Denpasar, (Metrobali.com)-
Di saat pendemi ini semestinya umat Hindu di Bali dan  Indonesia menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama umat Hindu. Ini sangat penting direnungkan dalam sekup yang lebih luas dan demi masa depan umat Hindu.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ) dan Ketua FPD.( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar, Kamis (6/8).
Menurutnya, semestinya bertumbuh kesadaran bersama krama Bali bahwa, kita sedang diadu antar sesama krama dan kemudian kehilangan fokus dalam menghadapi krisis kehidupan di depan mata pandemi Covid-19  dan tekanan berat ekonomi.
“Semestinya kita segera sadar – Jagra – dengan risiko ini, sehingga menjadi lebih mampu mengendalikan ego/ahamkara dan lebih besar hati menerima perbedaan., ” katanya.
Momentum Krama Bali Mulat Sarira
Menurut sesepuh Bali ini, sebaran pandemi Covid-19 yang terus berlangsung dengan dampak ekonomi yang sangat serius bagi krama, hampir berbarengan dengan   wacana penolakan sampradaya HK oleh sebagian krama, yang bisa membuat sebagian krama kehilangan fokus dalam penanggulangan pandemi dan upaya rintisan pemulihan ekonomi.
Lebih lanjut dikatkan, secara kajian ilmu sosial, tekanan krisis akibat pandemi dan dampak sosial ekonomi yang menyertainya, bisa menjadi pemicu dari terbukanya kotak pandora sosial, yang sebelumnya sudah laten dan punya potensi menjadi krisis.
“Jika kita menoleh ke belakang, 50 tahun pasca industri pariwisata berciri kapitalistik, fokus pada penanaman modal, perolehan laba/ keuntungan, hasil cepat ( quick yielding ) dan cendrung abai terhadap kelestarian lingkungan, kesejahteraan para petani yang merupakan garda terdepan penyelamat alam, ” katanya.
Ia mengatakan, perkembangan pariwisata Bali  begitu masif selama ini menyisakan dampak sosial yang tinggi. “Individualisasi dan individualisme pada sebagian masyarakat yang memberikan penghargaan yang begitu tinggi kepada nilai ekonomi materi, sehingga masyarakat rentan menjadi “terkeping” mengalami polarisasi sosial.”
“Akibatnya masyarakat mudah mengalami ketegangan, rentan stres, stres secara sosial, pada sisinya yang lain banyak dari kita mewacanakan Tri Hita Karana, Paras Paros, Bali yang Damai, yang tidak lagi nyambung dengan realitas sosial,” kata Putra Buleleng ini.
Ia mengatakan, “rangkaian aed upakara yang semarak, kita menjadi bangga terhadapnya dan bahkan menjadi simbol/status sosial baru, tetapi semakin kering dari sisi spirualitas dan juga kualitas etika kehidupan.”
Selama ini, kata dia masyarakat Bali terlena dengan gemerlapnya pariwisata. Krama Bali TARPANA ( upaya untuk menyenangkan para Dewa di pulau yang disimbolikkan sebagai Bunga Padma berdaun 8 , Tuhan dengan Asta Cakti Nya), yang diyakini memberikan aliran pengetahuan, ketentraman dan bahkan kedamaian, yang semestinyamenjadi lokus utama penyelenggaraan yadnya, rasanya memudar kemampuan transformasinya bagi manusia Bali.
Kembali tokoh Bali ini menegaskan, sekarang momentum tepat untuk krama Bali Mulat Sarira, ngerikrik raga berbasis sastra para leluhurnya, tentang banyak hal: Jagra ( menjadi sadar ), Wiweka ( kecerdasan memilah-pilih Rwabineda/kedualistikan kehidupan ), Susupti ( tidur tanpa mimpi karena terus melatih diri untuk vairagya/ketidakterikatan duniawi ).
“Banyak tetuah dan warisan budaya leluhur yang kita punyai di Bali. Dan merujuk ke Prasasti tertua di Bali, Prasasti Sukawana Icaka 740: Sakebda, Sira Wani, Murti Ganitha, Masa Tetha Palguna. Diterjemahkan secara bebas oleh seorang pengelingsir di Desa Pegunungan itu sebagai: kedatangan kita ke dunia adalah keutamaan dan kemulyaan, laksanakan kemulyaan dan keutamaan ini dalam ke seharian ke hidupan,”.
Prasasti tersebut, katanya menggambarkan kehidupan Banua di Peradaban Bali Mula, yang peletak dasarnya Rsi Markandeya. Rsi Besar perintis Pura Besakih, yang mendem Panca Datu di garis Ambal-ambal Pura Besakih, sekarang Pura Basukian.
Editor : Nyoman Sutiawan