Jakarta, (Metrobali.com)-

Perkembangan dunia periklanan dewasa ini mengalami kemajuan yang sangat cepat dan luar biasa. Sayangnya, sebagian dari produk iklan tersebut termasuk produk iklan pangan melanggar tata krama (kode etik) periklanan di Indonesia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Salah satunya seperti apa yang ditayangkan sebuah TV Swasta Nasional dalam program liputan khusus selama berminggu-minggu tentang sampah plastik dan jenis-jenis plastik, di mana di dalamnya terselip slide berjudul “Keunggulan Polyethylene Terephthalate (PET)”. Sayangnya, dalam slide itu tersembunyi sebuah pesan yang jika disimak tengah menyudutkan produk lain dengan menyebutkan bahwa galon berbahan PET tidak mengandung bahan BPA yang berbahaya. Seperti diketahui, Le Mineral baru-baru ini mengeluarkan produk galon sekali pakai berbahan PET. Sementara industri AMDK lainnya seperti AQUA, Club, Prim A, Prius, Vit, dan Oasis, sudah puluhan tahun memproduksi produk galon guna ulang berbahan BPA.
Sekjen Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Herry Margono mengatakan iklan-iklan seperti yang dibuat galon isi ulang itu sekarang lagi berkembang pesat. Itu namanya disebut dengan native ad, dan itu lagi berkembang. Menurutnya, seringkali iklan-iklan seperti galon sekali pakai itu dibuat seperti berita biasa dengan menyembunyikan statusnya bahwa itu sebenarnya adalah iklan. Padahal, itu harus tegas disebutkan adalah iklan dan harus dibedakan dengan program acara. “Nah, iklan galon sekali pakai yang ditayangkan salah satu TV swasta itu kan terlihat seolah-olah langsung masuk dalam program acara. Itu tidak boleh dan jelas melanggar etika periklanan,” ujar Herry dalam acara webinar “Perlunya Sanksi Tegas Terhadap Pelanggaran Etika Iklan Produk Pangan” yang digelar Forum Jurnalis Online, Selasa (20/10).
Karena, menurut Herry, iklan galon sekali pakai itu bukan hanya memberikan informasi yang salah kepada masyarakat tapi juga bagaimana membangun public mind. “Nah, itu yang bahaya. Iklan itu telah membangun image negatif di masyarakat khususnya terhadap konsumen pengguna galon guna ulang berbahan PC yang disebutkan memiliki Zat Bisphenol-A atau BPA yang berbahaya bagi kesehatan dan pemicu gangguan hormon dan kanker. Itu kan telah membangun persepsi dari fakta-fakta yang salah, itu akan sangat berbahaya,” tukasnya.
Soal iklan ini, Herry juga mengakui bahwa dalam pembahasannya dengan tim ahli Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), mereka mengatakan bahwa iklan galon sekali pakai itu melanggar etika periklanan produk pangan. “Kebetulan saya di Badan POM juga masuk dalam tim ahli, dan waktu itu kita bahas itu (soal iklan galon sekali pakai), dan itu dinyatakan melanggar karena dinilai sudah mendiskreditkan produk lain. Itu keputusan Badan Pengawas Badan BPOM. Tapi setelah diputuskan melanggar, mau diapain saya nggak ngerti. Tapi dari tim ahli waktu itu kita putuskan itu melanggar,” ucapnya.
Anthonius Malau, Koordinator Pengendalian Konten Internet Kemenkominfo, mengatakan Kemenkominfo siap bertindak sebagai algojo atau eksekutor terhadap permintaan Badan POM untuk melakukan pemblokiran terhadap konten-konten yang dinilai telah melanggar Peraturan Perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang, PP (Peraturan Pemerintah), Peraturan Menteri atau bahkan Perka (Peraturan Badan POM). “Berdasarkan statistik yang kami miliki, khusus untuk produk iklan obat atau bahan pangan, dari tahun 2018 hingga saat ini, ada sebanyak 916 kasus yang kami tangani karena melanggar peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
Dari iklan-ilkan itu, Kemenkominfo telah melakukan pemblokiran atau take down di platform facebook dan sejenisnya. “Kami tentunya berada di paling hilir dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen dan tentunya tetap yang menjadi wasit adalah Kementerian Kesehatan dan Badan POM selaku regulator di pengawasan produk obat dan makanan,” katanya.


Terkait iklan galon sekali pakai yang dinilai banyak kalangan telah melanggar etika periklanan, dia mengakui masih belum mendapat laporan dari BPOM hingga saat ini. “Tapi kalau nanti BPOM meminta kami untuk menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kami tunggu dulu laporan dari BPOM-nya. Nanti kalau dia berbasis website, tentu kami lebih mudah untuk melakukan sinkronisasi dengan penyedia internet dan diupayakan langsung dalam waktu 3×24 jam itu bisa diblokir. Kalau ada di media sosial nanti kami mintakan take down,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan, Rachmat Hidayat, mengutarakan industri AMDK adalah industri yang tidak main-main yang mewajibkan anggotanya untuk memiliki SNI. SNI wajib, itu tidak optional. Setiap orang yang mau jual AMDK wajib memenuhi SNI. Kalau tidak, Konsekuensinya ada ancaman hukuman penjara 5 tahun,” katanya.
Jadi, dia sangat menyayangkan iklan galon sekali pakai itu. Menurutnya, pelaku industri AMDK yang sadar dan paham, tidak akan berani main-main dalam periklanannya. Paling tidak kami dari asosiasi, ada undang-undang yang memonitor dia dan semuanya mengandung ancaman hukuman pidana. Kita ada Undang-Undang Pangan UU No. 18 tahun 2012 bahwa setiap orang dilarang memuat pernyataan atau keterangan yang tidak benar atau menyesatkan dalam iklan pangan yang dia perdagangkan. Kalau dia berani melanggar apa ancaman hukumannya? Ada dipasal 145 bahwa dia akan kena ancaman penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 6 miliar,” ucapnya.
Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal Badan Standardisasi Nasional (BSN) Wahyu Purbowasito, menegaskan bahwa klaim yang disampaikan galon sekali pakai yang mengatakan galon berbahan PC mengeluarkan bahan yang berbahaya buat kesehatan itu harus disertai scientific base dan tidak bisa sepihak. “Scientific base itu ada rulesnya sendiri, ada bukti apa itu dikatakan berbahaya atau tidak,” ungkapnya.
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rolas Sitinjak mengutarakan banyak iklan-iklan yang sangat menyesatkan di lapangan sekarang ini. Karenanya dia mengajak pelaku-pelaku usaha untuk melakukan edukasi melalui iklan. Jadi kalau bahasa prokem sekarang itu jangan lebay. Karena akan ada undang-undang yang akan bisa menjerat. Nah, dari segi pemerintah, seharusnya juga negara mengatur regulasi periklanan. Sudah ada beberapa kali organisasi teman-teman periklanan diskusi bersama kami menyatakan bahwasanya di dalam periklanan ini masih ambigu, masih belum jelas regulasi-regulasinya,” tukasnya.

Editor : Nyoman Sutiawan