MEDIA massa adalah pilar keempat dari penyangga sistem demokrasi. Ketika ketiga pilar penyangga demokrasi yang lain legislatif, eksekutif dan yudikatif mulai rapuh dan tidak lagi mampu menopang proses demokrasi dalam sebuah bangsa, bahkan ada indikasi untuk mencampakkan nilai-nilai demokrasi dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, maka masyarakat akan berpaling pada media. Berbagai survey membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat kepada ketiga lembaga demokrasi tersebut kini sedang berada dalam ambang terendah, akibat dari perilaku para politisi, birokrat dan penegak hukum yang selalu mengecewakan masyarakat. Media kemudian menjadi pilar terakhir yang diharap tetap konsisten dalam menopang tegaknya demokrasi. Konsistensi media untuk menopang tetap tegaknnya sistem demokrasi tersebut karena dalam sistem demokrasi media merupakan institusi yang paling demokratis.

Meskipun media dicitrakan sebagai sebuah institusi yang paling demokratis dan menjadi pilar terakhir yang menopang tetap tegaknya demokrasi, bukan berarti media tidak bisa salah (infallible). Kesalahan yang bisa ditimbulkan media, dalam arti kontra produktif terhadap penegakan demokrasi adalah karena keberadaannya tidak dalam ruang kosong. Ia hadir dengan visi dan mindset para pemilik dan pengelola media yang beragam, serta dalam kungkungan kooptasi dan kontrol eksternal. Jika di negara totaliter pemerintah yang mengontrol media, maka di negara demokrasi konglomerat/owner yang mengontrol media. Hal itu menjadi hambatan dan tantangan bagi media untuk tetap konsisten dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi.

Pada saat yang sama, media massa juga masih dihadapkan pada problem kualitas SDM pengelolanya, baik wartawan maupun redaktur. Dalam banyak hal media massa gagal dalam memerankan dirinya sebagai guru bagi masyarakat dan menjalankan misi pencerahan pada masyarakat pembaca/pemirsa, karena tidak terpenuhinya prasyarat sebagai seorang guru bagi wartawan dan redaktur-nya; cerdas, arif dan visioner. Wartawan dan redaktur yang kurang cerdas dan arif akan selalu gagal dalam menangkap fenomena sosial dan menjelaskan serta mengabarkan fenomena tersebut pada masyarakat. Jargon yang selalu diusung oleh para pekerja media —bad news is good news adalah pintu masuk bagi kecenderungan pekerja media untuk lebih mengedepankan sisi gelap (negatif) dari sebuah fenomena sosial. Akibatnya media syarat dengan berita buruk (negatif) dan cenderung menyesatkan publik. Pada saat yang sama, lemahnya visi dan keberpihakan pada nilai, jika tidak hati-hati pengelola media juga akan terjebak pada pragmatisme untuk mendongkrak oplah/rating dari pada keberpihakan pada nilai dan visi perjuangan untuk kebenaran dan keadilan.

Kepada jurnalis dan reporter idealis diharapkan adanya upaya terus-menerus untuk melepaskan media dari pengaruh eksternal, sehingga akan mem-buat media tetap pada cita genuinnya, untuk menjadi pilar terakhir penyangga tetap tegaknya kehidupan demokrasi. Syarat mutlak bagi media untuk tetap konsisten menjadi pilar demokrasi adalah jika ia mampu menjaga independensi dan otonominya dari berbagai pengaruh dan kontrol eksternal. Hal itu cukup berat, khususnya jika para pemilik media ternyata partisan terhadap salah satu kekuatan politik tertentu. Ketidaktaatan dan ketidaksediaan para pemilik media untuk menghormati etika jurnalistik dan profesionalisme kerja jurnalis merupakan ancaman bagi konsistensi media untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan melakukan advokasi untuk penegakan sistem demokrasi. Sehingga hanya dari kearifan para pemilik modallah para jurnalis dan reporter kritis akan dapat terus bertahan untuk tetap menekuni aktifitas penegakan demokrasi (crafting democracy).

Sementara pada saat yang sama, sudah saatnya para wartawan dan redaktur media untuk tidak cepat puas terhadap ilmu dan informasi yang dimilikinya. Diperlukan kerendahan hati dan kesediaan untuk terus belajar bagi para wartawan dan pengelola media, agar ia mampu mengungkap fenomena sosial dan mengabarkan fenomena tersebut pada masyarakat. Terkait dengan dengan misi media untuk mendorong keberhasilan pendidikan pemilih, tentu para wartawan dan redaktur media harus terus membaca undang-undang yang relevan dengan pelaksanaan pemilu serta mengikuti perkembangan terakhir dari perubahan undang-undang tersebut, agar ia paham dalam memahami aturan dan mampu memahami fenomena dan proses politik yang terjadi dalam masyarakat.

