Saksi Parpol Dibayar Negara

Jakarta (Metrobali.com)-

Tiga bulan atau 68 hari menjelang pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD pada 9 April, muncul wacana untuk menghadirkan saksi dari perwakilan partai politik yang honornya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Rencana honor yang diberikan kepada satu orang saksi dari parpol sebesar Rp100 ribu, sehingga dengan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sekira 550 ribu dan parpol peserta Pemilu ada 12 parpol, maka sedikitnya uang yang harus dikeluarkan Pemerintah sebesar Rp660 miliar.

Namun Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad mengatakan anggaran yang disediakan Pemerintah untuk dana saksi parpol tersebut sebesar Rp700 miliar.

Nantinya uang Rp700 miliar itu tidak akan dibagikan kepada masing-masing parpol, melainkan langsung diserahkan kepada saksi parpol pada saat hari pemungutan suara.

“Supaya netral, maka anggaran itu dititipkan ke Bawaslu untuk dikelola, karena kami yang berwenang melakukan pengawasan. Nanti pada hari-H akan langsung kami berikan ke tangan saksi yang hadir,” kata Muhammad.

Honor saksi tersebut juga tidak akan dipotong pajak, artinya setiap saksi dari perwakilan parpol yang hadir di TPS pada 9 April akan menerima utuh Rp100 ribu.

Muhammad mengatakan wacana menghadirkan saksi dari pihak parpol itu untuk menjawab keluhan sebagian besar partai politik yang mengaku kesulitan menghadirkan perwakilan sebagai saksi di TPS karena terkendala anggaran.

Selain itu, menurut Bawaslu, semakin banyak pengawas di TPS, maka semakin minim pula kecurangan terjadi selama proses pemungutan dan terutama saat penghitungan suara.

“Kami akan secara mandiri dan obyektif dalam melakukan pengawasan itu, dan mudah-mudahan dengan adanya saksi partai itu dapat mengurangi jumlah gugatan yang masuk pasca-Pemilu,” kata Muhammad.

Tidak pantas Namun bagi sejumlah pihak, anggaran untuk membayar honor saksi parpol itu tidak pantas dikeluarkan oleh Pemerintah, apalagi Negara sudah memberikan bantuan dana kepada parpol yang berhasil meraup suara hingga ke parlemen.

Peneliti senior bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan honor untuk saksi dari parpol seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing partai, karena yang memiliki kepentingan tinggi dalam Pemilu ada parpol.

“Mestinya saksi itu menjadi tanggung jawab masing-masing partai politik. Yang namanya relawan kalau diberi makan dan minum ya sekedarnya, bukan lalu dibayar untuk partai-partai tertentu,” kata perempuan yang akrab disapa Wiwik itu.

Keberadaan saksi di setiap TPS seyogianya untuk menjaga perolehan suara masing-masing parpol tersebut tidak mengalami perubahan atau dimanipulasi oleh pihak tertentu.

Oleh karena itu, parpol yang seharusnya bertanggung jawab untuk menghadirkan saksi pada saat hari pemungutan suara.

Sementara itu, pengamat politik Ramlan Surbakti mengatakan permintaan parpol agar honor saksinya dibiayai dari APBN semakin menunjukkan bahwa partai tidak bekerja sehingga fungsi kaderisasi partai sangat lemah.

“Kalau ada 560 ribu TPS dan setiap parpol melakukan kaderisasi terhadap 560 ribu anggotanya, tentu itu akan efektif. Mestinya kaderisasi di parpol itu jalan, ini malah minta uang negara,” kata mantan anggota Komisi Pemilihan Umum itu.

Bentuk Politik Transaksional Pembiayaan terhadap saksi dari perwakilan parpol hanya menjadi media baru untuk melakukan politik uang di kalangan kader dan simpatisan parpol.

Saksi yang bertugas mengawasi dan mengawal perolehan suara partai tertentu di TPS biasanya merupakan kader dan simpatisan partai tersebut.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Arif Wibowo mengatakan saksi parpol tidak perlu dibayar oleh Negara, karena saksi bukan jenis pekerjaan dan seharusnya bertugas atas dasar sukarela kepada parpol.

“Selama ini memang ada tradisi di internal partai-partai yang kemudian menyediakan logistik, seeprti makan, minum dan rokok, untuk saksi, supaya mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Dan itu adalah tanggung jawab internal partai,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR tersebut.

