Ilustrasi-Uang Rupiah

SALAH SATU kebijakan pemerintah di bidang keuangan, khususnya bidang perpajakan adalah tax holiday. Tax holiday berarti pembebasan membayar pajak bagi pengusaha pada masa tertentu. Tax holidaydiberikan oleh pemerintah sebagai stimulus fiscal untuk menarik investor dari luar negeri agar berinvestasi di Indonesia. Investasi ini dharapkan dapat mendorong pengembangan industri di daerah. Artinya, Negara akan mendapatkan manfaat dalam bentuk pengembangan insfrastruktur dari kebijakan tax holiday tersebut. Dalam hal ini pemberian tax holiday diharapkan dapat mendorong kegiaan pada sector sektor industri hulu. Hal itu penting sebab kegiatan di sektor hulu akan sulit berjalan sempurna tanpa fasilitas tax holiday.

Di samping itu, juga dikhawatirkan bahwa para investor akan hengkang atau memindahkan kegiatan investasinya ke negera lain yang nmenawarkan sejumlah sweeteners yang menggiurkan. Tujuan lain pemberian tax holiday adalah untuk mendorong arus perubahan capital inflow yang belakangan ini membanjiri Indonesia ke arah foreign direct investment. Selama ini capital inflow yang ada lebih banyak diparkir pada instrument yang menjanjikan return cukup besar, penempatan pada sertifikat Bank Indonesia (SBI), surat utang Negara (SUN), dan pasar saham. Dalam hal ini capital inflow berdampak ganda. Artinya, di satu sisi berdampak positif pada pengendalian nilai tukar rupiah. Sebaliknya, di sisi lain perlu diwaspadai karena sewaktu waktu dapat saja pindah ke Negara lain.

Untuk memasimumkan manfaat capital inflow ke Indonesia dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, capital inflow perlu diarahkan oleh pemerintah Indonesia menjadi investasi langsung asing (foreign direct investment). Sehubungan dengan itu, diperlukan sejumlah sweeteners. Salah satu bentuk sweeteners yang dapat ditawarkan adalah pemberian tax holiday.

Menurut Sastrowardoyo (1992), investasi dipengaruhi oleh dua factor. Kedua faktor yang dimaksud adalah faktor dalam negeri dan faktor luar negeri. Faktor dalam negeri meliputi faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Factor ekonomi terdiri atas pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang direfleksikan oleh produk domestik bruto, tabungan nasional, pajak dan fasilitas perpajakan yang diberikan, serta sumber daya alam yang tersedia secara melimpah dan upah sember daya manusia yang kompetitif (murah).

Sebaliknya, faktor faktor nonekonomi terdiri atas kondisi stabilitas politik serta kebijakan regulasi dan birokrasi yang menggairahkan iklim investasi. Di pihak lain faktor luar negeri yang memengaruhi perkembangan investasi, antara lain apresiasi nilai tukar Negara asal investor, penerbitan generalized system of preferences (GSP) terhadap empat Negara industry baru (NIB) asia, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, dan meningkatnya biaya produksi di luar negeri, terutama di NIB.

Tax holiday pernah diberlakukan di Indonesia dengan diterbitkannya UU No. 1 Tahun 1967 jo UU No 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Mungkin karena dipandang kurang efektif, ketentuan tentang tax holiday secabut melalui UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak di 1 Januari 1984. Sebagai penggantinya pemerintah menerapkan ketentuan umum perpajakan yang memberikan sejumlah kemudahan. Akan tetapi, dalam perjalanannya pada UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal muncul lagi pengaturan tentang pembebasan pajak. Hal itu berarti bahwa pemberian tax holiday layak dipertimbangkan.

Dengan demikian, Indonesia mampu bersaing dengan Negara tetangga. Akan tetapi, terdapat sejumlah hal yang harus dipertimbangkan.Pertama, pemerintah telah membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menarik investasi dari luar. Kebijakan ini telah diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam hal ini ketentuan tentang KEK diatur dengan UU (pasal 31, ayat 3). Kedua, kegagalan tax holiday sebagai pendorong masuknya foreign investment pada periode 1967—1983 mungkin disebabkan oleh aliran modal asing memang sangat kecil pada masa tersebut.

