Tradisi Lempar Lumpur

Kuta (Metrobali.com)-

Bali memang kaya akan tradisi. Selain omed-omedan di Sesetan Denpasar dan med-medan di Tuban, Kuta, kini muncul kembali tradisi mebuug-buugan. Menurut Humas Pemuda Eka Chanti, I Made Sudarsana, tradisi ini merupakan aksi saling lempar lumpur. “Tradisi mebuug-buugan berasal dari kata Buug yang artinya tanah atau lumpur. Mebuug-buugan berarti interaksi dengan menggunakan tanah atau lumpur,” kata Sudarsana, Minggu 22 Maret 2015.

Tradisi ini, kata dia, telah vakum selama 60 tahun. “Maka kami selaku anak muda mencoba meneliti dan membangkitkan kembali tradisi yang telah vakum ini,” katanya. Dahulu kala, ia melanjutkan, leluhur Desa Kedonganan, Kuta, telah menjalankan tradisi ini. “Tujuannya untuk menetralisir hal-hal atau sifat buruk. Dalam konteks mebuug-buugan manusia yang divisualisasi dengan tanah atau lumpur dimaknai sebagai wujud Bhutakala atau kekotoran yang melekat pada manusia,” jelasnya.

Ia berharap tradisi di desanya dapat tercatat pada Dinas Kebudayaan agar dapat dilestarikan. “Dulu awalnya semua peserta telanjang bulat. Karena malu, maka mengalami kemandegan sosial. Eksistensinya hilang. Pernah dibangkitkan kembali tapi tidak menemukan eksistensinya,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Karang Taruna Eka Chanti, I Wayan Yustisia Semarariana mengaku kegiatan ini telah dinanti sejak dulu kala. “Kami senang tradisi ini diinisiasi kembali. Kami mensosialisasikan ke seluruh pemuda. Harapan kami tradisi ini terus berlanjut karena nilai historis dan filosofisnya ada. Kita berharap kontinuitas eksitensi tradisi ini bisa menjadi ikon Desa Adat Kedonganan. Ini warisan budaya,” harap Yustisia.

Tradisi ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Mulai anak kecil, pemuda hingga bapak-bapak ikut memeriahkan tradisi yang baru pertama dihidupkan kembali. Mereka bertelanjang dada, hanya menggunakan kain khas Bali yang dilipat hanya menutup kemaluan saja. Usai berperang lumpur, mereka kemudian membersihkan diri di Pantai Kedonganan. JAK-MB