jokowi jk 15

Jakarta (Metrobali.com)-

Dalam sebulan masa pemerintahannya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) langsung unjuk gigi dengan mengeluarkan beragam kebijakan.

Kebijakan itu, antara lain dikeluarkannya tiga kartu berbasis jaminan, keputusan terkait dengan politik internasional, keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di tengah menurunnya harga minyak dunia, penunjukan Jaksa Agung dari kader partai politik, hingga kebijakan lain yang dikeluarkan sejumlah kementeriannya.

Meskipun tidak sedikit komentar sejumlah pihak, baik yang pro maupun kontra, atas kebijakan-kebijakan Kabinet Kerja sebulan terakhir, atau sejak Jokowi dilantik 20 Oktober 2014, sejatinya masih terlalu dini menilai efektivitasnya.

“Kalau mau jujur, kinerja pemerintahan Jokowi-JK masih dini untuk dinilai,” kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta.

Bonar memandang apa yang dilakukan Jokowi-JK dalam waktu sebulan terakhir masih mewarisi berbagai hal yang menjadi kewenangan pemerintahan sebelumnya sehingga kebijakan Jokowi-JK memerlukan waktu untuk berproses dan pada gilirannya bisa diukur tingkat keberhasilannya.

Ia mencontohkan tiga kartu berbasis jaminan, antara lain Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), masih sangat sulit diukur efektivitasnya.

Alasannya, antara lain ketiga kartu itu sesungguhnya bukan kebijakan yang benar-benar anyar sebab kartu serupa sudah diterapkan beberapa daerah di Indonesia.

“Pada masa pemerintahan terdahulu ada program yang hampir mirip, hanya sekarang dilakukan perbaikan dan agar lebih tepat sasaran. Jadi, kita tidak bisa mengatakan itu sebagai hal yang benar-benar baru dan belum bisa diukur keberhasilannya. Kebijakan itu baru sebagai pemoles,” ujar dia.

Selain itu, ketiga kartu yang rencananya bakal diintegrasikan menjadi satu kartu itu pendanaannya masih menggunakan struktur anggaran pemerintahan sebelumnya.

“Contohnya kebijakan tiga kartu Jokowi, itu masih susah diukur efektivitasnya karena ‘budget’-nya itu masih menggunakan ‘budget’ lama yang disusun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,” tuturnya.

Menurut dia, kebijakan pemerintahan Jokowi-JK, khususnya yang memerlukan pendanaan, baru bisa diukur tingkat keberhasilannya setidaknya pada tahun 2016 ketika alokasi anggarannya memang sudah disusun sendiri oleh pemerintahan Jokowi.

Akan tetapi, politik anggaran diperkirakan akan berlangsung sengit di parlemen. Partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih bakal bekerja keras mengkritisi alokasi anggaran pemerintahan Jokowi-JK.

Lebih jauh dia mengatakan bahwa secara kasatmata masih terjadi kendala dalam taraf koordinasi antardepartemen di pemerintahan saat ini. Misalnya, dalam hal implementasi Undang-Undang Desa.

“Mungkin secara umum yang bisa terlihat adalah problem koordinasi antardepartemen masih belum baik, misalnya implementasi Undang-Undang Desa yang semestinya ‘leading sector’-nya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,” kata dia.

Sebelumnya, kata dia, implementasi peraturan tentang desa dipimpin oleh Kementerian Dalam Negeri. Dengan adanya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, terjadi alih kewenangan.

“Akan tetapi, seperti masih ada penolakan dan tumpang-tindih. Tumpang-tindih ini bukan hanya dalam isu Undang-Undang Desa saja, melainkan di banyak isu lain sehingga isu mengenai koordinasi dapat menjadi perhatian pemerintahan Jokowi-JK ke depan,” kata dia.

Pamor Jokowi Menurun Sementara itu, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Denny J.A. menyatakan pamor pemerintahan Jokowi-JK merosot drastis dalam sebulan masa kerjanya, atau sejak dilantik 20 Oktober 2014, karena kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

“Belum genap 100 hari pemerintahannya, pascapenaikan harga BBM, kepuasan publik terhadap Jokowi merosot drastis,” kata peneliti LSI-Denny J.A., Ade Mulyana.

Berdasarkan hasil survei “quick poll” yang dilakukan 18–19 November 2014 melalui “random sampling” terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia, kata Ade, diketahui hanya sebesar 44,94 persen responden yang menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi.

“Belum 100 hari, kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi di bawah 50 persen. Ini peringatan bagi pemerintahan Jokowi-JK. Mereka yang tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi-JK pun cukup besar, yaitu sebesar 43,82 persen,” ujar Ade.

Ia menyatakan menurunnya kepuasan terhadap kepemimpinan Jokowi merata di semua segmen masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, tinggal di perkotaan maupun desa, berpendidikan tinggi maupun rendah, serta wong cilik maupun kelas menengah atas.

“Menurunnya kepuasan terhadap kepemimpinan Jokowi pun terjadi pada pemilih Jokowi-JK sendiri di pilpres lalu. Mereka yang mengaku pemilih Jokowi-JK, hanya 48,59 persen yang menyatakan puas dengan kepemimpinan Jokowi, sementara 42,58 persen tidak puas, sisanya tidak menjawab,” ujar dia.

Menurunnya kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi antara lain disebabkan empat alasan utama, yaitu kurangnya sosialisasi alasan kenaikan harga BBM, meningkatnya harga kebutuhan pokok dan transportasi karena kebijakan kenaikan harga BBM.

Selain itu, publik meragukan kompensasi kenaikan harga BBM akan sampai kepada rakyat kecil, serta kenaikan harga BBM yang dilakukan sebelum ada program Jokowi yang terasa manfaatnya.

Perlu Gebrakan Lingkaran Survei Indonesia memandang bahwa masyarakat menantikan gebrakan program yang bisa dirasakan langsung manfaatnya. Hanya dengan program luar biasa yang akan membuat tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi meningkat kembali.

Lingkaran Survei Indonesia mengingatkan, untuk menyukseskan kebijakan pemerintahannya, Jokowi membutuhkan dukungan publik di tengah ketidakberdayaannya saat ini. Ketidakberdayaan itu, antara lain Jokowi tidak dapat mengontrol parlemen yang kini dikuasai partai Koalisi Merah Putih, serta Jokowi tidak menguasai satu pun partai politik.

“Dalam sejarah politik Indonesia, presiden selalu memiliki satu partai politik yang bisa dikontrol langsung. Jokowi tidak punya partai politik yang menempatkan dirinya sebagai figur sentral,” ujar Ade Mulyana.

Meskipun dicalonkan PDI Perjuangan, Jokowi tidak bisa mengontrol partai itu karena masih kuatnya pengaruh Megawati dalam partai. AN-MB