Di pihak lain sangat banyak Negara yang memperebutkannya. Namun, saat ini situasinya sangat berbeda. Dikatakan demikian karena capital inflow yang masuk ke Indonesia cukup besar. Sehubungan dengan itu, diperlukan biaya (cost) yang cukup besar untuk mempertahankan capital inflow tersebut. Artinya, SUN dan SBI harus tetap menarik. Dengan demikian, kredit tidak pernah turun. Akibatnya, sector rill kesulitan mendapatkan dana murah.

Pada dasarnya kebijakan tax holiday diharapkan dapat mendorong masuknya investasi baru, meningkatnya penanaman modal asing langsung, dan masuknya stable inflow of foreign capital. Di samping itu, juga diharapkan terjadi peningkatan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional, dan perbaikan neraca pembayaran. Hal lainnya adalah terjadi transfer teknologi dan menajerial skill, dikhawatirkan akan berdampak, baik positif maupun negatif.

Dalam hal ini tax holiday dikhawatirkan akan berdampak negatif pada penerimaan Negara. Sehubungan dengan itu, komisi XI DPR berharap agar pemerintah mencari sumber alternative penerimaan Negara untuk menutupi potensi penerimaan Negara yang berkurang akibat kebijakan tax holiday. Selain itu, kebijakan tax holidayuntuk menarik investasi dinilai berbaai kalangan dapat berdampak buruk bagi perilaku bisnis. Hal itu terjadi karena keputusan pemodal tidak didominasi oleh faktor pajak.

Artinya, secara teoritis, insentif pajak menimbulkan distorsi karena keputusan untuk melakukan investasi bergantung pada insentif pajak. Semakin besar insentif pajak tentu diharapkan semakin besar modal yang diinvestasikan. Bahkan World Bank dan IMF tidak menyarankan negara berkembang memberikan insentif pajak kepada investor asing.

Kekhawatiran di atas tidak sepenuhnya benar. Secara teoritis dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila tanpa kebijakan tax holiday ternyata FDI (Foreign Direct Investment) yang masuk ke Indonesia dengan kriteria yang sudah ditetapkan dalam kebijakan tidak ada, penerimaan Negara juga tidak ada. Sebaliknya, dengan kebijakan tax holiday ternyata FDI yang masuk ke Indonesia, penerimaan Negara justru akan meningkat. Dilihat dari sisi penerimaan pajak penghasilan badan memang tertunda penerimaannya dalam jangka pendek. Akan tetapi, jenis jenis pajak lain justru meningkat seperti pajak penghasilan orang pribadi. Di samping itu, apabila hasil produksi FDI dijual di ranah domestic, pemerintah juga berpotensi mendapatkan pajak pertambahan nilai.

Dampak positif lain tax holiday adalah dalam jangka panjang melaui dukungan fiscal ini dharapkan dapat mendorong kinerja perekonomian semakin berdaya. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga keuntungan, yaitu taxbase akan semakin membesar, lapangan yang tercipta akan semakin banyak, baik secara langsung mapun tidak langsung, dan capital inflow akan meningkat. Akan tetapi, permasalahannya adalah bagaimana agar kebijakan tax holiday dapat tepat sasaran dan tidak menimbulkan distorsi. Untuk itu pemberian tax holiday harus selektif dengan memperhatikan berbagai kriteria. Sekurang kurangnya terdapat dua kriteria industri yang dapat dipertimbangkan untuk diberikan tax holiday.

Pertama, industry yang menyerap banyak tenaga kerja, artinyatax holiday ikut berkontribusi memecahkan masalah pengangguran. Kedua, industry yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan berarti kalau terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap suatu sector tertentu, sector tersebut akan mendorong peningkatan output semua sektor dengan kelipatan sebesar nilai multiplier-nya. Keterkaitan ke belakang menggambarkan keterkaitan intersektor (aktivitas) produksi yang berada di hilir (downstream sectors) dengan sektor sektor produksi yang berada di hulu (upstream sectors).

Artinya, keterkaitan ke belakang akan eksis apabila peningkatan produksi sektor sektor hilir memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor sektor hulu. Pada sisi lain keterkaitan ke depan menunjukan derajat kepekaan suatu sektor tertentu terhadap permintaan akhir semua sektor. Jadi, dapat dikatakan bahwa tax holiday merupakan kebijakan publik yang simpatik yang perlu didukung oleh semua pihak demi pengkatan pendapatan Negara.

Oleh : Made Dwi Cahaya Permana