Narapida di sebuah penjara. (Foto: gettyimages)

Penjara Texas tidak akan lagi mengizinkan pendeta berada di ruang eksekusi, setelah Mahkamah Agung AS memblok eksekusi terhadap seorang laki-laki yang berpendapat kebebasan beragamanya akan dilanggar jika pembimbing spiritualnya yang beragama Budha tidak bisa menemaninya menjemput ajal.

Departemen Peradilan Pidana Texas sejak bulan April 2019 lalu hanya akan mengizinkan staf keamanan penjara ke ruang eksekusi.

Perubahan kebijakan itu keluar sebagai tanggapan atas putusan pengadilan tinggi yang menunda eksekusi Patrick Murphy, anggota geng “Texas 7”, narapidana yang pernah kabur dari penjara.

Texas sebelumnya mengizinkan pendeta yang dipekerjakan oleh negara menemani narapidana ke dalam ruangan di mana mereka akan dieksekusi, tetapi staf penjara hanya menyiapkan ulama Kristen dan muslim.

Terkait dengan kebijakan ini, Mahkamah Agung pada akhir Maret 2019 memutuskan Texas tidak bisa mengeksekusi Murphy, kecuali penasihat spiritualnya atau pendeta Buddha lain yang ditunjuk negara menemaninya.

Salah seorang pengacara Murphy, David Dow, mengatakan perubahan kebijakan itu tidak membahas sepenuhnya argumen hukum dan kesalahan utama yang menjadi keputusan pengadilan itu.

“Respons yang sewenang-wenang, setidaknya untuk saat ini, terhadap semua agama mengungkapkan kebutuhan nyata akan pengawasan yudisial yang ketat terhadap protokol eksekusi,” kata Dow.

Pengacara Murphy mengatakan kepada pengadilan tinggi bahwa mengeksekusi Murphy, tanpa penasihat spiritualnya di ruang eksekusi, akan melanggar hak Amandemen Pertama untuk kebebasan beragama. Laki-laki berusia 57 tahun itu termasuk diantara sekelompok narapidana yang kabur dari penjara Texas pada tahun 2000 dan kemudian melakukan sejumlah perampokan, termasuk menembak mati seorang perwira polisi. Ia menjadi pengikut Buddha ketika di penjara hampir satu dekade lalu.

Hakim agung terbaru, Brett Kavanaugh, menulis bahwa Texas punya dua pilihan ke depan: mengizinkan semua narapidana memiliki pembimbing spiritual sesuai agama mereka di ruang eksekusi, atau mengizinkan pembimbing spiritual hanya di ruang saksi, bukan di ruang eksekusi.

“Pemerintah secara umum tidak boleh mendiskriminasi agama atau mengesampingkan agama tertentu,” tulis Kavanaugh.

Kristin Houlé, Direktur Eksekutif Koalisi Texas untuk Penghapusan Hukuman Mati, menyebut kebijakan baru itu “kejam dan tidak biasa”. Ia mendesak Departemen Kehakiman untuk mempertimbangkannya kembali.

Pendeta penjara masih bisa menyaksikan eksekusi dari ruang saksi dan bertemu dengan narapidana di sebelum eksekusi, kata juru bicara Departemen Kehakiman Texas, Jeremy Desel. Ia menolak untuk menguraikan alasan di balik perubahan kebijakan tersebut.

Perubahan itu menyelaraskan Texas dengan sebagian besar negara bagian yang menjalankan hukuman mati, yang tidak mengizinkan pendeta masuk ke dalam ruang eksekusi, menurut Robert Dunham, seorang pengacara dan direktur eksekutif dari Pusat Informasi Hukuman Mati. Namun keputusan itu mungkin akan membuka pertarungan hukum baru bagi negara bagian Texas yang paling banyak melakukan eksekusi di Amerika, kata Dunham.

Perubahan kebijakan itu bisa ditantang karena umumnya mendiskriminasi agama dan berlaku surut terhadap Murphy meskipun memiliki formulasi umum, kata Dunham. Jika argumen ini diajukan ke Mahkamah Agung, lanjutnya, sebuah keputusan bisa mempengaruhi bagaimana eksekusi dilakukan di seluruh negeri.

Keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Murphy menyusul banding serupa pada bulan Februari, ketika pengadilan memutuskan Alabama bisa mengeksekusi seorang narapidana muslim tanpa penasihat spiritual Islamnya hadir di ruang eksekusi. Keputusan pengadilan yang memungkinkan Dominique Ray dieksekusi itu mengundang kecaman publik, dan Dunham mengatakan keputusan penundaan eksekusi Murphy mungkin merupakan upaya para hakim menghindari pukulan balik lebih jauh.

“JIka membaca perintah pengadilan, mereka berharap Texas akan memberi mereka jalan keluar dengan mengakomodasi permintaan Patrick Murphy,” katanya. “Texas memilih untuk tidak melakukannya, jadi kemungkinan besar kasus akan bergulir kembali pada Mahkamah Agung.” [my/jm] (VOA)