 Partisipasi Media dalam Pendidikan Pemilih

Mengingat bahwa sistem pemilu di Indonesia masih dalam proses trial and error, sehingga selalu ada perubahan sistem dan prosedur teknis pelaksanaan pemilu dari pemilu ke pemilu maka sosialisasi sistem tersebut merupakan hal yang mutlak diperlukan agar masyarakat punya pemahaman memadai terhadap Sistem Pemilu yang baru tersebut. Bahkan untuk mendorong partisipasi publik terhadap proses perubahan Paket Undang-undang Politik, ada baiknya media juga punya perhatian tentang hal tersebut, dengan terus mengupdate informasi terakhir tentang pembahasan revisi Paket UU Politik tersebut.

Aspek penting dari pemilu kita adalah menyangkut kecenderungan semakin menurunnya tingkat partisipasi pemilih. Hal itu antara lain diakibatkan oleh semakin rendahnya kepercayaan masyarakat pada hasil pemilu. Perubahan prosedur demokrasi dianggap tidak punya sumbangan terhadap perbaikan substansi demokrasi. DPR/D, Presiden dan Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat tidak selalu lebih baik ketimbang yang tidak dipilih langsung oleh rakyat. Akibatnya, rakyat tidak berharap banyak terhadap perubahan yang diusung oleh sistem pemilu yang semakin membuka peluang bagi rakyat untuk langsung memilih nama calon anggota legislatif dan pemimpin eksekutif tersebut.

Salah satu cara untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat atas hasil pemilu adalah dengan cara meningkatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam penyelenggaraan Pemilu. Partisipasi tersebut dapat diraih jika rakyat memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara, memahami pentingnya demokrasi perwakilan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menyadari pentingnya pemilu dalam pelaksanaan demokrasi perwakilan dan bagi kehidupannya sebagai warga negara.  Pendidikan pemilih merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tersebut.

Web 2.0 Sebuah Revolusi Media

Belakangan ini, fenomena Web 2.0 menjadi wacana yang terus mengemuka. Tim O’Reilly (pendiri dari O’Reilly Media), mengatakan Web 2.0 merupakan sebuah revolusi bisnis pada industri komputer karena transformasi internet menjadi sebuah platform. Menurut O’Reilly terdapat tujuh prinsip yang menjelaskan kemampuan inti dari Web 2.0, yaitu: Pertama, Servis,Bagi penggunanya, Web 2.0 adalah servis dengan skalabilitas biaya yang efektif. Berbeda dengan media konvensional yang pada umumnya yang mahal. Web 2.0 merupakan media yang bersifat low budget high impact. Dengan biaya yang efisien, Web 2.0 mampu membuat jejaring sosial yang terus membesar serta saling berhubungan. Kedua, Kontrol.Pengawalan unik Web 2.0 menjadikan content Web 2.0 semakin kaya, seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna. Jika dulu pengguna website menjadi pembaca,dengan konsep Web 2.0 pengguna dapat menjadi pembaca dan penulis, termasuk juga mengawalnya. Dengan kata lain, Web 2.0 merupakan contoh demokrasi “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.Ketiga, Kepercayaan.Dalam hal ini terjalin kepercayaan antara penyedia Web 2.0 dan pengguna. Hal mengagumkan yang dihasilkan Web 2.0 adalah kontribusi pengguna tanpa saling mengenal satu sama lain, dari berbagai latar pendidikan dan budaya, telah mampu bersama-sama memelihara eksistensi Web 2.0 dengan dasar kepercayaan para pengguna. Keempat, Kepandaian Kolek­tif.Kelebihan Web 2.0 adalah memanfaatkan kepandaian secara kolektif. Aktivitas yang dilakukan pengguna seperti membuat website berkembang secara organik seperti artikel-artikel yang terus bertambah setiap harinya pada Wikipedia atau website eBay yang menciptakan pasar dengan adanya pengguna yang berlaku sebagai pembeli dan penjual. Kelima, Long Tail. Web 2.0 menciptakan kurva Long Tail yang memberikan variasi pilihan yang tidak terbatas. Chris Anderson “The Long Tail: Why The Future of Business Is Selling Less of More”, menyebutkan kekuatan distribusi, di mana market-market yang mikro dapat menjual dengan volume yang lebih tinggi, dibandingkan dengan volume market makro. Keenam, Level Software. Web 2.0 merupakan sebuah servis terintegrasi berbagai device, sama ada mobile/handheld device, PC, ataupun server internet. Dalam banyak hal, penggunaan dan pemanfaataan Web 2.0 dapat memberikan dukungan kemudahan yang mencakup beberapa hal seperti user interface, model programming, maupun model bisnis.

I Nyoman Budhi Wirayadnya,ST