Denpasar (Metrobali.com)-

Cara unik diterapkan Direktorat Lalu Lintas (Dit Lantas) Polda Bali untuk menekan pengendara anak. Berkaca dari kasus yang melibatkan AQJ, anak bungsu musisi Ahmad Dhani, Dit Lantas Polda Bali berupaya menekan sedapat mungkin pengendara anak di bawah umur. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan teguran simpatik.

Direktur Lalu Lintas Polda Bali, Komisaris Besar Beno Louhanapessy menjelaskan, teguran simpatik ini sebagai upaya Polda Bali meminimalisir anak-anak yang berkendara. Caranya, kata dia, adalah dengan memberikan teguran kepada anak-anak yang kedapatan berkendara.

Anggotanya akan menjelaskan jika mereka (anak-anak yang kedapatan berkendara) belum waktunya mengendarai kendaraan. “Kita memberikan teguran, tidak mengambil tindakan. Tilang itu langkah terakhir. Kami lebih mengedepankan teguran simpatik agar tumbuh kesadaran berkendara bagi masyarakat, khususnya anak-anak,” kata Beno, Sabtu 13 September 2013.

Setelah menjelaskan jika mereka belum saatnya berkendara, selanjutnya anak-anak yang masih di bawah umur itu akan diantar ke sekolah. Adalah Babinkamtibmas sebagai ujung tombak konsep teguran simpatik tersebut.

“Kita akan melakukan teguran simpatik. Kemudian siswa atau siswi kita antar ke sekolah bekerjasama dengan Babimkamtibmas. Saat di sekolah kita akan melakukan edukasi dan sosialisasi tentang keamanan dan kenyamanan berlalulintas kepada siswa-siswi dan juga bekerja sama dengan guru di sekolah yang bersangkutan,” jelas Beno.

Saat ini, imbuhnya, konsep teguran simpatik sudah diterapkan di lingkungan Polda Bali. Tak ada batas waktu hingga berapa kali teguran simpatik itu dilakukan. Yang pasti, kata dia, teguran simpatik ini akan terus dilakukan, lantaran memiliki efek positif terhadap perubahan perilaku berkendara.

“Tilang itu menjadi bagian, tapi tidak melulu kita terapkan. Tilang itu sebuah ultimum remidium atau senjata terakhir. Namun untuk anak-anak kita pastikan tidak akan menggunakan tilang,” tegas Beno. 

Ia juga membantah jika teguran simpatik tersebut tidak bisa menimbulkan efek jera terhadap siswa atau anak yang bersangkutan. “Efek jera tersebut harus dibuktikan dengan sebuah penelitian, sehingga kita tidak bisa menyimpulkan apakah teguran simpatik itu bisa menimbulkan efek jera atau tidak,” ulasnya.

Kendati begitu, jika hal tersebut berhubungan dengan kecelakaan yang melibatkan anak, maka bisa dijerat dengan hukum pidana.

Menurutnya, sudah saatnya Indonesia segera memikirkan sekolah mengemudi berstandar internasional. “Indonesia sendiri belum memiliki sekolah mengemudi berstandar internasional. Dan, kita mendorong agar hal itu bisa terwujud, karena sekolah mengemudi berstandar internasional sudah memiliki International Standar Operation (SOP),” papar Beno. 

Upaya lain untuk mengedukasi masyarakat terutama pelajar yang masih di bawah umur adalah melakukan visualisasi awarness dan audio awaraness baik melalui spanduk, banner, dan LED. 

“Biasanya siswa-siswi membutuhkan penguat, pengukuh untuk membentuk karakter berlalulintas. Dengan melihat spanduk, banner, audiovisual, minimal kesadaran berlalulintas tertanam dalam diri masing-masing siswa,” demikian Beno. CKL-MB