sanur 3Denpasar (Metrobali.com)-

Proyek normalisasi Sungai Tukad Mati di Pata Sari, Kuta tiba-tiba dihentikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali melalui UPT Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai Bali per 28 Agustus 2015 kemarin.

Penghentian proses normalisasi yang menghabiskan dana sekitar Rp 47 miliar lebih ini, mendapat protes keras dari warga Banjar Temacun, Kelurahan Kuta, Kabupaten Badung.

Akibatnya, perwakilan masyarakat Banjar Temacun, Kuta mengadukan nasib mereka ke Sekretariat Konservasi Penyelamatan dan Pelestarian Lingkungan Hidup (SKPPLH) di Sanur Bali, Selasa (1/9).

Menurut Koordinator Relawan Tukad Mati, Nyoman Sukra dari Banjar Temacun Kuta, awalnya Tukad Mati tersebut menjadi muara sampah dari berbagai hulu sungai di Kota Denpasar dan sekitarnya. Karena tumpukkan sampah tersebut menggunung di hilir sungai, maka pihaknya memohon kepada Pemda Badung untuk melakukan normalisasi.

“Tender dengan total dana sebesar Rp 47 miliar lebih dimenangkan oleh PT Adi Karya. Penggusuran untuk menormalisasi sungai, meratakan tumpukan sampah sudah terjadi terjadi hampir 50 persen. Namun di tengah pekerjaan tersebut, polisi kehutanan dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali terutama dari Tahura mendatangi lokasi normalisasi, menghentikan pekerjaan, menyuruh eksavator dan loader berhenti bekerja. Padahal sungai sudah dibendung sampah. Karena yang datang itu aparat, maka kami pun menghentikan pekerjaan tersebut,” ujar Nyoman Sukra yang biasa disapa Dolphin. Alasannya lokasi yang dikeruk adalah blok perlindungan dari Tahura dan bukan blok pemanfaatan.

Larangan tersebut tidak membuat pihak Pemkab Badung dan para Relawan Tukad Mati berputus asa. Pada tanggal 14 Juni 2015 lalu, seluruh elemen terkait berangkat ke Jakarta untuk bertemu langsung dengan pihak Kementerian Kehutanan.

Hasilnya, pada 29 Juni 2015 keluarlah surat dari Kementerian Kehutanan yang berisikan 5 rekomendasi soal perubahan pemetaan blok perlindungan dan blok pemanfaatan. Namun dalam rekomendasi point ke-5 ditegaskan bahwa, selama proses pemetaan ulang tersebut sedang berjalan, upaya normalisasi tetap dilakukan sebagaimana biasa mengingat musim hujan sudah hampir tiba.

“Namun saat kita mau melanjutkan pekerjaan, tetap saja dilarang,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator SKPPLH Bali Made Mangku Keke mengatakan, normalisasi itu sebenarnya sudah sesuai prosedur.

“Kalau tidak diizinkan, dana normalisasi itu bisa jadi temuan,” ujarnya saat diskusi dengan perwakilan Warga Pata Sari dan Forum Peduli Mangrove (FPM).

Ia mengakui memang benar bahwa pekerjaan itu dilakukan di area blok perlindungan. Tetapi bila blok perlindungan itu ternyata mengancam keselamatan warga di 6 titik di kawasan wisata Kuta, maka seharusnya bisa dilakukan pemetaan ulang.

“Makanya sambil menunggu pemetaan ulang blok pemanfaatan, pekerjaan itu harus diteruskan. Namanya blok perlindungan, tetapi warganya terancam. Siapa yang harus dilindungi,” ujarnya.

Saat ini proyek normalisasi terebut sudah dikerjakan ssepajjanh500 meter namun saat ini tiba-tiba dihentikan. Karena itu, pihaknya mempertanyakan kewenangan polisi kehutanan.

“Tahura itu dibawah UPT dari Pemerintah Pusat. Kenapa harus distop oleh Polhut dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Padahal niatnya untuk membersihkan sampah, memperdalam sungai Tukad Mati. Kenapa Tahura itu tidak bisa diajak negosiasi. Kalau tidak bisa dinegosiasi,  bawa saja Tahura ke Jakarta, keluarkan dari Bali. Kita bukan berbicara tentang proyek, tetapi penyelamatan lingkungan,”  tandasnya.SIA-MB