Gunung Agung (2)
Gunung Agung, Bali.
Denpasar, (Metrobali.com) –
Gejolak di masyarakat dan dunia usaha serta pemerintah pada masa siaga darurat Gunung Agung masih berlangsung sampai sekarang. Semua sektor saling bahu membahu agar tidak ada korban yang terjadi jika Gunung Agung sewaktu-waktu erupsi. Naiknya status awas Gunung Agung pada 22 September 2017 mulai mengganggu aktivitas pariwisata, sehingga mengganggu perekonomian Bali secara keseluruhan. Ditambah berita negatif atau hoaks yang banyak beredar menyebabkan warga dan wisatawan yang takut datang ke Bali.
‎Padahal, zona berbahaya yang ditetapkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) adalah radius 12 kilometer dari puncak Gunung Agung. “Di luar itu aman dan jika terjadi erupsi hanya terpapar abu. Tidak harus takut, namun  persiapkan untuk mengatasinya dalam satu tas yang selalu dibawa ke mana-mana. Siapkan masker, air mineral, obat tetes mata, gunakan baju lengan panjang, topi, jaket atau jas hujan tipis dan sebagainya sehingga aman dari abu,” Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, Kamis 26 Oktober 2017.
‎‎Ia melanjutkan, bagi pengendara sepeda motor agar berhati-hati karena ada kemungkinan jalanan tertutup abu yang menyebabkan menjadi licin. “Waspadai juga dahan atau ranting pohon yang patah secara tiba-tiba karena tidak kuat menahan abu yang jatuh,” tuturnya.
Menurut Sutopo,meski pad akhirnya Gunung Agung erupsi, namun semestinya tak membuat pariwisata Bali lumpuh. Sebaliknya, erupsi Gunung Agung bisa dijadikan salah satu ‘atraksi’ yang bisa dijual.‎ Menurut Sutopo, erupsi Gunung Agung justru menjadi kesempatan baru untuk menarik turis lokal maupun mancanegara untuk melakukan ‘Lava Tour Gunung Agung’ atau menikmati pesta kembang api alam dengan memotret keindahan erupsi Gunung Agung dari titik aman yang telah ditentukan.
“Gerhana matahari yang hanya beberapa detik saja ditunggu, letusan gunung api juga dapat menjadi obyek yang menarik untuk direkam.
Ada dua sudut pengambilan gambar yang menarik, pertama dari laut. Radius 25 kilometer dari Gunung Agung termasuk zona aman dari sisi laut,” jelas dia.
“Dari sisi timur ke utara, keuntungan posisinya adalah melihat lontaran batu pijar dari kawah Gunung Agung dan pada waktu yang tepat akan menghasilkan foto yang menakjubkan,” tambah Sutopo.
Sementara dari sisi utara ke timur pada radius 35 kilometer zona aman dapat melihat keindahan Gunung Batur dengan background erupsi Gunung Agung. Dari posisi ini akan menghasilkan foto siluet panorama Gunung Batur. “Tentunya selalu update rekomendasi dari PVMBG dan BMKG saat melakukan pengambilan gambar,” papar dia.
Kedua, dari sisi darat, terinspirasi memotret Candi Borobudur dari Pucuk Setumbu menghasilkan gambar yang istimewa, kenapa tidak dengan Gunung Agung? Dari Google earth ada empat titik yang representatif. Namun ada satu titik yakni dari Pura Lempuyang (± 1.100 mdpl) tentunya akan menghasilkan gambar yang indah dengan foreground pura. “Jarak yang aman dengan radius 16,5 kilometer dari Gunung Agung, wilayah aman dari dampak erupsi dan pada waktu yang tepat akan menghasilkan foto yang menarik,” katanya.
“Tetap harus diingat bahwa jarak aman sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan rekomendasi PVMBG. Proyeksi dari Google Earth ini juga harus melakukan survei ke lokasi yang sudah ditentukan. Visual daerah yang dituju juga perlu dilihat, apakah ada pohon besar yang menghalangi menara pemantau tersebut atau tidak,” tutur Sutopo.
Menurutnya, sinergi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sekitar menjadi potensi sumber daya manusia, sehingga turut meningkatkan ekonomi desa tersebut. “Jadi jangan takut, di balik kesulitan pasti ada keberkahan dari Sang Pencipta Alam Semesta. Bagi masyarakat sekitar berilah jeda dengan menjauh dari radius 12 kilometer untuk Gunung Agung melontarkan kekayaan pasir yang berlimpah untuk masyarakat sekitar,” ujarnya.
“Bagi dunia pariwisata menjadi objek wisata baru, yakni Lava Tour Gunung Agung dan pesta kembang api alam. Meskipun hidup berdampingan dengan bencana (living harmony with disaster), tetap juga harus kita kenali bahayanya, kurangi risikonya, sehingga menjadi kesadaran bencana menjadi suatu budaya,” demikian Sutopo. JAK-MB