Jayapura (Metrobali.com)-

Plt Kepala Perwakilan Komnas HAM di Papua Frits Ramandey mengatakan tujuh warga terkait kasus makar 1 Februari 2014 di Sasawa, Kabupaten Yapen yang telah mendapat vonis tiga tahun enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat ingin jalani hukuman di Lapas Serui.

“Setelah saya bertemu dengan tujuh warga itu di Lapas Aimas, Sorong, Papua Barat, mereka inginkan menjalani hukuman di kampung halamannya di Lapas Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen,” kata Frits di Kota Jayapura, Papua, Selasa (9/12).

Ia menjelaskan ke tujuh warga yang terjerat kasus makar itu diduga bagian dari kelompok TPN/OPM pimpinan Fernando Worabay di Kabupaten Kepulauan Yapen, yang ditangkap aparat Kepolisian Resor Yapen pada 1 Februari 2014.

Mereka, kata Frits, akan melakukan rapat atau pertemuan untuk merayarakan HUT Pekabaran Injil 5 Februari 2014 di daerah itu. “Mereka diduga sebagai TPN/OPM pimpinan Fernando Worobay. Dimana pada 1 Februari lalu mereka akan mempersiapkan diri guna perayaan 5 Februari atau masuknya injil yang bersamaan dengan itu mereka akan lakukan pertemuan akbar antar mereka semacam konsolidasi,” katanya.

Namun menjelang 1 Februari, rencana tersebut dicium oleh aparat keamanan. Pihak Polres setempat lalu melakukan negosiasi-negosiasi dengan mereka tetapi berakhir buntu. “Sehingga ada upaya pembubaran paksa oleh aparat keamanan karena tidak ada ijin. Dan tujuh orang itu ditangkap, sementara pimpinan mereka Fernando melarikan diri. Polisi juga beralasan kelompok itu melakukan penembakan yang berujung ada polisi terluka,” katanya.

Lebih lanjut Frits menyampaikan ke tujuh warga yang ditangkap itu yakni Jimmy Kapanai, Septinis Wonawai, Peneas Reri, Salmon Windesi, Rudi Barangkae, dan Kornelis Wonianan. “Komnas HAM juga telah berkomunikasi dengan Fernando Worabay dan Ia mengaku bertanggungjawab terkait aksi mereka itu di Sasawa,” katanya.

Sementara itu, ungkap Frits, pascapenangkapan ketujuh orang itu mengaku mendapat penaniayaan oleh oknum aparat kepolisian setempat. Sedangkan Fernando Worabay lolos dari kejaran aparat dan diduga masih ada oknum intelektual lainnya terkait kasus itu, hanya saja polisi belum menangkap mereka.

Perjalanan kasus makar itu juga tergolong aneh, karena akhirnya ketujuh warga yang ditangkap itu disidangkan di Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat. “Entah apa pertimbangan Kejari Serui sehingga mengirim tujuh orang yang ditangkap itu ke Kejaksaan Sorong untuk menjalani sidang hingga putusan di sana. Apakah alasan keamanan atau lainnya, itu tidak diketahui, dan Komnas HAM Papua sudah memantau kasus ini sejak awal dan mengawalnya,” katanya.

Ia menyambung.”Saya pimpin tim menemui ketujuh warga yang di tahanan itu dan juga ketika dikirim ke Sorong, saya dampingi hingga putusan dari Pengadilan Negeri Sorong. “Kami sudah menyurati Pengadilan Negeri Sorong ketika proses sidang dengan harapan dalam amar putusan mereka bisa jalani hukum di Lapas Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen,” katanya.

Mengenai penerapan pasal 108 KUHP yakni kejahatan terdahap negara dengan tuntutan maksimal 15 tahun penjara, menurut Frits, itu belum jelas. Karena ketujuhnya yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sorong pada 6 November lalu dengan tuntutan masing-masing tiga tahun enam bulan itu bukan bukan aktor intelektual.

“Kami menduga selain ketujuh orang itu, ada Fernando Worabay sebagai penangungjawab dan aktor intelektual lainnya. Tetapi putusan itu telah mereka terima dan Komnas HAM Papua telah bertemu mereka dan LP Sorong bersedia mengirim mereka kembali ke Serui,” katanya.

Hanya saja kendalanya tidak ada biaya pemulangan mereka ke Serui untuk jalani hukuman di lapas sana. “Untuk masalah pemulangan ini, kami akan kirim tim ke Manokwari untuk bertemu Kakanwil Papua Barat dan kami juga akan menemui Kanwil Papua. Termasuk menyurati Menteri Hukum dan HAM agar mereka dibantu biaya pemulangannya,” katanya. AN-MB