Yakuza Apocalypse

 
Jakarta  (Metrobali.com)-
“Yakuza Apocalypse” tidak bisa dimasukkan ke dalam satu genre film karena sutradara Takashi Miike mencampuradukkan banyak hal di dalamnya, film absurd dengan sentuhan laga, fantasi, komedi, hingga mitologi Jepang.

Film itu dibuka dengan perkelahian antara bos yakuza, sindikat mafia Jepang, Kamiura (Lily Frankie) yang tak terkalahkan.

Muntahan peluru dari senapan musuh yang bersarang di tubuhnya tak membuatnya tewas. Wajar saja, karena Kamiura rupanya seorang vampir yakuza.

Warga sekitar tidak tahu kalau Kamiura seorang vampir yakuza dan menghormatinya karena dia banyak membantu warga mengatasi kesulitan, mulai dari mengingatkan guru sekolah agar tidak berjudi hingga memberi uang seorang ayah yang nyaris membunuh anaknya karena tidak punya uang.

Orang yang mengetahui identitas asli pemimpin yakuza yang memilki banyak pengikut itu adalah penjual mie yang menyediakan “makanan” untuk sang vampir.

Dari waktu ke waktu, kawan Kamiura itu akan memilih satu dari banyak narapidana yang dikurung dalam kelas merajut di ruangan bawah tanah tokonya untuk menjadi santapan vampir.

Kamiura mengusung prinsip “tidak melukai warga sipil” dan berhati-hati dalam memilih mangsa. Dia enggan menghisap darah warga sipil tak berdosa meski rasanya jauh lebih lezat dan kaya nutrisi.

Dari banyak pengikut Kamiura, ada anggota paling setia bernama Kageyama (Hayato Ichihara), yang sangat mengagumi kemampuan bos yakuza menjaga perdamaian bagi warga sipil di daerahnya. Namun Kageyama kerap menjadi olok-olokan karena kulitnya terlalu sensitif untuk dirajah.

Suatu hari, muncul orang misterius berpakaian serupa cosplayer gotik yang menyandang tas berbentuk peti mati berisi senjata pembasmi vampir.

Dia ditemani Kyouken (Yayan Ruhian), seorang ahli bela diri berkedok otaku anime culun. Keduanya menghajar Kamiura hingga tewas karena bos yakuza itu tidak mau diajak kembali bergabung ke sindikat internasional.

Sebelum benar-benar mati, Kamiura menggigit leher Kageyama demi menurunkan kekuatan vampir yang selama ini disembunyikannya.

Kageyama yang telah menjelma menjadi vampir sulit mengendalikan rasa laparnya sehingga dia secara acak menghisap darah warga sipil.

Bagaikan efek domino, insiden itu membuat populasi vampir meningkat tajam di kalangan masyarakat sipil.

Yakuza yang bukan vampir jadi kelabakan.

Mata pencaharian mereka berasal dari iuran masyarakat yang meminta perlindungan. Bila semua orang menjadi yakuza, pendapatan mereka akan hilang.

Mereka berusaha melindungi populasi masyarakat sipil dari serbuan vampir dengan berbagai cara, termasuk mencoba menanam manusia.

Di sisi lain, geng penjahat seperti Kyouken menunggu sang monster modern legendaris di markas kelas merajut yang diramaikan oleh kappa bermulut bau, siluman air berkepala botak yang memiliki paruh dan bertempurung dalam mitologi Jepang.

Lalu ada monster modern berbentuk badut kodok yang lucu dan menggemaskan namun menyimpan kebrutalan luar biasa dan bisa melumpuhkan para musuh dalam waktu singkat.

Kageyama bersama para yakuza yang tersisa pun bersatu padu menghadapi Kyouken dan si badut kodok.

Karya nyentrik Miike

Sutradara kenamaan Takashi Miike telah membesut berbagai genre film, mulai dari horor, laga hingga fantasi.

Karya nyentrik dalam “Yakuza Apocalypse” merupakan hasil dari perbincangan Miike dengan produser Yoshinori Chiba serta Yoshitaka Yamaguchi, mantan asisten sutradara Miike.

Mereka ingin membuat film yakuza orisinil dan inovatif yang melawan tren bioskop modern Jepang.

Kenyentrikan karya Miike diakui oleh Yayan sebagai satu-satunya aktor luar Jepang yang berpartisipasi.

“Gayanya Takashi Miike memang seperti itu, dia memang seorang seniman yang tidak terikat,” ujar dia usai pemutaran film di Jakarta, Senin (29/6) malam.

Namun nuansa dan nilai-nilai Jepang yang kental dalam film itu bisa jadi membuat penonton luar negeri kesulitan memahami makna yang tersirat dalam adegan-adegan serta pemilihan karakter, misalnya kemunculan kappa dan monster kodok yang berhubungan dengan Jiraiya, pahlawan ninja penunggang kodok raksasa yang muncul juga di budaya populer Jepang lain seperti komik Naruto.

Aksi Yayan

Pesilat dan aktor laga Yayan Ruhian ikut meramaikan film yang pengambilan gambarnya dilakukan selama sebulan pada April-Mei 2014 di studio Nikkatsu Chifu di Jepang itu.

Pria asal Tasikmalaya itu memiliki peran penting dalam “Yakuza Apocalypse”, sebagai musuh tangguh yang muncul hingga klimaks film.

Aksi pencak silat Yayan di film ini berbeda dengan yang dia tunjukkan di film sebelumnya, seperti “The Raid” dan “The Raid 2: Berandal”.

Dia harus memilih koreografi silat yang cocok dengan karakter film yakuza sehingga gerakannya lebih condong kepada silat sebagai bela diri, bukan silat sebagai seni.

Demi mendalami karakter sebagai otaku, Yayan pergi ke Akihabara untuk mengamati langsung gerak-gerik dan penampilan seorang penggila anime.

Karakter Kyouken cenderung irit bicara, namun Yayan tetap menghapalkan secuplik dialog dalam bahasa Jepang dan Inggris serta menyisipkan satu kata bahasa Indonesia.

Salah satu yang dianggap berat oleh Yayan adalah proses melukis tato temporer di tubuhnya dengan motif yang khusus dipakai oleh yakuza. Butuh 5,5 jam dan dua pelukis untuk “merajah” sekujur tubuhnya.

Yayan, yang terkesan dengan kedisiplinan para kru Jepang, berharap aksinya di film itu dapat menumbuhkan kecintaan generasi muda Indonesia terhadap pencak silat.

“Karena orang di luar lebih menghargai pencak silat dibanding kita sendiri,” katanya.

Dia juga menyindir masyarakat Indonesia yang belum menghargai karya sendiri, yang kerap memandangnya sebelah mata meski berkualitas dan baru mengubah pendapat bila publik dari luar Indonesia menghargai karya anak bangsa.

“Kenapa kalau nganggep bagus harus nunggu yang lain?” kata Yayan Ruhian. AN-MB