Foto: Advokat dan Pengamat Kebijakan Publik Togar Situmorang, S.H.,M.H.,M.AP.

Denpasar (Metrobali.com)-

Tanggal 31 Juli 2020 merupakan akhir petualangan bagi Djoko Soegiarto Tjandra alias Joko Tjandra karena  dijemput paksa langsung oleh Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo dari Malaysia ke Indonesia.

Buronon kelas kakap yang telah menjadi buronan selama 11 tahun ini harus segera mempertanggung jawabkan secara hukum terkait kasus pengalihan hak (Cessie) Bank Bali. Semestinya Joko Tjandra sudah harus di sel sejak tahun 2009 dengan hukuman 2,5 tahun namun ia kabur ke luar negeri.

Advokat dan Pengamat Kebijakan Publik Togar Situmorang, S.H.,M.H.,M.AP., memberikan apresiasi luar biasa atas penangkapan Djoko Tjandra merupakan hasil kerjasama antara Polri dengan Polis Diraja Malaysia melalui mekanisme police to police.

“Apresiasi luar biasa untuk Polri yang sudah bekerja sengat keras dan optimal dalam aksi penangkapan Djoko Tjandra ini,” kata Togar Situmorang, Jumat (31/7/2020).

Djoko Tjandra minggu belakangan ini telah buat heboh terkait penegakan hukum dan menjadi perhatian publik dimana bisa berada di Indonesia walau sebagai buronan, juga mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan menuai polemik buronon tersebut.

Atas hal ini, Presiden Joko Widodo kepada menginstruksikan Kapolri Idham Azis untuk segera menangkap buronan Djoko Tjandra dimanapun keberadaannya agar segera menuntaskan persoalan hukum Cassie Bank Bali.

Akhirnya Kapolri Idham Azis membentuk tim khusus yang bekerja secara intensif dan dipimpin langsung oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo membuahkan hasil.

Togar Situmorang menerangkan awal kejadian terkait tentang Cessie Bank Bali  saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada tahun 1997.

Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair.

Di tengah keputusannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT. Era Giat Prima (EGP) di mana Djoko Tjandra duduk selaku Direktur  dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat Direktur Utama. Kemudian Januari 1999, antara Rudy Ramli dan PT. Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih.

Disebutkan, PT. Era Giat bakal menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih. Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60 persen atau Rp 546 miliar, masuk rekening PT. Era Giat.

Advokat Togar Situmorang yang juga sebagai Dewan Pakar Forum Bela Negara Provinsi Bali mengatakan Konon, kekuatan politik turut andil dalam proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh politikus disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran dana tersebut, skandal cessie ini diduga berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk politik saat itu.

Perlahan-lahan, kejanggalan itu mulai terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan PT. Era Giat.”

Dimana pada saat itu Ketua BPPN, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie. Atas kejadian tersebut dimulai dilakukan penyelidikan.

Saat itu Setya Novanto menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding namun Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada November 2004, memenangkan BPPN.

Lantas Era Giat juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu.

Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan kasasinya, Mahkamah Agung memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama dimana bahwa dana tersebut adalah hak Bank Bali.

Di saat bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Mentri Pendayagunaan BUMN).

Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.

Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu Joko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004.

Adapun Syahril Sabirin, kendati Pengadilan Negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu.

“Yang kontroversial adalah Djoko Tjandra. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi Djoko dinyatakan bebas,” kata Togar Situmorang yang juga Ketua Hukum dari RS dr Moedjito Dwidjosiswojo, Jombang,Jawa Timur.

Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali (PK).

Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun penjara. Namun belakangan, Djoko Tjandra sudah terlebih dahulu kabur ke luar negeri.

Namun pelarian Djoko Tjandra terhenti karena kerja keras jajaran penegak hukum khususnya Polri. Diharapkan keberhasilan menangkap buronan kelas kakap ini bisa menjadi momentum dan pelecut semangat penegakan hukum menangkap buronan lain yang masih bebas berkeliaran di luar negeri.

“Buronan kelas kakap kasus korupsi masih jadi pekerjan rumah bagi penegak hukum. Semoga tertangkapnya Djoko Tjandra jadi awal yang bagus menangkap buronan lainnya agar penegakan hukum berwibawa di mata publik,” kata Togar Situmorang yang dijuluki Panglima Hukum ini.

“Masak juga negara kalah sama buronon,”, tutup Advokat Togar Situmorang, Founder dan CEO dari Firma Hukum di Law Firm TOGAR SITUMORANG, Jl.Tukad Citarum No. 5 A Renon ( pusat ), Jl. Gatot Subroto Timur No.22 Kesiman Denpasar (cabang Denpasar), Jl. Kemang Selatan Raya No.99, room 1003-1004, Gedung Piccadilly, Jakarta Selatan (cabang Jakarta). (wid)