16 Desa Adat Kecamatan Busungbiu Larang Sampradaya Non Dresta Bali : Desa Adat Pelapuan Tutup Pasraman Hare Krisna

 

Busungbiu, Buleleng (Metrobali.com)-

Penolakan dan pelarangan aliran sampradaya non dresta Bali di wewidangan Desa Adat di Bali makin meluas. Kesadaran masyarakat adat atas ajaran dalam aliran sampradaya non dresta Bali yang dapat menggerus adat, budaya dan dresta Bali yang bernafaskan agama Hindu makin meningkat. Kesadaran ini, karena banyaknya pengalaman yang dirasakan krama adat dan makin mengganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat adat di Bali. Hal tersebut terungkap, saat 16 Desa Adat di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali menggelar Deklarasi Bersama menolak dan melarang Sampradaya Non Dresta Bali di Sekretariat Majelis Alit Desa Adat Kecamatan Busungbiu, Buleleng, Rabu (19/5/2021).

 

Dalam deklarasi selain dihadiri oleh 16 Bendesa Adat, juga dihadiri dari Majelis Madya Desa Adat Kabupaten Buleleng, Nyoman Dharma Wartha; Jro Bendesa Alit Majelis Desa Adat Kecamatan Busungbiu, I Putu Witaya; Sekretaris Camat Busungbiu, I Ketut Suastika. Hadir pula komponen masyarakat dari Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali antara lain, Amukti Palapa Nusantara (APN), Cakrawahyu, Taksu Bali Dwipa, Lateng Ngiu, Giri Tohlangkir, Bramastra dan Semeton NKRI.

 

Dalam kesempatan tersebut, MDA Buleleng,Nyoman Dharma Wartha mengatakan Deklarasi yang dilaksanakan di Kecamatan Busungbiu adalah kecamatan terakhir di Kabupaten Buleleng yang mendeklarasikan diri, bersama 16 Desa Adatnya untuk menolak dan melarang Sampradaya Non Dresta Bali, sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) dari PHDI Bali dan MDA Bali. Dengan dasar Perda nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat, Desa Adat memiliki kewenangan untuk mengatur wewidangan desa adatnya, termasuk menolak dan melarang sampradaya non dresta Bali ini.

‘’Deklarasi ini lahir dari pauman desa yang menghasilkan pararem desa. Bendesa Adat menjalankan pararem ini, bersama Desa Adat se-kecamatan Busungbiu menggelar deklarasi menolak dan melarang sampradaya non dresta Bali di wewidangan desa adat masing-masing,’’ papar Dharma Wartha.

 

Jro Bendesa Alit, MDA Kecamatan Busungbiu, I Putu Witaya menambahkan bahwa Desa Adat yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga Tri Kahyangan dengan Panca Yadnya yang berlandaskan agama Hindu dengan Panca Sradanya. Jika ada yang menyebarkan aliran yang malah merusak desa mawacara ini, harus disikapi dengan tegas. ‘’Dari menjaga dresta Bali berlandaskan agama Hindu ini, Bali menjadi ajeg. Dan menjaga jati diri kita sebagai orang Bali,’’ tegasnya.

 

Bendesa Adat Pelapuan, Gede Rena mengatakan pihaknya segera menyikapi ketika SKB PHDI-MDA Bali disosialisasikan. Sampradaya non dresta Bali ini, diyakini akan menggeser budaya Bali. Gong Bali diganti. Tarian Bali diganti. Cara-cara persembahyangan sesuai dengan warisan leluhur diganti. Semua diganti dengan cara-cara budaya asing. Oleh karena itu, Desa Adat Pelapuan membuat pararem yang mengatur, menolak dan melarang kegiatan sampradaya non dresta di wewidangan Desa Adat.

 

Di Desa Adat Pelapuan ada satu Pesraman Hare Krishna yang bernama Sri Braja Nila Mandala. Pasraman ini, telah dipantau dan dilakukan pencegahan pelaksanaan kegiatan ritual non dresta dan akhirnya dilakukan pelarangan untuk melakukan ritual non dresta Bali.

‘’Kami sudah melakukan pemantauan, pencegahan dan pelarangan kegiatan Sampradaya non dresta di wewidangan desa adat kami. Oleh karena itu, Pesraman yang ada di wewidangan Desa Adat Pelapuan, kami nyatakan ditutup,’’ tegas Bendesa Gede Rena.

 

Sementara itu, Sekjen Forkom Taksu Bali, Khismayana Wijanegara mengatakan pihaknya bersama komponen masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Taksu Bali mengadakan sosialisasi SKB PHDI-MDA Bali di seluruh Desa Adat di Bali. ‘’Kami sangat apresiasi dan berterima kasih kepada jro Bendesa dari majelis madya, majelis alit sampai kepada bendesa adat di wewidangan desa adat seluruh Bali, yang menyikapi keberadaan SKB ini dengan respon positif. Saatnya kita mengajegkan adat budaya dresta Bali dari gerusan sampradaya ini. Sedikit saja kita lengah, kita akan kehilangan krama adat kita. Karena sampradaya ini, jadi benalu di tubuh agama Hindu kita selama ini,’’ papar Khismayana.

 

Ketua APN, Ketut Sumiarta (Jro Wilis) menambahkan, deklarasi-deklarasi yang dilakukan terus menerus dan terakhir di Busungbiu ini, berdasarkan MoU atau kesepahaman antara Fokom Taksu Bali dengan MDA Kabupaten Buleleng, yang bekerja sama bahu membahu mendukung SKB PHDI-MDA Bali. ‘’Kami melakukannya dengan tidak melanggar hukum positif, semua atas kesadaran masing-masing yang dilaksanakanoleh Desa Adat di wewidangannya. Jadi, kami berjuang bersama dengan ajegnya dresta adat dan budaya yang bernafaskan Hindu Bali,’’ tegasnya.

 

Dewan Penasihat Cakrawahyu Buleleng, Dewa Nyoman Widnyana (Ajik Aura) didampingi Ketua Cakrawahyu Buleleng mengatakan pihaknya bersama komponen Forkom Taksu Bali di Buleleng telah bergerak dan turun bersama-sama. Mendekati dan mensosialisasikan SKB PHDI-MDA Bali ini. Kesadaran masyarakat adat muncul dan memberikan respon yang sangat positif. ‘’Kami akan terus ikut memantau dan mengawasi kondisi di lapangan. Karena rorongan sampradaya non dresta Bali ini, masih berbahaya. Kita harus tetap waspada,’’ tandas Ajik Aura.

Editor : Sutiawan