pajak

Jakarta (Metrobali.com)-

Pemerintah menjadikan 2015 sebagai momentum kebangkitan pajak nasional sehubungan pajak menjadi sumber penerimaan utama dan tulang punggung pendapatan negara.

Pajak makin penting bagi kelangsungan pembangunan nasional sementara pencapaian penerimaannya sesuai target APBN dalam 10 tahun terakhir ini selau gagal. Penerimaan pajak 2014, misalnya, diperkirakan hanya Rp981,9 triliun atau sekitar 91 persen dari perkiraan Rp1.072,4 triliun.

Penyebab penerimaan pajak tidak mencapai target pada 2014 itu adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi pada sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan, perlemahan kinerja impor dan penurunan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional.

Rapat Paripurna DPR pada Jumat (13/2) menyetujui pengesahan RUU APBN Perubahan 2015 menjadi UU. Dalam APBN-P 2015 itu penerimaan negara ditetapkan sebesar Rp1.761,6 triliun, dan belanja negara Rp1.984,1 triliun.

Dari target penerimaan negara itu dari perpajakan non-migas ditargetkan Rp1.439,7 triliun, dengan rasio pajak 13,69 persen. Angka rasio pajak selama ini hanya berkisar pada 12 persenan.

Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan penerimaan pajak telah menjadi tulang punggung pendapatan negara dan menjadi makin penting bagi kelangsungan pembangunan nasional.

Selain menjadi sumber penerimaan, pajak juga mampu membawa kewibawaan, sekaligus memberikan hak bagi warga negara dalam bentuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur dan fasilitas umum.

Melalui pendapatan pajak yang optimal maka pemerintah akan memiliki dana yang cukup bagi pengembangan infrastruktur dan fasilitas bagi masyarakat.

“Dengan budget yang terpenuhi, kita bisa buat jalan yang bagus, akses kesehatan mudah dan murah, keamanan terjaga, pendidikan berkualitas, semua itu bisa kita wujudkan demi warga,” kata Menkeu.

Agar target penerimaan pajak itu tercapai Menkeu mengatakan perlu dilakukan reformasi dan perubahan struktur birokrasi serta perbaikan administrasi perpajakan.

Selain itu dilakukan juga penegakan hukum, perbaikan regulasi terkait pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), serta ekstensifikasi wajib pajak baru, optimalisasi kepabeanan dan cukai, dan perbaikan mekanisme asilitas penundaan pembayaran cukai.

Lakukan upaya Direktur Jenderal Pajak yang baru dilantik Jumat (6/2) Sigit Priadi Pramudito mengatakan akan melakukan berbagai upaya intensifikasi serta ekstensifikasi seperti yang sudah dilakukan hingga sekarang serta melakukan berbagai upaya baru agar target penerimaan tercapai.

“Harus kita upayakan, tidak ada alasan untuk bermain-main. Untuk mengatasi itu, ntegritas pegawai kita utamakan karena itu bisa menghajar semua, termasuk mafia. Kita juga tidak akan membuat masyarakat protes,” ujarnya.

Sigit tidak menjelaskan secara detil upaya baru yang akan dilakukan tersebut, namun ia memastikan akan memberikan pengertian kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) non-karyawan yang selama ini kurang memberikan kontribusi pajak.

“Ada caranya, semua bisa melalui pendekatan yang baik. Semua kita imbau. Saya yakin semua orang kalau kita imbau, pasti mau mereka membantu,” kata Sigit.

Menkeu Bambang Brodjonegoro ketika melantik Sigit dan sejumlah pejabat di lingkup Kementerian Keuangan memberikan pesan khusus kepada Dirjen Pajak baru untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, mengurangi kebocoran dalam penerimaan pajak serta memerangi setiap praktik yang menghalangi DJP dalam memungut pajak dari wajib pajak tertentu.

“Di satu sisi, kita jadikan tekad upaya meningkatkan penerimaan pajak tidak mengganggu iklim usaha dan tidak mengganggu aktivitas bisnis di Indonesia. Masyarakat yang harus khawatir dengan upaya kita menggalakkan penerimaan pajak adalah wajib pajak yang nakal dan tidak patuh, kalau wajib pajak yang sudah patuh dan tidak nakal tentunya kita perlakukan sebagai mestinya,” kata Menkeu.

Perkuat DJP Penguatan institusi DJP selalu disampaikan pemerintah, termasuk pada tahun ini ketika pemerintah menjadikan tahun ini sebagai momentum kebangkitan pajak nasional.

Pemerintah beberapa waktu yang lau pernah mengatakan akan memperkuat institusi DJP agar makin optimal dalam menghimpun penerimaan negara.

Penguatan institusi tersebut mencakup pembenahan kelembagaan, sumber daya manusia, akses data dan insentif serta penegakan hukum.

Salah satu upaya penguatan kelembagaan dalam tubuh DJP itu adalah adanya fleksibilitas atau perubahan struktur agar institusi tersebut memiliki kewenangan tersendiri dalam mencari dan menambah pegawai sesuai kebutuhan.

Kementerian Keuangan kabarnya juga mengkaji untuk menempatkan tiga atau empat Deputi yang akan membantu tugas Dirjen Pajak sehingga diharapkan kinerja aparatur pajak dapat lebih maksimal dalam meningkatkan penerimaan pajak bagi negara.

Juga dibahas mengenai kelanjutan peta jalan (roadmap) pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Badan ini diharapkan dapat mendorong efektivitas dan efisiensi kerja berbagai unit kerja yang selama ini bertugas menagih besaran penerimaan negara, terutama dari sektor pajak dan bea cukai.

Penguatan kelembagaan itu di antaranya berupa peningkatan jumlah sumber daya manusia, keleluasaan akses data bagi otoritas pajak dan insentif bagi pegawai pajak. Jumlah pegawai pajak saat ini sekitar 32.000 orang, padahal jumlah wajib pajak di Indonesia lebih dari 60 juta orang.

Sementara penguatan otoritas pajak difokuskan dalam penguatan secara institusi, dengan pemberian wewenang khusus seperti keleluasaan rekruitmen pegawai. Pemerintah juga masih memfokuskan agar garis wewenang otoritas pajak tetap berada di bawah Kementerian Keuangan.

“Kami lebih banyak bicara organisasinya dulu. Kelembagaan tetap di Ditjen Pajak, nanti diperkuat dan punya perlakuan khusus,” kata Menkeu.

Sementara itu pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako mengatakan tanpa pembenahan dan gebrakan baru, target pajak yang tinggi menjadi sesuatu yang tidak masuk akal untuk tercapai.

Menurut dia, penerimaan pajak selama ini tidak tercapai karena minimnya partisipasi masyarakat Indonesia dalam membayar pajak, padahal potensi pajak berbanding dengan jumlah penduduk Indonesia, sangat besar.

“Dari 250 juta penduduk, yang punya penghasilan dan wajib bayar pajak itu sekitar 50 persen. Tapi yang terdaftar hanya 30 juta saja, dan itupun yang patuh membayar pajak hanya tiga juta saja. Ini perlu kebijakan khusus,” kata Ronny.

Sementara pengamat pajak Darussalam menilai pentingnya reformasi sektor pajak dan pembenahan struktural, agar pemerintah bisa memenuhi realisasi penerimaan pajak yang setiap tahun nyaris tidak pernah mencapai target.

Menurut dia, ada tiga tahapan reformasi pajak yang harus dilakukan pemerintah yakni reformasi kelembagaan, administrasi perpajakan, dan aturan perpajakan. AN-MB