Perempuan dan anak-anak dari Hawija duduk di luar Pusat Pemeriksaan Kurdi, di Dibis, Irak, untuk menentukan ada atau tidaknya keterkaitan mereka dengan ISIS, 3 Oktober 2017. (Foto: dok).

Kasus terorisme yang melibatkan kaum perempuan cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dipandang perlu melakukan inovasi program mitigasi pencegahan dan deradikalisme agar berdampak secara komprehensif.

Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh mengatakan Indonesia berpotensi “memanen” sejumlah teroris perempuan. Ini tampak dari keterlibatan perempuan menjadi pembom bunuh diri dalam sebagian kasus terorisme. Menurutnya telah terjadi pergeseran peran, di mana sebelumnya perempuan hanya bersifat supportif yaitu mendukung suaminya yang teroris, kini dapat berperan secara aktif.

Peningkatan peran aktif perempuan dalam terorisme ini, luput dari perhatian pemerintah, padahal berbagai riset dan penelitian sudah menyebutkan bahwa perempuan berpotensi memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam gerakan radikalisme. Perempuan, kata Riri dianggap sebagai sosok yang lemah lembut sehingga tidak dicurigai oleh pihak yang berwajib.

“Jadi adanya denial itu kemudian hal itu tidak terantisipasi sama sekali, baru kemudian ada penangkapan Dian Yulia Novi itu, kemudian membuat semua orang shock, apalagi dengan Surabaya, terakhir kemarin di Medan. Terus kemudian orang terhenyak semuanya bahwa memang sekarang ini ancamannya ada di keluarga itu, bahwa this is the only one loh terjadi di Indonesia adanya seluruh anggota keluarga meledakkan diri. Meskipun kemudian di Bangladesh ada perempuan, suami dan anak meledakkan diri, menjadi suicide bombers. Ini ketidaksadaran dan ketidakpedulian ini seharusnya sudah mulai dikurangi, jadi bahwa laki-laki dan perempuan sama punya potensi untuk menjadi teroris,” ujar Riri dalam acara Beda Buku “Perempuan dalam Terorisme” di Jakarta, Rabu, (15/5).

Terlibatnya kaum hawa dalam aksi terorisme ini, ujar Riri dikarenakan para pengikut ISIS laki-laki sudah banyak yang meninggal, sehingga mereka menjadikan perempuan sebagai target sekaligus shamming atau tindakan mempermalukan laki-laki yang tidak punya keberanian untuk melakukan aksi bom bunuh diri misalnya.

Ditambahkannya, adapun faktor-faktor yang menyebabkan kaum perempuan tertarik kepada paham radikalisme adalah faktor ideologis dan faktor religious, dimana para perempuan didoktrin dengan pemahaman bahwa Indonesia negara yang kurang Islami, dan bahwa Islam merupakan paham dan agama yang sangat sempurna.

Faktor lainnya adalah, banyak dari kaum perempuan yang terlibat ini mengalami berbagai ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial, sehingga sangat mudah bagi kelompok radikalisme tersebut untuk merekrut para perempuan ini.

“Ini yang dikeluhkan oleh banyak istri ketika suami mereka ditangkap merek langsung distigma oleh masyarakat. Banyak dari mereka diusir, mau ngontrak gak boleh, mereka kesulitan tempat tinggal, mendapat kerja dan sebagainya. Ini juga tidak benar. Masyarakat kita harus bersikap adil, karena kalau kita menstigma, maka yang menolong perempuan akhirnya ya kelompok-kelompok itu lagi. Justru para perempuan itu, karena diselamatkan oleh kelompok itu akhirnya bergabung lagi,” jelasnya.

Pemerintah Perlu Inovasi Program Deradikalisasi

Untuk mengantipasi masalah ini, pihak pemerintah didorong untuk memberikan penanganan yang berbeda bagi bagi masyarakat yang tidak terpapar, yang rentan dan yang sudah terpapar. Menurut Riri Khariroh, cara program deradikalisasi yang dilakukan BNPT selama ini kurang tepat.

