Jakarta (Metrobali.com)-

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina, M.Si menyatakan kemunculan bantuan sosial sebagai program akal-akalan yang dikonstruksi untuk memanipulasi rakyat supaya anggaran itu bisa dikorupsi oleh para elite politik diwaspadai bersama.

“Dan sangat sarat dengan politik untuk kepentingan konstituen partai tertentu atau anggota legislator tertentu, sehingga idealnya setiap program untuk mensejahterakan masyarakat itu bersifat kontinyu, tidak per proyek selesai,” katanya di Jakarta, Minggu (8/12).

Memberikan ulasan mengenai masifnya korupsi bantuan sosial (bansos), ia mengemukakan bahwa akhir-akhir ini KPK dan beberapa perguruan tinggi merilis bahwa hampir sebagian besar korupsi yang terjadi di berbagai lembaga/kementerian, dan Pemda yang melibatkan anggota DPR/DPRD dalam wujud bansos.

“Sebaiknya bansos-bansos itu harus segera dihapuskan dalam setiap program pemerintah, baik pusat dan daerah,” kata Nia Elvina, yang juga anggota Kelompok Peneliti Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.

Dalam kacamata para sosiolog, kata dia, sebenarnya dari termanya pun bansos sudah mengindikasikan program yang sarat manipulasi.

Pada konteks kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyatnya, katanya, tidak dikenal bantuan sosial.

“Yang ada adalah apa pun program yang dilakukan oleh negara adalah representasi dari kewajibannya, bukan suatu bantuan, seolah-seolah negara dan masyarakat itu berjarak dan negara menjadi asing,” kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu.

Menurut dia, tema atau istilah bantuan asing itu tepat jika digunakan pada program-program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan.

“Tapi, negara kan bukan perusahaan,” katanya menegaskan.

Ia menyarankan sebaiknya dibuat kebijakan atau program yang benar-benar untuk memajukan masyarakat dan negara.

“Apalagi pada tahun 2015 sudah memasuki era ‘ASEAN Community’, dengan segala peluang dan tantangannya,” demikian Nia Elvina. AN-MB