Jakarta (Metrobali.com)-

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto mengatakan bahwa pihaknya akan berupaya untuk mengembalikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) agar sesuai dengan UUD 1945.

“Partai Hanura akan terus memperjuangkan agar ketentuan dalam UU Pilpres itu dikembalikan sesuai amanat UUD 1945, di mana kesempatan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden tidak dibatasi dengan ketentuan persentase ‘presidential threshold’,” kata Wiranto di Jakarta, Rabu (2/10).

Pernyataan tersebut ia sampaikan saat ditemui usai menghadiri Seminar Nasional Empat Pilar Kebangsaan yang diadakan Fraksi Partai Hanura di Gedung Nusantara V DPR.

Menurut Wiranto ketentuan “presidential threshold” sebesar 20 persen dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden hanya akan membatasi hak politik rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas.

Selain itu, kata dia, ketentuan tersebut juga tidak sesuai dengan amanat konstitusi (UUD 1945) yang menyatakan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden diajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik sebelum pemilu.

“Begitu bunyi yang benar menurut undang-undang. Artinya, partai politik yang sudah lolos sebagai peserta pemilu atau diakui sah sebagai partai politik di Indonesia berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Wiranto, Partai Hanura lebih condong pada aturan bahwa setiap partai yang telah lolos ‘parliamentary threshold’ berhak mengajukan capres dan cawapresnya.

“Amanat dari UUD 1945 itulah yang diambil sebagai pedoman oleh Partai Hanura maka kami mendeklarasikan secara dini bahwa Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo sebagai capres dan cawapres Republik Indonesia jauh sebelum pemilu,” katanya.

Ia berpendapat ketentuan “presidential threshold” 20 persen itu juga akan membatasi setiap orang yang berkompetensi untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden.

Oleh karena itu, ia menilai ketentuan presidential threshold itu sebagai aturan pemilu yang tidak adil.

“Itu karena hak-hak rakyat diambil alih oleh beberapa partai politik yang kemudian diwujudkan dalam suatu undang-undang yang bersifat membatasi,” tuturnya.

“Kami sebenarnya tidak khawatir karena itu memang masih menjadi ‘permainan’ beberapa partai politik. Kami tidak khawatir, tetapi hanya menyayangkan bahwa di tengah persaingan global yang semakin ketat, proses pemilihan pemimpin di Indonesia masih seperti itu,” kata Wiranto menambahkan.

Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Sudding mengatakan pihaknya akan mengajukan hak uji materi atau “judicial review” terhadap UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) bila RUU Pilpres ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Apabila keputusan akhir Baleg (Badan Legislasi) DPR menarik RUU Pilpres sebagai revisi UU Pilpres yang sekarang, dan ketika UU Pilpres ini tetap dipertahankan, kami mempertimbangkan untuk mengajukan ‘judicial review’ ke MK (Mahkamah Konstitusi),” katanya.

Menurut dia, UU Pilpres sekarang ini tidak mengacu pada amanat UUD 1945 pasal 6 yang sebenarnya tidak mengatur tentang ‘presidential threshold”.

Sarifuddin mengatakan pasal 6 dari UUD 1945 hanya mengatakan bahwa pasangan capres dan cawapres diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.

“Jadi, parpol dan atau gabungan parpol berhak mengajukan pasangan capres dan cawapres. Partai politik yang dimaksud adalah parpol yang memang eksis dan sudah dinyatakan sebagai peserta pemilu,” kata Sarifuddin. AN-MB