3 Organisasi Pemerhati Lingkungan, Tanggapi Polemik Desa Serangan dan Soroti Permohonan Perijinan Mangrove Tahura Ngurah Rai oleh PT BTID
Denpasar, (Metrobali.com)
Selasa, 04 Februari 2025 KEKAL Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup) Bali, FRONTIER (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali dan WALHI Bali mengadakan konferensi pers dalam menanggapi polemik Investasi PT BTID (Bali Turtle Island Development) terhadap masyarakat Pulau Serangan, yang sebelumnya viral di berbagai media. Acara konferensi pers tersebut dilakukan di yang berlokasi di Kubu Kopi, Jalan Hayam Wuruk Denpasar.
Dalam acara tersebut I Kadek Angga Krisna Dwipayana yang mewakili KEKAL Bali mendampingi Made Krisna Bokis Dinata selaku Direktur WALHI Bali dan dimoderatori oleh I Wayan Sathya Tirtayasa menjelaskan jika Reklamasi yang dilakukan oleh PT BTID dinilai merampas ruang masyarakat, hal ini dibuktikan dengan temuannya yang dikutip dari penelitian Parwata, I. W., Darmawan, I. G. Y., & Nurwarsih, N. W. (2015) mengenai Perubahan Tata Ruang Pesisir Pasca Reklamasi di Pulau Serangan. Dalam penjelasnya dijelaskan jika luasan pemukiman penduduk yang sebelumnya seluas 111 Hektar berkurang menjadi 46,5 Hektar. Selain itu Krisna Bokis juga menjelaskan jika pasca reklamasi, wilayah garis pantai yang dikuasai/dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat hanya sekitar 2,5 kilometer dari total panjang garis pantai pascareklamasi Pulau Serangan sepanjang 20 kilometer, dan 17,5 kilometer dikuasai PT BTID. “Penelitian ini menunjukan bagaimana berkurangnya wilayah pemukiman Desa Serangan serta berkurangnya penguasaan Garis Pantai yangmana menurut kami merupakan bentuk invasi oleh 1 perusahaan atau korporasi yang menunjukan betapa rakusnya investasi pariwisata yang tak tanggung-tanggung mengorbankan dan merampas wilayah serta ruang hidup masyarakat.” ucap Bokis.
Rekonstruksi Perubahan Tata Ruang dari penelitian Parwata dkk (2015)
Lebih lanjut Krisna Bokis juga memaparkan jika Kanal Pariwisata yang di bangun pasca reklamasi yang dilakukan di Serangan juga menambah masalah bagi masyarakat. Data pengukuran terakhir dari citra satelit resolusi tinggi tertanggal 20 Juni 2023 panjang kanal ini mencapai lebih dari 1,5 km yang memotong dan mengsegmentasi lahan warga Serangan dengan lahan Reklamasi milik PT BTID. “Mengutip laporan Studi Lisa Woinarski tahun 2002, terlihat jika keberadaan Kanal Pariwisata seakan mensegmentasi lahan dan mengisolasi masyarakat Serangan di pulaunya sendiri” ungkap Bokis.
Peta Lokasi Sekarang atas Akses Masuk Kawasan BTID dan Kanal wisata yang membatasi lahan milik PT BTID dengan lahan masyarakat Desa Serangan,
Selain itu pihaknya juga menyoroti jika PT BTID juga sedang berupaya mengajukan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang santer dilakukan sejak September 2023 yang mana hal ini di klaim untuk pemeliharaan dan pengamanan pantai, sehingga dapat memadukan darat dan laut menjadi satu kesatuan yang kompak untuk kegiatan usaha pariwisata. “Melihat Peta pengajuan yang dilakukan oleh pihak PT BTID untuk mengajukan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kami duga merupakan upaya pemblokiran perairan atau penguasaan perairan Serangan oleh PT BTID” Tegasnya.
