HIASAN penjor yang berjejer dipajangkan di depan pintu masuk masing-masing rumah pekarangan menambah semarak dan khidmat suasana Bali pada Hari Raya Galungan, hari Raya besar umat Hindu dalam memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan), Rabu.

Penjor Hari Raya Galungan ini berbeda dengan penjor-penjor yang dibuat untuk kepentingan ritual lainnya karena dilengkapi dengan sanggah (tempat sesajen) sebagai simbol penghormatan dan perwujudan dari Naga Basuki, Naga Anantabhoga, dan Naga Taksaka yang terus-menerus menjaga kesempurnaan siklus air di jagat raya.

Dengan persembahan sesajen, para naga yang sesungguhnya perwujudan para dewata itu akan terus menjaga harmoni siklus air sehingga tetap terjaminnya kemakmuran semua makhluk di jagat raya.

Oleh sebab itu, bentuk penjor yang dilengkapi dengan pernik perhiasan dari lontar atau janur dan hasil-hasil pertanian itu memang mirip wujud seekor naga, ekornya menjulang tinggi ke langit dan mulutnya menganga mengunyah makanan.

Dengan terjaganya siklus mata air, semua umat manusia berhasil menancapkan “Penjor” dalam diri, semua makhluk di alam semesta ini akan berlimpah makanan, hidup makmur murah pangan, sandang, dan papan.

Namun, menancapkan “Penjor” dalam diri memang tidak mudah, terlebih saat ini di tengah arus deras globalisasi yang hampir menenggelamkan manusia pada gaya hidup yang berlebihan serta industrialis dan kapitalis, tutur Ketua Program Studi Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi.

Bumi Dewata yang dihiasi penjor serta tempat-tempat suci dipasangi kain aneka warna pada Hari Raya Galungan yang kali ini jatuh pada hari Rabu uku Dunggulan, 23 Oktober 2013.

Meskipun hujan sempat mengguyur pada pagi hari ini, suasana hening pada hari yang sangat istimewa itu bagaikan memancarkan sinar kedamaian yang mampu memberikan kesejukan pada setiap hati sanubari umat manusia, termasuk wisatawan dalam menikmati liburan ke Pulau Dewata.

Aktivitas keseharian masyarakat memang tidak bisa lepas dari kegiatan adat, budaya, dan ritual keagamaan yang menjadi denyut nadi Pulau Dewata.

Sementara itu, para wanita mengenakan busana adat Bali sambil menjunjung sesajen (sesaji) didampingi suami atau putra-putrinya yang juga mengenakan busana khas itu pergi ke Pura maupun tempat suci milik keluarga (merajan/sanggah).

Momentum itu untuk lebih memusatkan pikiran guna memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar perilaku manusia bisa berubah ke arah yang lebih baik dan positif.

Dengan memusatkan pikiran yang positif secara jernih akan membuka cakrawala dengan harapan mampu menghilangkan pikiran yang buruk atau melakukan tindakan-tindakan yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, ujar Ketut Sumadi.

Selain itu, dapat melakukan introspeksi diri terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama ini sehingga tidak lagi mengulang perbuat negatif yang merugikan diri sendiri maupun orang lain pada masa-masa mendatang.

Ia mengajak masyarakat melalui momentum Galungan itu juga mendoakan pimpinan dan para pejabat agar dalam mengambil kebijakan lebih mengutamakan kepentingan jangka panjang bagi keselamatan dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.

Hal itu ditekankan mengingat akibat kebijakan yang salah diambil para pemimpin akan berakibat fatal terhadap lingkungan sehingga mengancam kelangsungan hidup masyarakat.

Untuk itu, para pemimpin di Bali mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur mengambil kebijakan yang menguntungkan kelestarian lingkungan dan kelangsungan Pulau Dewata pada masa mendatang.

Kelestarian lingkungan, termasuk menjaga kawasan hutan serta mengelola Bali sesuai dengan peruntukannya betul-betul mendapat perhatian serius dengan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat.

Dengan cara itu Bali akan tetap lestari, masyarakat hidup tenteram, aman, dan sejahteraan, terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, tutur Ketut Sumadi.

Keheningan dan Sejahtera Doktor Ketut Sumadi menjelaskan bahwa perayaan Hari Raya Galungan selain bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan) juga memberikan keheningan atas kemakmuran serta kesejahteraan yang dilimpahkan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Hari Kemenangan Dharma sekaligus kebangkitan, tangga menuju pemusatan pikiran dan kesucian diri, agar umat manusia dalam menjalani kehidupan benar-benar suci dan bersih.

“Pikiran suci akan mampu menghilangkan semua pengaruh yang bisa membawa dampak negatif,” tutur Ketut Sumadi.

Umat Hindu pada hari baik itu menghaturkan sesaji kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam semua manifestasinya sebagai perwujudan rasa bakti dan syukur atas segala kemakmuran yang dilimpahkan-Nya.

Semua itu sebagai cermin merayakan kemenangan atas kebaikan (dharma) dalam mengusir kejahatan (adharma). Umat Hindu di berbagai pelosok perdesaan Pulau Dewata pada Hari Suci Galungan itu mementaskan kesenian barong, rangda, dan jenis kesenian sakral lainnya keliling desa (ngelawang).

Tradisi “ngelawang” yang diwarisi secara turun-temurun itu bermakna untuk mengusir roh-roh jahat, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara niskala mengusir orang-orang yang bermaksud jahat, menggangu keamanan Bali.

Galungan dan Kuningan dirayakan secara turun-temurun oleh umat Hindu di Bali maupun luar Bali diawali pada abad VIII Masehi.

Konon pada waktu itu seorang raja yang bernama Mayadenawa dari Kerajaan Bedahulu, Gianyar, bertahta dengan penuh kezaliman, bengis dan sewenang-wenang, bahkan melarang rakyat melakukan kebaktian.

Penderitaan rakyat memuncak ketika panen gagal sehingga kelaparan muncul di mana-mana. Rakyat tidak puas terhadap raja, lalu terjadilah pemberontakan yang menelan korban jiwa tidak sedikit.

Raja Mayadenawa dapat dikalahkan dan sejak itu sebagai tanda kemenangan, peristiwa tersebut dirayakan dan dikenal sebagai Hari Raya Galungan, yakni hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kebatilan).

Hari Raya Galungan merupakan momentum bagi umat Hindu untuk meningkatkan kualitas dan memotivasi diri untuk selalu hidup dalam ketekunan bekerja dengan tidak melupakan keselamatan diri maupun lingkungan.

Penyucian diri menyangkut semua aspek, yakni kejiwaan (mental dan pikiran), keragaan (sikap dan perilaku) yang harus berjalan dan seimbang serta melaksanakan ajaran agama yang disebut “Trikaya Parisuda”, yakni berpikir, berkata, dan berbuat yang baik.

“Untuk itu, umat Hindu perlu merenungkan makna Galungan, yakni secara sadar bahwa semua anugerah yang dilimpahkan Tuhan Yang Maha Kuasa selama ini dapat mendorong umat untuk lebih meningkatkan perbuatan baik (dharma) di dunia,” ujar Ketut Sumadi. SUTIKA-MB