Ilustrasi
SANGAT IRONIS. Di tengah kesedihan masyarakat menghadapi pandemi virus corona yang berujung pada persoalan ekonomi dunia semestinya para elite politik di daerah ikut pula bahu membahu membantu warga menghadapi persoalan kemanusiaan. Bukan sibuk mencari-cari kesalahan para pejabat pemerintah, gubernur, menteri bahkan presiden.
Para politisi jangan ikut membuat situasi masyarakat bertambah panik yang kini sedang menghadapi masalah sosial dan ekonomi. Janganlah nyinyir menyebut pemerintah gagap, gabeng, panik dalam menghadapi terjangan virus corona. Jangankan seorang Gubernur, sekelas presiden yang memiliki kekuasaan tertinggi di negeri ini juga berat menghadapi masalah pandemi corona global ini.
Kasus pandemi virus corona ini menurut penulis adalah persoalan kita bersama. Kita tidak bisa bergerak sendiri sendiri. Di sinilah kita saling bahu membahu menghadapi masalah kemanusiaan. Peran partai politik dan stake holder lain seperti pemerintah, pengusaha, media seharusnya hadir di tengah tengah problem kemanusiaan ini dengan cara membantu warga denga  alat pelindung dari serangan virus corona yang dibutuhkan masyarakat.
Para elite politik jangan hanya mencari dukungan pada perhelatan pilkada atau pemihan legislatif saja. Tunjukkan diri dan hilangkan kesan “jual sabun citra” hanya pada perhelatan pemilu saja. Pada situasi pandemi corona ini paling tidak elite parpol tampil sebagai pemberi solusi, bukan penambah masalah baru di tengah tengah masyarakat.
Penulis membayangkan seandainya saat ini tidak ada pandemi corona, pada tahun 2020 ini adalah tahun politik di mana akan diselenggarakan pilkada serentak di 270 daerah pemilihan. Seandainya tidak ada pandemi virus corona, kita memasuki masa kampanye yang ingar-bingar penuh dengan perang poster antarkandidat.
Semua kandidat akan nampang di baliho baliho pinggir jalan dan atau bersebaran kandidat di media sosial. Dan semua akan menunjukkan kehebatan bahwa merekalah nanti menjadi garda depan berjuang dan mengangkar kesejahteraan masyarakat.

Tentu tidak hanya perang poster dan baliho dengan muka close up saja, kita masih ingat pada saat musim kampanye, ada banyak yang gratis tetapi bukan bantuan, melainkan dari para kandidat yang butuh dukungan politik.

Mengutif tulisan Suryanto, S.Sos., M.Si Staf Pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang. 

Begitu hebatnya mesin politik memainkan suasana, seketika orang-orang di kampung dibuat heboh kedatangan tim sukses bagi-bagi sembako. Isinya lumayan cukup mengurangi ongkos bulanan, ada beras, gula, garam, minyak goreng, dan lain lain. Supaya lebih afdal, diberi kaus gratis bergambar dan bernomor punggung yang disponsori pasangan calon yang berjanji akan menyejahterakan rakyat.

Saat itulah partai politik berubah wujud bagaikan dewa penyelamat, yang datang dari elite partai tertentu membawa semangat kesejahteraan dan dibumbui semboyan “untuk menyejahterakan rakyat”. Itu hanya terjadi pada masa kampanye.

Namun, dalam kondisi genting seperti sekarang ini, ketika rakyat butuh orang-orang yang dahulunya pengobral janji kesejahteraan, semuanya hilang lenyap entah ke mana.

Terlepas dari persoalan politisasi, mestinya ada sikap kepedulian kepada rakyat yang sedang berupaya agar selamat dari kengerian pandemi virus corona.

Pada saat rakyat gamang karena kelangkaan masker dan cairan pembersih tangan, politikus sibuk bahkan mencari kesalahan para pejabat, menteri, bahkan Presiden, hingga perang tagar di Twitter.

Belum lagi, akan ada kondisi lebih buruk lagi setelah jumlah korban pasien positif virus corona dari hari ke hari kian meningkat tajam hingga mencapai ribuan orang.

Saat rakyat butuh masker, tidak mungkin bergantung penuh pada pemerintah yang supersibuk mencegah dan menangani penyebaran virus corona. Pada situasi seperti ini mestinya ada politikus yang sedikit peduli menyiapkan alat pelindung diri, ikut meringankan beban penderitaan rakyat.