Peta yang disalin kembali Indikasi Pengajuan PKKPRL oleh pihak PT BTID
Lebih jauh, Krisna Bokis juga menanggapi mengenai alasan pemasangan pelampung yang dilakukan oleh PT BTID yang sebelumnya diungkapkan sebagai bentuk keamaan sebab sebelumnya ada dugaan penyelundupan BBM liar yangmana hal ini sempat diungkapkan oleh Tanto Wiyahya selaku komisaris Utama PT BTID.
Menaggapi hal tersebut Krisna Bokis menilai jika pernyataan atau alasan Tanto Wiyahya sangat tidak masuk akal dan mengada-ada. Sebab melihat dari pernyataan klarifikasinya tersebut, menunjukan jika PT BTID tidak memiliki dasar yang jelas untuk melakukan pemagaran di perairan tersebut sebab periran tersebut merupakan wilayah publik. Kalaupun memang benar terjadi kejadian berupa BBM atau penyelundupan apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti yang diungkapkan oleh Tanto Wiyahya, tentu pihak BTID bisa berinisiatif melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib, bukan justru berinisiatif untuk memagari perairan sehingga membatasi akses nelayan dalam mencari ikan dan mencederai sumber penghidupan mereka. “Sehingga PT BTID harus segera membuka pagar/pembatas pelampung yang ia pasang di perairan Serangan tersebut” tuntut Bokis.
Selanjutnya, Polemik PT BTID terhadap masyarakat Serangan salah satu isu yang muncul adalah penggusuran kepada 17 UMKM yang dinilai melanggar oleh UPTD Tahura Ngurah Rai. Tak tanggung-tanggung, peringatan pembongkaran bangunan yang dinilai menggangu areal Mangrove Tahura Ngurah Rai ini dilakukan sebanyak 3 kali atau SP3. Namun disisi lain, menurut informasi dari berbagai media, pihak PT BTID sedang melakukan upaya permohonan ijin pengelolaan Mangrove Tahura Ngurah Rai yang ada di Serangan.
Menanggapi hal ini Krisna Bokis mengatakan jika hal tersebut merupakan sebuah Langkah atau sikap yang tidak Adil sebab. Dalam catatan kami Kawasan Mangrove Tahura Ngurah Rai mengalami penyusutan yang amat signifikan dan salah satu penyebab penyusutan tersebut lantaran pelepasan kawasan hutan yang diberikan untuk PT. BTID (Bali Turtle Island Depelopment) seluas 62,14 Hektar yang diakui oleh Ketut Subandi selaku Kepala UPTD Tahura Ngurah Rai. Hal tersebut terkuak pada Konsultasi Publik terkait penataan Blok terakhir kali dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2021. “Apabila alasan UPTD Tahura Ngurah Rai memang menjaga Mangrove dalam kasus penertiban UMKM di Serangan mengapa dirinya sebelumnya merelakan kawasan mangrove seluas 62,14 Hektar dilepas dan diberikan kepada BTID ? Mengapa UPTD Tahura Ngurah Rai tidak melakukan hal yang sama yakni ketegasan dalam membela mangrove ketika ada itikad atau intervensi pelepasan kawasan Mangrove oleh PT BTID yang kembali mengajukan perijininan pengelolaan Mangrove seluas 27 Hektar ? Beranikah UPTD Tahura Ngurah Rai menolak terkait permohonan oleh PT BTID tersebut setegas ia melindungi lahan mangrove dari dugaan ancaman terhadap mangrove oleh bangunan UMKM di Desa Serangan ?” Tanya Bokis.
“Kami tentu sangat mengecam tindakan UPTD Tahura Ngurah Rai yang beraninya hanya mempermasalahkan UMKM masyarakat kecil yang kedapatan berada di kawasan mangrove namun tidak mempermasalahkan pelepasan kawasan seluas 62,14 Hektar yang jelas-jelas mengurangi tutupan mangrove Tahura Ngurah Rai serta menolak permohonan perijinan pengelolaan Mangrove seluas 27 Hektar oleh PT BTID” imbuhnya. (RED-MB)