Vaksinasi untuk menanggulangi pandemi Covid-19 akan segera berlangsung. Harian Kompas dalam pemberitaannya Senin, 4 Januari 2021, memberikan informasi: 3 juta dosis vaksin buatan Sinovac, China telah didistribusikan ke sejumlah daerah.

Rincian provinsi penerima dan perkiraan tibanya di tempat tujuan: Jawa Tengah, 4 Januari. Jawa Timur, 4 Januari. Sumatra Selatan, 5 Januari. Banten, 4 Januari. Lampung, 5 Januari. Sumatra Barat, 5 Januari. Riau, 5 Januari. Bali, 5 Januari. Jambi, 5 Januari. Papua, 5 Januari. Bengkulu, 5 Januari. Kalimantan Utara, 5 Januari dan Sulawesi Barat, 7 Januari.

Sedangkan Jawa Post memberitakan: pemerintah akan melakukan vaksinasi kepada 181.5 juta warga dalam kurun waktu 15 bulan.

Dari program vakinasi di atas, dan target besar yang menyertainya: vaksinasi 181.5 juta warga dengan target 15 bulan, membersitkan pertanyaan kritis sebagai berikut.

Berapa tingkat  afeksi, tingkat efektivitas vaksin Sinovac dalam menanggulangi virus penyebab Covid-19. Pemerintah rasanya belum mengumumkan. Sedangkan dari pemberitaan luas, masyarakat memperoleh info: vaksin Pfizer mengklaim dengan tingkat afeksi 95 persen, dan Moderna pada tingkat 94,1 persen.

Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah segera mengumumkan tingkat efektivitas penanggulan virus Sinovac, dan berapa jumlah sampel pengujian level tiga yang dilakukan perusahaan ini di Turki, Brasilia dan juga Indonesia ( Bandung ). Secara statistik, para pengamat kebijakan publik pantas bertanya: apakah pengambilan sampel ini dari kajian disiplin ilmu kesehatan, sudah cukup memadai, dalam artian keamanan dan keselamatan warga yang divaksin untuk melakukan vaksinasi kepada 181.5 warga dalam waktu yang relatif pendek?

Pemerintah harus segera menjawabnya, untuk menangkal pernyataan kritis: ” memberi kucing dalam karung “, yang sudah tentu kita tidak tahu tingkat kegunaannya.

Dalam era transparansi dewasa ini, di tengah keuangan negara yang sangat tertekan, semestinya segera diumumkan harga per dos vaksin ini, karena beberapa produsen vaksin lainnya telah mengumumkannya. Untuk menghindari terjadinya moral hazard. Moral hazard yang baru saja terjadi dalam penyaluran bantuan sosial oleh Kementrian Sosial.

Kita setuju dengan ungkapan yang sering disampaikan pemerintah: penemuan vaksin, merubah  permainan – game changer -, menjadi basis solusi terhadap penanggulan pandemi yang sudah hampir satu tahun menimpa kita, dengan sejumlah catatan:

a. Penemuan vaksin bukanlah panasea, obat cespleng yang akan menyelesaikan semua masalah kesehatan yang berkaitan dengan pandemi, karena ada persoalan yang sangat serius tentang: ketersediaan vaksin yang tepat waktu dan tepat tempat, persoalan distribusi dan tingkat efektivitasnya melawan virus.

b.Vaksinasi yang berbarengan dengan curve pandemi yang tidak kunjung turun, menuju puncak pandemi, membuat proses vaksinasi berjalan simultan dengan upaya penanggulan pandemi. Sebuah kerja: kebijakan dan implementasi di lapangan yang tidak mudah.

Belajar dari penanggulangan pandemi di masa awal, bulan Maret 2020, pengambil kebijakan pada awalnya menganggap enteng risiko pandemi ( under estimate ), akibatnya sekarang kita rasakan, pandemi berkepanjangan, jumlah terpapar dan korban semakin banyak, ketidak-pastian ekonomi tidak kunjung surut. Kita sangat mengharapkan pemerintah tidak menganggap enteng pragram pengadaan vaksin dan vaksinasinya. Kalau program ini gagal, dan atau berkepanjangan biaya: kemanusiaan, kesehatan dan ekonomi diperkirakan lebih mahal dibandingkan sebelumnya.

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik.