Foto : Diskusi Publik YLKI dan PLN Bali di Kantor DPD RI Perwakilan Bali, Renon, Denpasar, Jumat (20/4/2018).

Denpasar (Metrobali.com)-

Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Pusat Tulus Abadi mengatakan kebutuhan listrik di Bali sangat tinggi dan perlu solusi. Untuk itu pembangunan Jawa Bali Crossing (JBC) dinilai sebagai solusi yang dapat mengakomodir semua kepentingan.

“Saya yakin JBC ini menjadi win-win solution terbaik dari sisi kelistrikan dan lingkungan di Bali,” kata Tulus Bali dalam diskusi publik dalam rangka memperingati Hari Konsumen Nasional 2018 “Menatap Masa Depan Bali Dengan Sistem Kelistrikan Yang Handal,” yang digelar YLKI Bali di Kantor DPD RI Perwakilan Bali, Renon, Denpasar, Jumat (20/4/2018).

Ditambahkan permintaan listrik di Bali mencapai 8,5 persen per tahun dan melebihi rata-rata nasional. Terlebih Bali merupakan kawasan pariwisata yang kebutuhan listriknya sangat tinggi. “Maka JBC jadi win win solution untuk permintaan listrik yang melebihi rata-rata nasional,” tambah Tulus Abadi.

Sistem interkoneksi dalam JBC, imbuhnya,  punya beberaa kelebihan di Bali sebagai green island.  Hal itu juga akan menurunkan biaya pokok penyediaan listrik. Di sisi lain dampak negatif yang diterima Bali dinilai lebih kecil ketimbang Jawa dalam pembangunan JBC.

“Untuk JBC, Jawa yang produksi.  Jawa terima sampahnya.  Bali terima hasilnya. Jadi dengan JBC akan lebih murah ketimbang Bali membangun pembangkit listrik sendiri jauh lebih mahal,” ujarnya.

Kalau JBC tidak dibangun maka paling tidak di Bali harus dibangun minimal 9  PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).  Namun biaya produksinya sangat tinggi. Lahan di Bali juga mahal karena berdimensi ekonomi dan pariwisata. Pembangunan PLTU di Bali sebagai daerah pariwisata juga akan menjadi kampanye negatif karena seluruh dunia termasuk organisasi pemerhati lingkungn Greenpeace mendorong pengurangan PLTU.

Jadi kalau di Bali menjamur PLTU tidak sesuai dengan konsep green tourism dan Bali Clean and Green. Di sisi lain PLTU juga perlu tower dan kabel-kabel ekstra tinggi. Kalau PLTU dibangun sama memerlukan kabel tinggi seperti JBC.

Terkait dengan ditolaknya JBC, namun PTLU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap)  masih bisa diakomodir, YLKI menilai hal tersebut sebagai sebuah kemunduran cara berpikir dan bersikap. “Menolak JBC tapi membangun PLTU ini artinya kemunduran.  PLTU berbiaya tinggi dan jadi kampanye negatif untuk pariwisata Bali,” tegas Tulus Abadi.

JBC kalau ditolak dengan alasan adat, kata Tulus Abadi,  mungkin masih bisa diperdebatkan. Tapi jangan sampai ada politisasi menolak JBC dengan isu-isu adat.

Sementara itu General Manager PLN Distribusi Bali I Nyoman Suwarjoni Astawa mengatakan dengan adanya pro kontra pembangunan JBC,  PLN Bali tentu perlu mengkaji secara mendalam dan melakukan perencanaan yang lebih matang.

Pihaknya pun mengajak semua pihk berpikir jernih menyikapi JBC ini sebab hal ini menyangkut masa depan kebutuhan listrik di Bali.  Sebab jika JBC tidak terealisasi dan tidak ada sumber listrik lain maka Bali krisis listrik dan pemadaman bergilir setiap hari sudah di depan mata.

“Kami yakin kalau JBC tidak terbangun dengan situasi sekarang, maka tahun 2022 keadaan kelistrikan di Bali akan parah. Bisa jadi ada pemadaman bergilir setiap dua atau tiga jam,” ujarnya.

Dengan masih adanya penolakan sejumlah pihak atas rencana proyek JBC, target realisasi JBC di tahun 2019 terancam gagal dan molor.  “Dengan kondisi sekarang,  imposible 2019 realisasi JBC.  Terjadi tahun 2020 sudah hebat,” pungkas Astawa.

Pewarta : Widana Daud

Editor    : Hana Sutiawati