Heru B Wasesa

Denpasar (Metrobali.com)-

PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) membeber 61 perusahaan yang diduga melakukan perusakan terhadap lingkungan.

Menurut Diretur PT TWBI, Heru B Wasesa, pelanggaran itu terjadi jauh sebelum Forum Peduli Mangrove (FPM) terbentuk.

“Dari puluhan pelanggaran itu sebagian sudah ditindaklanjuti ke kepolisian,” kata Heru saat memberi keterangan resmi di Kartika Plaza Discovery Hotel, Kamis 16 April 2015.

Menurut dia, pelanggaran tersebut umumnya seperti pencemaran lingkungan, penimbunan sampah sehingga menjadi daratan hingga pergeseran tapal batas.

“Bukti konkret untuk menindaklanjutinya ada di Dinas Kehutanan. Kami FPM, tak punya kewenangan hukum,” kata dia.

Menurutnya, FPM dan TWBI senantiasa mengedepankan fakta sebagai acuan. “Data awal yang ditemukan di lapangan dan belum divalidasi. Itu kewenangan Dishut,” imbuhnya.

Menurutnya, data yang disampaikannya merupakan hasil temuan FPM dan TWBI selama dua tahun bekerja merawat mangrove. “Anggota DPRD sudah turun ke lapangan. Demi keadilan, kebenaran dan fakta. Supaya tidak simpang siur harus, maka harus dijelaskan kepada masyarakat seluas-luasnya,” pintanya.

Ia menyinggung mengapa TWBI begitu berkepentingan membeber 61 perusahaan perusak lingkungan. Menurut Heru, dalam melakukan revitalisasi PT TWBI tak akan merusak lingkungan, dalam hal ini hutan mangrove.

“Pada saat pelaksanaan kami janji tidak merusak lingkungan hidup. Tetapi saat ini ada perusak lingkungan hidup dan itu dibiarkan. Kami yang belum membangun secara fisik disoroti terus,” papar Heru.

Alasan kedua, ia melanjutkan, TWBI berkepentingan agar hal ini diselesaikan agar jangan sampai pengambilan lahan terus meluas dengan berbagai macam modus.

“Ketiga, yang kami inginkan tidak ada dusta di antara kita. Kami melakukan kegiatan nyata perbaikan lingkungan, sementara ada pihak lain yang merusak lingkungan, pada saat sama kami hendak melakukan revitalisasi kami dituduh hendak melakukan perusakan lingkungan,” jelasnya.

Menurut dia, apa yang dilakukan terhadap perusakan lingkungan itu tentu saja berdampak ekonomis terhadap mereka yang melakukan perluasan paksa.

Pembangunan yang berdempetan dengan Tahura juga akan berdampak terhadap mangrove. Padahal, imbuhnya, dalam perpres diatur jarak pembangunan dan hutan mangrove yakni 150 meter.

“Dari data yang belum divalidasi ada puluhan hektar yang terancam rusak dan dikuasai. Padahal mangrove tidak boleh menjadi lahan komersil, apalagi kepemilikannya bersertifikat,” katanya.

Ia berharap agar ada tindakan secara hukum terhadap masalah tersebut. “Penindakan secara hukum itu harapan saya. Clear an clean pelanggaran itu,” demikian Heru. JAK-MB