Wayang

Tumpek wayang, hari baik dalam kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual, bermakna untuk menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai taksu (karisma) sesuai dengan watak dalam pementasan.

Dalang wayang kulit di Bali pada hari baik, yang kali ini jatuh pada hari Sabtu (13/9), melaksanakan ritual dengan “menghaturkan” “bebantenan” (rangkaian janur), ibarat memperingati hari kelahiran yang dilakukan setiap 210 hari sekali atau setiap enam bulan sekali.

Masyarakat Bali hingga kini masih mempercayai bahwa orang yang lahir tepat pada hari Tumpek Wayang dianggap “salah lahir”.

Agar yang bersangkutan mempunyai kembali keseimbangan lahir dan batin, pada saat hari ulang tahun–di Bali lumrah disebut “Otonan”–wajib dibuatkan ritual otonan dan dimeriahkan dengan pementasan wayang kulit, tutur Ketua Program Studi Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi.

Hal itu, kata dia, bukan berarti hari-hari lain tidak perlu mementaskan wayang kulit. Pementasan seni tradisional itu erat kaitannya dengan kelengkapan ritual keagamaan yang dilaksanakan di pura maupun oleh masing-masing warga masyarkat setempat.

Orang tua di Bali sangat serius mendidik atau mengajar anaknya agar tumbuh menjadi seorang suputra (putra yang baik). Dalam kehidupan sehari-hari leluhur orang Bali mempunyai cara tersendiri mengajari anak-anaknya untuk tumbuh dan berkembang tanpa kehilangan karakter kearifan lokal.

Hal itu terlihat jelas dari adanya prosesi ritual Tumpek Wayang yang menunjukkan perilaku nyata yang diajarkan orang tua kepada setiap anaknya meskipun cara yang diajarkannya masih belum transparan dan penuh misteri.

Untuk bisa mengupasnya, kata dia, diperlukan ketajaman intuisi dan intelektual tersendiri. Para orang tua zaman dulu seperti sengaja tidak mau memberi penjelasan secara perinci karena mereka takut metode itu disalahgunakan atau bisa mengurangi nilai sakralitasnya.

Hal itu khusus berkaitan dengan bidang kesenian, nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam ritual Tumpek Wayang diimplementasikan dengan membentuk sekaa igel dan sekaa gong (kelompok penari dan penabuh).

Semua aktivitas mereka berolah seni berlangsung di bale banjar dan mendapat pengayoman dari krama banjar dengan baik. Biasanya setiap banjar hingga sekarang masih memiliki sekaa yang anggotanya anak-anak dan sekaa yang anggotanya orang dewasa.

Dengan demikian, setiap banjar sepertinya berlomba-lomba mementaskan kepiawaiannya menari dan menabuh. Baik dalam rangka “ngayah”, bekerja tanpa imbalan di pura saat piodalan maupun pada hari-hari tertentu seperti pada hari raya Galungan dan Kuningan.

Dari fenomena itu, tidak mengherankan jika wisatawan asing yang pelesir ke Bali menyebut hidup orang Bali penuh warna kesenian. Saat masih dalam kandungan orang Bali telah dibuatkan upacara “magedong-gedongan” dengan persembahan sesaji yang ditata sedemikian rupa penuh nuansa seni.

Sesaji tersebut tidak hanya bernilai religius yang diharapkan dapat menjaga keselamatan bayi dalam kandungan, tetapi juga penuh cita rasa seni yang membuat si ibu yang mengandung menjadi senang, penuh sukacita, dan gembira.

Vibrasi Kesenian Doktor Ketut Sumadi yang pernah melakukan penelitian dan pengkajian tentang seni budaya di Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, itu mengatakan bahwa secara otomatis ritual tersebut telah memasukkan vibrasi kesenian kepada bayi yang ada dalam kandungan.

Demikian pula, saat baru lahir, kemudian berumur “bulan pitung dina” (satu bulan tujuh hari), telu bulan (tiga bulan), satu oton (enam bulan), dan seterusnya sampai dewasa dibuatkan upacara dengan perlengkapan sesajen yang sangat rumit dan makin tinggi pula nilai seninya.

Bagi orang yang mampu secara ekonomis, setiap rangkaian upacara itu diiringi dengan pementasan kesenian. M. Covarrubias, misalnya, dalam bukunya berjudul “Island of Bali”, menyebutkan semua orang Bali adalah seniman.

Pulau Bali kemudian lebih dikenal dengan nama Island of Paradise dan kesenian Bali pun makin terkenal ke seluruh penjuru dunia. Namun yang masih jarang orang tahu, para leluhur atau seniman Bali memiliki hari istimewa untuk menjaga taksu kesenian dan kesenimannya, termasuk merawat dan menjaga perlengkapan keseniannya.

Melalui prosesi upacara agama, Tumpek Wayang atau ada juga orang menyebutnya Tumpek Aringgit, yang kali ini jatuh pada hari Sabtu, 13 September 2014, setiap enam bulan sekali.

