680

Denpasar (Metrobali.com)-

Tiga jenis komoditas hasil perkebunan di Bali meliputi kopi, kakoo dan vanili, berhasil menembus pasaran ekspor dengan menghasilkan devisa sebesar 1,23 juta dolar AS selama sepuluh bulan periode Januari-Oktober 2013.

“Kakao menyumbangkan devisa terbesar di antara ketiga jenis komoditas perkebunan itu yakni sebesar 709.968,98 dolar AS,” kata Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali I Ketut Teneng di Denpasar, Kamis (13/2).

Ia mengatakan, menyusul komoditas vanili yang memberikan andil sebesar 389.900,48 dolar AS dan terkecil adalah kopi hanya 134.495,07 dolar AS.

Devisa yang dihasilkan dari komoditas perkebunan itu meningkat 185,67 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat senilai 432.091,28 dolar AS.

Ketut Teneng menjelaskan, komoditas perkebunan itu hanya memberikan andil sebesar 0,31 persen dari total ekspor daerah Bali sebesar 398,75 juta dolar AS.

Ekspor komoditas kopi merosot 16,43 persen dari 15,97 ton seharga 160.944,38 dolar AS selama sepuluh bulan pertama 2012 menjadi hanya 13,30 ton seharga 134.495,07 dolar AS pada periode sama 2013.

Sementara vanili mencapai 14,30 ton seharga 389.900,48 dolar AS selama sepuluh bulan pertama 2013, meningkat 96,40 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 198.519,50 dolar AS dari hasil pengapalan 8,30 ton vanili.

Ketut Teneng menjelaskan, khusus komoditas kakao hasil perkebunan rakyat Pulau Dewata mulai memasuki pasar ekspor 4.703 ton seharga 709.968,98 dolar AS, dengan tujuan utama pasaran Amerika Serikat.

Dengan lancarnya pemasaran hasil perkebunan rakyat itu diharapkan petani daerah ini akan lebih bergairah untuk berproduksi.

Ada tiga daerah yang mengembangkan tanaman kakao yang cukup potensial di Bali yakni di Kabupaten Tabanan seluas 5.063 haktare, menyusul Jembrana 3.555 haktare, Buleleng 1.258 hehktare dan sisanya di Badung, Klungkung, Bangli dan Karangasem.

Produksi kakao di Bali selama 2012 tercatat hanya 4.950 ton dan jumlah itu bertambah jika dibandingkan tahun sebelumnya hanya 4.525 ton, namun angka tersebut jauh lebih rendah dari pada produksi tahun 2009 yang mencapai 6.826 ton.

Berkurangnya produksi kakao di daerah ini akibat berbagai faktor antara lain adanya serangan penyakit dan iklim yang kurang menentu sehingga produksi yang dihasilkan petani relatif berkurang, tutur Ketut Teneng. AN-MB