NAMA Banyumulek, meresapkan kesan istimewa bagi pencinta benda kerajinan, yang seolah tak pernah henti tertawan pesona gerabah yang berasal dari tanah biasa, namun bermetamorfosa menjadi karya seni yang luar biasa.

Menjejakkan kaki di Desa Banyumulek, Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menampilkan keseharian mayoritas penduduk setempat yang hari-harinya bergelut dan menggantungkan penghidupan pada gerabah.

Sebagian halaman depan rumah penduduk, diubah menjadi `art shop’ sederhana, untuk memajang gerabah dengan beragam bentuk, ukuran dan motif etnik, yang mencerminkan kebersahajaan budaya lokal yang sarat makna.

Elvira Maya, wisatawan dari Sidoarjo, Jawa Timur, mengemukakan, baru pertama kali dirinya berkunjung ke Banyumulek, tapi merasa sangat tertarik melihat-lihat berbagai gerabah unik yang dijajakan penduduk.

Dijelaskannya, menyusuri jalanan Desa Banyumulek meninggalkan kesan berarti karena ia bisa menyaksikan langsung proses pembuatan gerabah Lombok, sekaligus diperkenankan untuk belajar membuatnya.

“Belajar membuat gerabah itu tidak mudah, harus telaten. Tapi melihat hasil akhirnya, bisa membuat guci kecil, rasanya menyenangkan sekali,” katanya.

Demi belajar membuat gerabah, jelas Elvira, dia rela bergelut dengan tanah liat, sampai berpeluh keringat, bermandi tanah liat, sampai-sampai salah seorang penduduk yang mengajari menyebutnya tengah mandi gerabah.

“Mungkin harus ada penataan ruang pajang yang lebih rapih, sehingga nama Banyumulek sebagai sentra gerabah kian melejit, makin membuat betah pengunjung yang datang,” Elvira menguraikan bersemangat.

Sementara, H Nurhalimah, salah satu pemilik usaha gerabah di Banyumulek menyatakan memulai kegiatan sejak 20 tahun yang lalu, ketika bisnis barang kerajinan di daerah itu mulai mengeliat.

“Orang tua saya yang merintis usaha ini dan memproduksi barang-barang yang masih sederhana, seperti kuali atau gentong, sesuai apa yang dibutuhkan masyarakat,” tutur perempuan ini.

Dia meneruskan, ketika orang tuanya semakin bertambah usia, akhirnya mengundurkan diri dari usaha. Sebagai gantinya, H Nurhalimah ditunjuk sebagai pengganti penerus usaha gerabah agar tetap berjalan.

Demi kepuasan pengunjung, ia sengaja memperbanyak variasi bentuk gerabah yang diproduksinya. Kalau dulu sebatas barang untuk keperluan dapur, kini dia berkreasi membuat teko, asbak, wadah buah, tempat lilin, hiasan dinding dan bentuk lainnya sesuai pesanan pembeli.

Belakangan ini, kata H Nurhalimah, gerabah yang banyak diminati adalah satu set tempat minum tradisional, yang terdiri dari teko dan beberapa gelas minumnya yang terlihat klasik ala masa lampau.

“Harga satu set tempat minum itu antara Rp70 ribu – Rp100 ribu, tergantung ukurannya,” ujarnya.

Gunung Sasak Bahan baku pembuatan gerabah, menurut H Nurhalimah, tidak sulit untuk didapatkan. Bahan baku itu tinggal dipesan pada penduduk lain yang memang pekerjaannya mencari dan menjual tanah untuk pembuatan gerabah.

“Bahan baku gerabah adalah tanah liat yang diambil dari Gunung Sasak, tidak jauh dari Banyumulek. Harga tanah per mobil `pick up senilai Rp300 ribu. Tanah sebanyak itu bisa dipakai untuk seminggu hingga dua minggu,” katanya menambahkan.

Dia mengharapkan, semoga dunia pariwisata Lombok semakin ramai dengan kunjungan wisatawan, agar berimbas pada usaha gerabah di Banyumulek.

Kalau bisa, H Nurhalimah mengharapkan, agar peminat gerabah Banyumulek bisa seramai seperti ketika masa sebelum bom Bali meledak.

“Bom Bali meledak itu tahun 2002. Sebelum terjadi peledakan itu, penjualan gerabah sangat bagus. Banyak sekali peminat gerabah. Tapi setelah kejadian itu, pasaran gerabah anjlok sekali, padahal harga gerabah tidak terlampau mahal. Kisarannya Rp5 ribu – Rp250 ribu,” keluhnya.

Pasar Mancanegara Suparlan, pengusaha gerabah lain di Banyumulek juga mengakui kelesuan permintaan pasar belakangan ini, meski sudah berkreasi dengan menambah ornamen ata, rotan atau memberi sentuhan lukisan pada gerabah buatannya.

“Tapi penyebabnya bukan karena meledaknya bom di Bali beberapa tahun lalu, melainkan karena kondisi perekonomian di Amerika Serikat yang tengah tidak stabil,” dia bertutur sembari membuat sketsa bentuk gerabah.

Dia menjelaskan selama ini memang memiliki pelanggan tetap dari negara tersebut, yang rutin memesan gerabah padanya. Bahkan pada masa ramai-ramainya pemesanan, omzet yang didapatnya bisa sampai ratusan juta rupiah per bulan.

Sekarang, urai Suparlan, omzet yang didapatnya sekitar Rp10 juta – Rp20 juta setiap bulannya. Tapi dia bersyukur, sembari berharap suatu hari ada perubahan yang lebih baik, karena dia harus menghidupi 50 karyawan yang membantu kelancaran usahanya.

Kelangsungan usaha Suparlan, memang sangat bergantung pada permintaan pasar dari Amerika Serikat, meski pengirimannya melalui `agent dari Bali. Setelah barang terkirim ke Bali, baru dikirimkan ke konsumen yang memesan.

Terkait kendala, Suparlan menyatakan kalau selama ini pemerintah masih belum suportif kepada pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) seperti dirinya.

“Kalau ada program studi banding, bukan orang yang bergelut di bidang gerabah yang terpilih. Justru orang-orang yang tidak berprofesi sebagai pelaku usaha gerabah yang dikirim studi banding, karena kebetulan masih keluarga pejabat pemerintah. Ini kan tidak tepat sasaran?,” ujarnya dengan nada bertanya.

Ke depan, Suparlan menginginkan agar gerabah Banyumulek bisa `go internasional dengan merek kerajinan khas Lombok, bukan seperti sekarang, yang dikirim lewat Bali dan tertera sebagai salah satu produk dari Pulau Dewata.