Denpasar,(Metrobali.com)

Sebagaimana diberitakan secara luas, tanggal 29 Januari 2023 ditetapkan sebagai hari Arak Bali oleh Gubernur Wyn.Koster, dengan alasan utama katanya untuk meningkatkan kesejahteraan para petani pengrajin Arak.

Bagi penulis, keputusan kontroversial ini, tamsilnya melahirkan “kabut” tebal menyelimuti tanah Bali, merujuk kepada sastra agama yang menyatakan “kabut” tebal dalam diri oleh keinginan tanpa batas (keserakahan), akan menutupi jiwa, sinar Atman, melahirkan kegelapan jiwa yang bisa melahirkan keputusan kehidupan kontroversial, tidak berkeadaban dan jauh dari keluhuran budi.

Realitas personal ini, dalam masyarakat dengan tradisi “suryak siu” bisa menjadi realitas sosial, yang menggambarkan turunnya kualitas keadaban publik.
Keputusan gubernur ini sarat kontroversi, menyebut beberapa alasan, pertama, keputusan yang melanggar etika publik. Semua orang tahu, minuman arak apalagi dengan kadar alkohol 35 persen – 40 persen adalah minuman keras, secara etika dan moral adalah minuman yang dilarang dikonsumsi oleh manusia, sehingga peredarannya dalam aturan hukum yang berlaku di banyak negara diatur secara ketat pengawasannya dan sangsi hukum yang jelas.Bukan sebaliknya, DIISTIMEWAKAN.Keputusan yang jelas melanggar etika publik. Kedua, keputusan ini akan melahirkan persepsi yang kemudian menjadi citra yang berupa arak yang memabukkan adalah konsumsi umum masyarakat Bali dengan kebanggaan. Padahal realitas masyarakat Bali pada umumnya tidaklah demikian.

Jangan sampai kemudian lahir citra, Bali sebagai pulau arak yang sebagian besar masyarakatnya pemabuk. Pengganti dari brand dan bahkan equity brand Bali yang telah lama mendunia ” Paradise Island”.

Citra, brand image terlebih-lebih bagi daerah yang mengandalkan ekonominya dari industri pariwisata amat sangat penting, dalam pandangan pakar marketing dunia Philips Kotler. Artinya jangan bermain “api” dengan brand image. Ketiga, dalam masyarakat yang perekonomiannya sosialisme religius: satuan-satuan produksi kecil dan produktif, kegiatan ekonomi masyarakat yang dalam dirinya mengandung pemerataan dan berkeadilan, dilandasi oleh keyakinan kuat akan kepercayaan niskala, ada banyak sekali cara kebijakan untuk menaikkan penghasilan petani pengerajin arak secara lebih cerdas, berkeadaban tanpa melahirkan biaya sosial yang amat mahal.

Pengambilan keputusan dengan pertimbangan elektoral dalam demokrasi elektoral adalah sah-sah saja, hanya saja semestinya tetap berpegang teguh pada etika dan moralitas politik, pada prilaku keutamaan dalam berpolik – political virtue- sebagaimana diteladankan oleh Bapak/Ibu pendiri republik, terutama Soekarno yang fotonya selalu diusung tinggi-tinggi di setiap musim kampanye di Bali.

I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali, anggaota BP. MPR RI Fraksi PDI Perjuangan 1999 – 2004, pernah menjabat pimpinan fraksi MPR RI Fraksi PDI Perjuangan dengan Wakil Ketua MPR RI Ir.Sutjipto, dan pimpinan fraksi PDI. Perjuangan, Ketua Sophan Sophian dan Sekretaris Fraksi dr.Soekowalujo Mintohardjo.