Kuasa Hukum I Wayan Medri yang terdiri dari I Nyoman Sukrayasa, SH MH., I Made Alit Antara, SH., I Made Somya Putra, SH, MH., I Made Rusna, SH., Alit Ardika, SH, Komang Aryawan, SH., Pasek Sujarwo, SH. yang tergabung dalam LBH Pemacekan MGPSSR Minta Pengadilan Tidak Gegabah

Mangupura (Metrobali.com) –

Kekhawatiran Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh akan dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Denpasar, sepertinya akan terjadi, mengingat Pengadilan Negeri Denpasar telah mengirimkan Surat Nomor : w-24.U.I/6508/HK.02/10/2019, tertanggal 15 Oktober 2019 perihal Pemberitahuan Pembacaan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, Tanggal 25 Juni 2018 dalam Perkara Nomor : 383/Pdt.G/2014/PN.Dps, Jo. Nomor 49/EKS/2019. Dalam Surat tersebut I Wayan Medri selaku Penggugat dipanggil ke Kantor Kepala Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung, Provinsi Bali untuk mendengar Pembacaan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, Tanggal 25 Juni 2018 dalam Perkara tersebut.

Kuasa Hukum I Wayan Medri yang terdiri dari I Nyoman Sukrayasa, SH MH., I Made Alit Antara, SH., I Made Somya Putra, SH, MH., I Made Rusna, SH., Alit Ardika, SH, Komang Aryawan, SH., Pasek Sujarwo, SH. yang tergabung dalam LBH Pemacekan MGPSSR berpendapat bahwa surat pemanggilan tersebut sangatlah mengejutkan kliennnya karena surat tersebut datang secara tiba-tiba dan dalam situasi yang seperti diketahui masih terdapat adanya penolakan dari kalangan masyarakat, khususnya umat hindu dan Semeton Pasek.

“Klien Kami sangat terkejut akan surat tersebut dan khawatir Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh akan dieksekusi. Selain masih ada proses pidana yang masih berjalan karena diduga Pihak Tergugat menggunakan Silsilah Palsu, juga akan menimbulkan guncangan di masyarakat Bali dimana sebuah Pura yang telah diempon selama puluhan tahun akan dieksekusi hanya dengan alasan NINGGAL KADATON tidak berlaku dalam hukum perdata sebagaimana inti dari isi pertimbangan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung yang kami nilai sangat bertentangan dengan asas keadilan dan nilai-nilai hukum yang terkandung di masyarakat,” terang I Wayan Medri.

Menurutnya, Agar tidak ada kekisruhan, aspek komunikasi diharapkan menjadi solusi penting ke publik, sebab dalam surat tersebut tidak terlihat siapa yang memohon eksekusinya maupun maksud dan tujuan surat tersebut. “Kami akan tetap menghormati setiap proses peradilan yang utuh, namun dalam kasus ini Pihak Pengadilan sebaiknya harus sangat hati-hati, juga harus melihat dari sisi psikologis posisi I Wayan Medri sebagai pemangku pura dan pengempon Pura yang berjumlah 45 KK, apakah situasinya sudah memungkinkan atau tidak. Kami rasa komunikasi yang baik harus terjalin dan pesannya sampai ke publik, jangan sampai karena ingin ada kepastian hukum tanpa melihat sisi manfaat dan keadilan hukum, ada kesan Gegabah dalam melakukan penetapan eksekusi hanya karena mispersepsi atau eksekusi yang dipaksakan”.

LBH Pemacekan MGPSSR menyatakan sangat prihatin atas Putusan PK Mahkamah Agung yang sama sekali mengesampingkan hukum adat Bali dan nilai-nilai hukum yang hidup di Masyarakat Bali. Putusan yang demikian diyakini akan menimbulkan goncangan sosial dan dikhawatirkan akan mengeliminasi tempat suci dan budaya yang terkandung didalamnya. Sehingga obyek perkara yang sebelumnya haruslah dilihat secara utuh sebagai bagian kesatuan nilai adat, budaya dan relegius yang menjadi satu kesatuan. Berdasarkan alasan Itulah yang menjadikan LBH Pemacekan MGPSSR hadir mendampingi I Wayan Medri yang membawa tanggungjawab sebagai pemangku dan pengempon pura serta eksistensi Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh tersebut, disamping memang LBH Pemacekan MGPSSR ini dibentuk untuk senantiasa siap dalam melakukan pendampingan dan bantuan hukum kepada Semeton terhadap masalah hukum yang dihadapi. (hd)