Editor dan Cowriter buku "Perempuan Dalam Terorisme", moderator Ruby Khalifah, Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh dalam acara Bedah Buku "Perempuan dalam Terorisme" di Jakarta, Rabu, 15 Mei 2019. (Foto: VOA/Ghita)
Editor dan Cowriter buku “Perempuan Dalam Terorisme”, moderator Ruby Khalifah, Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh dalam acara Bedah Buku “Perempuan dalam Terorisme” di Jakarta, Rabu, 15 Mei 2019. (Foto: VOA/Ghita)

“Kalau yang sudah sangat terpapar, intervensinya harus berbeda juga. Selama ini program deradikalisasi lebih banyak dengan isu agama saja, kan gak bisa. Kita harus lihat ini manusia, harus disentuh dengan teorinya heart, hand, head. Jadi heart dulu, approach with your heart. Kamu simpati ajak dialog, ajak bicara. Hand dengan tolong dia misalnya beri dia pertolongan. Baru setelah itu sasar head-nya. Karena kalau deradikalisme yang dulu-dulu kan langsung didatangi ustad ini itu, ya mental lah. Orang ustad bukan bagian dari kita. Jadi yang seharusnya disasar bukan ideologinya dulu tapi heart-nya dulu,” paparnya.

Menurutnya untuk menekan angka terorisme, pemerintah – melalui BNPT – perlu bekerjasama dengan sejumlah pihak untuk mengevaluasi cara-cara yang selama ini dilakukan untuk penanggunglangan terorisme ini secara komprehensif. Karena selama ini, program-program yang ada cenderung hanya mengulang dan tidak ada inovasi sama sekali.

Tiga Temuan Penting Mengapa Perempuan Kini Jadi Teroris

Dalam kesempatan yang sama, editor sekaligus cowriter buku “Perempuan dalam Terorisme” Khoirul Anam mengatakan temuan di lapangan, ketika mewawancarai istri dari para pimpinan terorisme ini, adalah bahwa para perempuan ini mengalami ketidaksetaraan dalam rumah tangga antara suami dan istri.

Temuan kedua adalah kuatnya ajaran bahwa istri punya tanggung jawab untuk mendengar dan mematuhi apa pun kata suami. Sementara temuan ketiga adalah para perempuan tersebut tidak sadar bahwa ketika sudah mengikuti paham radikalisme, mereka tidak lagi mau menyapa para tetangganya yang tidak memakai jilbab, dan sebagainya. Bagi para perempuan ini, hal itu biasa saja. Mereka bahkan menilai tidakan suaminya melakukan teror tidak salah dah hanya menjalani ajaran agama.

“Kedua ini kan istri pimpinannya. Pimpinan pertama itu suaminya Humaira, di tembak polisi meninggal, digantikan kekuasaannya oleh suami Ummi Yazid. Dua ini yang bisa berbicara banyak tentang aksi suaminya,” jelas Anam.

“Tapi meski begitu, mereka ‘gak ngerti aktivitas suaminya apa, termasuk ketika kami (melontarkan) pertanyaan, ‘Ummi setuju gak dengan apa yang dilakukan oleh Abi?’ Ia jawab ‘Setuju, Abi orangnya baik kok.’ Kami tanya lagi, ‘Ummi tahu gak kalau Abi pernah menyembelih orang? Menyembelih petani di Poso.’ Dia bilang. ‘saya ‘gak tahu, Abi juga gak cerita. Saya yakin, Abi hanya menjalankan perintah agama,” demikian imbuh Anam.

Menyikapi meningkatnya peran perempuan dalam terorisme, menurutnya, justru selain perempuan, pemerintah juga harus menaruh perhatian kepada pihak laki-laki dan anak-anak yang terlibat. Karena menurutnya, laki-laki mengambil peran utama dalam aksi terorisme ini dengan mengajak serta para istri mereka.

“Orang semua mengira ketika perempuan terlibat radikalisme dan terorisme programnya harus menyasar ke perempuan. Bagi saya masalahnya bukan di perempuan, masalahnya ada di laki-lakinya. Jadi programnya seharusnya fokus ke laki-laki dan ke anak. saya khawatir anak yang lahir dan besar di penjara. Untuk kasus terorisme ada banyak sekali perempuan dengan kondisi hamil dan melahirkan di penjara, lalu anaknya sampai beberapa tahun ada dipenjara. Saya khawatir anak-anak itu akan mewarisi kebencian orang tuanya, nah itu yang perlu segera ditemukan jalannya,” jelas Anam. [gi/em]

Sumber : VOA Indonesia