Sidang kasus bos Hotel Kuta Paradiso, Harijanto Karjadi dilanjutkan di PN Denpasar, Selasa (3/12)

Denpasar, (Metrobali.com)-

Sidang kasus bos Hotel Kuta Paradiso, Harijanto Karjadi dilanjutkan di PN Denpasar, Selasa (3/12) dengan agenda pemeriksaan saksi. Tim jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinatori Ketut Sujaya menghadirkan saksi korban Tomy Winata (TW) dan Desrizal (konsultan hukum TW). Di depan majelis hakim pimpinan Sobandi, pada intinya kedua saksi membenarkan perkara ini berawal dari kredit terdakwa ke bank pemberi kredit. Persoalan muncul usai saksi TW membayar piutang terdakwa paska bank pemberi kredit ke PT Giya Wijaya Prestige (GWP) bermasalah. Diantara bank yang ikut memberikan kredit itu antara lain Bank PDFCI, PT Bank Rama, Bank Indovest, Bank Finconesia, Bank Artha Niaga Kencana dan PT Bank Multicor. semuanya disebut bank sindikasi dimana PT GWP mendapat pinjaman USD 17.000.000. Sebagai jaminan pinjaman, terdakwa menjaminkan tiga sertifikat tanah, gadai saham atas nama Harjanto Karjadi di PT GWP, gadai saham atas nama Hermanto Karjadi, gadai saham atas nama Hermanto Karjadi, gadai saham atas nama Hartono Karjadi.

Dalam perjalanannya, TW juga mengambil alih bank sindikasi yang bangkrut. Akan tetapi, terdakwa Harijanto diduga telah melakukan praktik memanipulasi administrasi hukum dalam bentuk kepemilikan saham, yang dipindahkan lagi dalam masa dianggunkan bersama sang kakak Hartono Karjadi. Tidak tanggung – tanggung, dalam dugaan praktik ini pihak Bank Sindikasi sebagai dibitur kecolongan ratusan miliar rupiah. ” Saya mengambil alih piutang CCB Indonesia terhadap PT GWP, tujuannya bukan karena nilai ekonominya, tetapi karena rasa keadilan saya yang terusik atas permasalahan hukum yang timbul sehubungan dengan hutang piutang antara bank Sindikasi dengan PT GWP,” terang pengusaha nasional ini. Selain itu TW turut merasa kesal lantaran eks Direktur Bank yang memberi pinjaman menjadi tersangka oleh penegak hukum karena dituduh menggelapkan sertifikat yang menjadi jaminan hutang PT GWP. Hal ini unik karena pihak pemberi pinjaman dikriminalisasi oleh penerima pinjaman.
“Sebagai WNI dan juga pengusaha yang kebetulan pemilik lembaga perbankan, nurani saya terusik karena bagaimana mungkin pihak yang berada pada posisi memberikan dan meminjamkan uangnya untuk digunakan terdakwa justru menjadi tersangka dengan tuduhan menggelapkan sertifikat padahal sertifikat tersebut berada dibawah CCB Indonesia (agen jaminan) adalah sebagai jaminan hutang,” tegas saksi TW berapi api.
Karena itu menurut saksi TW ada proses hukum yang tidak tepat.hal ini tentu saja tidak baik untuk dunia investasi Indonesia khususnya CCB Indonesia yang pemiliknya investor asing padahal pemerintah selama ini telah berusaha keras untuk menarik investor asing menanamkan modalnya di Indonesia.
“Saya membeli piutang ini untuk menghindari kemungkinan permasalahan ini dapat mengganggu kepercayaan investor baik lokal maupun asing khususnya dari Tiongkok,” sambung TW.
Saksi TW juga menegaskan yang melatar belakangi dirinya mengambil alih atau membeli piutang di Bank CCB Indonesia bukan untuk mendapatkan keuntungan secara finansial tetapi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Bank CCB Indonesia. Investor kata TW membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usaha yang artinya bagi para investor butuh satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya. Dengan tidak adanya kepastian hukum dalam kegiatan investasi menyebabkan berbagai permasalahan yang mengakibatkan kurangnya minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Semoga proses hukum yang sedang berjalan saat ini bisa memberikan keadilan dan kemanfaatan atas nama kepastian hukum di indonesia,” tandas bos Grup Artha Graha ini. (NT-MB)