Pendanaan Pemerintah untuk saksi parpol itu juga dapat membiasakan tindakan politik uang, karena dapat mendorong banyak orang untuk mau menjadi saksi demi menerima honor Rp100 ribu tersebut.

“Saksi parpol itu tidak perlu diada-adakan (dipaksa) oleh parpol, kalau partai tidak mampu menghadirkan saksi ya tidak perlu dipaksakan,” tambah Arif.

Permintaan partai akan adanya honor untuk saksi Pemilu tersebut menunjukkan bahwa partai tidak mampu mengelola uang di internal parpol itu sendiri.

Ramlan mengatakan alasan parpol meminta Pemerintah menganggarkan honor untuk saksi itu karena orientasi politik parpol sudah semakin tidak terarah.

“Ini bukan karena partainya yang tidak punya duit, tetapi partai sudah salah prioritas. Coba bandingkan antara kampanye yang bisa menghabiskan banyak uang dan tidak efektif itu dengan kaderisasi terhadap 560 ribu anggotanya,” kata Ramlan.

Saling Tuding Kemunculan ide mengucurkan dana ratusan miliar rupiah itu untuk hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab parpol itu masih menjadi teka-teki.

Saling tuding pun terjadi antara Bawaslu, DPR dan Pemerintah, seolah-olah tidak ada satu pun yang ingin bertanggung jawab terhadap dana tersebut.

Muhammad mengatakan usulan untuk menganggarkan dana saksi parpol tersebut muncul dari mulut Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Djoko Suyanto, saat rapat koordinasi di Kemenkopolhukam.

Rapat koordinasi waktu itu rencananya digelar untuk membahas mengenai pencairan anggaran untuk program Mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) yang sudah mendapat persetujuan Komisi II DPR.

Dalam rapat tersebut Menkopolhukam menyampaikan bahwa ada partai politik yang mengadu perihal keperluan dana untuk saksi.

“Pak Menko (Polhukam) menjelaskan ada permintaan parpol ke Pemerintah, tapi beliau tidak menjelaskan partai mana saja. Seandainya dia bilang partainya apa, saya tentu juga akan sampaikan ke publik,” kata Muhammad.

Selanjutnya digelar rapat kedua yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Ketua KPU Husni Kamil Manik dan pejabat Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan di Gedung Kemendagri.

Dalam rapat kedua tersebut, menurut Muhammad, Mendagri menyetujui usulan Menkopolhukam dan menyarankan agar anggaran tersebut dikelola Bawaslu. Ketua KPU saat itu juga sepakat jika Bawaslu yang mengelola dana sebesar Rp700 miliar tersebut.

“Terakhir, saya dimintai pendapat, dan saya katakan kalau itu disetujui dan tidak mengganggu tugas pokok dan fungsi Bawaslu ya kenapa tidak,” tambah Muhammad.

Namun Mendagri mengatakan bahwa usulan tersebut muncul dari pihak Bawaslu yang berhubungan langsung dan menampung keluhan dari partai politik. Dalam hal ini, Pemerintah tidak ingin turut campur terlalu dalam karena dapat menimbulkan keberpihakan terhadap partai tertentu.

“Itu Bawaslu dulu yang usul, pada waktu pembahasan muncul ide untuk saksi parpol. Dalam hal ini Pemerintah akan mempertimbangkan kalau ini sudah matang antara parpol dan Bawaslu,” kata Gamawan.

Mendagri juga mengatakan usulan terkait dana saksi parpol tersebut belum disampaikan secara resmi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengetahui perihal rencana tersebut.

“Ini baru sebuah wacana, belum sampai ke Presiden kecuali omongan-omongan lisan dari saya. Maka saya heran kok seolah-olah sudah sampai ke Presiden dan sudah dibatalkan,” kata mantan Gubernur Sumatera Barat itu.

Jika kemudian nanti sampai ke tangan Presiden dan disetujui, lanjut Mendagri, Peraturan Presiden terkait dana saksi parpol hanya akan mengatur mengenai bantuan keuangan dari Pemerintah.

Sedangkan mengenai mekanisme penyaluran dan pengaturan pembagiannya menjadi tugas Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara Pemilu.

“Presiden sifatnya membantu, tetapi bagaimana pengaturan dan tugasnya itu diatur oleh Bawaslu sendiri,” ujar Gamawan. AN-MB