Setidaknya mereka mau turun gunung menenangkan rakyat yang panik dan ketakutan menghadapi pandemi corona yang kian mengganas ini.

Bahkan, sampai saat ini hampir sulit ditemukan parpol yang membagi-bagikan masker dan cairan pembersih tangan. Setidaknya meracik cairan pembersih tangan untuk dibagi-bagikan kepada rakyat.
Namun apa daya, beginilah wajah politik kita yang sebenarnya sangat berbeda ketika kampanye atau musim politik.

Dalam kondisi serba tidak karuan, kekhawatiran, dan bahkan kepanikan di mana-mana, arus kritik penanganan dan pencegahan virus makin kuat, justru organisasi yang notabene dekat dengan rakyat tidak menunjukkan eksistensinya.

Jangankan bagi-bagi masker, membantu rakyat agar tenang tampak sulit didapatkan. Lain cerita saat masa kampanye, apa pun bisa diberikan selama dipandang sebagai sarana memikat hati rakyat untuk mendulang dukungan.

Lebih ironis lagi, saat genting begini, justru ada tiga menteri yang pantas dikritik karena mengurus parpol saat jam kerja. Ironisnya, menteri-menteri ini malah sibuk mengurus kepentingan parpol di tengah pandemi corona.

Ketiga menteri yang dimaksud adalah Menkominfo, Menko Perekonomian, dan Menteri Perindustrian. Ketiganya terlihat menggelar pertemuan safari politik di Kantor DPP Partai Golkar, Senin (9/3).

Dari definisi dan tujuan serta fungsi dari partai politik, dapat dirumuskan secara umum adalah sebagai mediator antara rakyat dan pemerintah. Begitu pula sebaliknya.

Secara garis besar, partai politik merupakan organisasi yang diciptakan untuk membantu mewujudkan visi pembangunan pada segmen demokrasi dan politik, yang tujuan akhir adalah demi kesejahteraan rakyat.

Di sinilah dituntut adanya tanggung jawab moral parpol kepada rakyat untuk memastikan adil dan makmur benar-benar terwujud. Entah melalui jalur parlemen atau nonparlemen.

Akan tetapi, agak kurang rasanya kalau hanya sibuk bermain pada jalur parlemen melalui kader-kader politikusnya tanpa memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat.

Pemerintah telah menetapkan pandemi virus corona sebagai bencana nasional nonalam. Status kebencanaan ini diperkirakan berlangsung relatif lama sesuai dengan kondisi penanganannya.

Seluruh pemangku kepentingan mestinya terlibat di dalamnya, diberikan tugas sesuai dengan bidang masing-masing.

Bila dibawa dalam konteks pandemi virus corona di Indonesia, narasi ini sangat berkaitan erat sikap peduli terhadap kualitas kesehatan rakyat.

Namun, faktanya parpol justru sibuk memikirkan nasib pemilihan kepala daerah (pilkada) karena pandemi corona dan menunggu skema dari penyelenggara agar pilkada tidak memicu bertambahnya jumlah kasus virus corona.

Kepedulian terhadap pandemi corona adalah soal kemanusiaan yang mestinya menjadi tanggung jawab bersama.

Menghadapi situasi itu, bila berpikir oportunis dan praktis, kemudian parpol mau bagi-bagi masker, cairan pembersih tangan, atau sarung tangan (alat pelindung diri/APD), sangat menguntungkan parpol yang bersangkutan agar tetap mendapat kepercayaan rakyat di tengah pandemi, mengingat keadaan ini belum bisa diprediksi kapan akan berakhir.

Bayangkan, andaikata semua parpol berlomba-lomba membagikan masker, cairan pembersih tangan, dan keperluan lain terkait dengan pandemi virus corona kepada rakyat, sisi keuntungannya adalah mampu menjaga hasrat rakyat berpolitik agar tetap stabil.

Maka, potensi munculnya stigma parpol hanya hadir menjelang pilkada, reses atau kunjungan kerja sangat sendikit. Pada saat bersamaan, parpol akan lebih dikenal oleh rakyat karena kepeduliannya, bukan hanya peduli ketika masa-masa kampanye.

Oleh Nyoman Sutiawan

Wartawan tinggal di Denpasar