wyn. Windia.