Aktivitas berkesenian menjadi senjata ampuh untuk membentuk karakter anak-anak agar tumbuh dengan kehalusan budi, cerdas, penuh kreativitas, mandiri, dan bertanggung jawab, tutur Ketut sumadi.

Bagus Bharatanatya (25), dalang dari Sukawati, Kabupaten Gianyar, mendapat kepercayaan mewakili Bali dalam kegiatan Festival Dalang Muda (FDM) tingkat nasional di Gedung Utama Kementerian Pemuda dan Olahraga, Senayan, Jakarta, akhir Agustus 2014.

Ia bersanding dengan 17 dalang muda dari berbagai daerah di Indonesia untuk menunjukkan keahlian dan kepiawaian memainkan wayang kulit dalam kemasan yang unik dan menarik.

Alumnus program pascasarjana (S-2) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu menyuguhkan pementasan wayang kulit dengan adegan peperangan yang seru, yakni adu kedigdayaan antara Arjuna dan Karna, termasuk paling dahsyat dalam perang Bharatayuda.

Dengan persiapan yang matang menyangkut isi cerita yang sarat dengan muatan moral karena kedua tangannya dalam waktu yang bersamaan memperagakan adegan sengit dengan enam wayang sekaligus, yaitu dua kereta, Arjuna dan Kresna, Karna dan Salya, sembari berkisah secara verbal.

Hal itu masih disertai pula dengan memberikan aksentuasi hentakan-hentakan bergemuruh dengan cepala di jemari kaki. Sosok Bagus Bharatanatya menjajal kemampuannya menyuguhkan lakon berat yang diberinya judul “Tumpah Darah Karna”.

Hampir sepanjang setengah jam dari satu jam durasi pementasannya yang ditetapkan panitia festival, terpakai untuk penggambarkan adegan perang, khususnya perang antara Arjuna dan Karna, adu sakti hujan panah, dan unjuk jago tangkas perang dari atas kereta.

Perjalanan Natya sebagai dalang hingga tampil dalam ajang prestisius di tingkat nasional itu telah dirintisnya sejak belia. Cucu I Wayan Nartha (72), dalang sepuh Desa Sukawati ini, bergulir semasih duduk di bangku SMP.

Lakon pertama yang disajikannya berjudul “Arjuna Tapa”. Saat menyelesaikan sekolah menengah atasnya dia menyuguhkan lakon “Hanoman Mahawira” yang diangkat dari epos Ramayana.

Anak muda berpenampilan kalem ini pada tahun 2006 sempat menjuarai Dalang Remaja Tingkat Nasional yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.

Pada Lomba Wayang Kulit se-Bali di arena pesta kesenian Bali (PKB) pada tahun 2013, dalang asal Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar itu berhasil menorehkan namanya sebagai Juara I dengan lakon “Reh Rah” yang mengisahkan terbunuhnya Dursasana oleh Bima.

Dalam festival dalang muda nasional yang mensyaratkan dalang berusia 20–30 tahun itu, Natya yang menjadi duta Provinsi Bali bersanding dengan 17 orang dalang muda dari seluruh Indonesia.

Unjuk Kebolehan Dalam Festival Dalang Muda yang melibatkan belasan dalang terbaik itu menampilkan beragam gaya wayang dari berbagai daerah di Indonesia untuk saling unjuk kebolehan secara bergilir di Gedung Utama Kementerian Pemuda dan Olahraga, Senayan, Jakarta.

“Tentu saya dengan gigih menyuguhkan stil wayang khas Bali, di antaranya tetap dengan prinsip bayangan,” tutur Natya.

Ia menjelaskan bahwa kekhasan estetika wayang Bali, selain bayangannya, adalah skil dalang dalam “tetikesan”, yakni keterampilan memainkan wayang dan “nyepala” (teknik memberi hentakan dengan kaki).

Selain itu, juga mengumandangkan lagu-lagu daerah, bercerita, dan hal lainnya yang mampu mengundang gelak tawa penonton.

Penampilan Natya diapresiasi bagus penonton. Takkurang dari Sujiwo Tejo, seniman dan dalang yang sering mementaskan cuplikan wayang di televisi nasional, memberi acungan jempol pada utusan Bali itu. “Bagus, saya suka dengan pementasan adik Natya yang tetap menggunakan estetika bayangan,” ujarnya seusai pementasan.

Selain taat dengan pakem wayang Bali, sajian wayang dalang Natya menjalin komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, terutama pada tokoh punakawan, seperti Malen, Merdah, Delem, dan Sangut.

Semua itu ternyata cukup efektif. Ketika, misalnya, Sangut menembang dengan lirik “bila menang jangan sewenang-wenang, bila kalah jangan marah, lebih baik legawa saja” direspons gempita penonton.

“Mudah-mudahan wayang dapat menjadi pencerah moralitas masyarakat,” harap Natya. AN-MB