MENGANTAR anak sekolah adalah mengantar masa depan, karena ditangan merekalah masa depan bangsa kita berada. Setiap kali mengantar mereka sekolah,  yang menjadi perhatian saya adalah beratnya tas mereka. Banyaknya buku yang harus dibawa menggambarkan begitu banyaknya materi yang harus mereka serap setiap harinya. Mungkinkah beratnya tas anakku menjadi ukuran bahwa mutu pendidikan kita semakin maju?

            Saking banyaknya materi yang harus dipelajari, waktu belajar disekolahpun rasanya tidak cukup untuk menguasi materi yang dibebankan, maka les tambahan untuk pemantapan materipun diadakan. Bimbingan belajar, les private menjadi salah satu pilihan  memperdalam materi pelajaran agar dapat menjawab soal-soal yang diberikan saat ulangan atau saat ujian diadakan. Kesibukan orang tua pun bertambah dengan mengantar mereka ketempat-tempat les pilihan mereka. Biaya tambahan yang tidak sedikit mengiringi proses bimbingan belajar ini. Begitu sibuknya anak-anak kita dengan kegiatan belajar sering membuat nafas harus ditarik lebih panjang.

            Kesibukan mencapai puncaknya saat akan Ujian Nasional. Kesibukan itu berlanjut saat  penerimaan siswa baru. Sudah menjadi rahasia umum, Ujian Nasional penuh dengan prilaku ketidak jujuran untuk memenuhi target kelulusan. Begitu pula saat penerimaan siswa baru dilaksanakan, ada banyak cerita yang tidak sedap di dalamnya. Anak-anak pun jadi mengetahui bahwa belajar yang giat tidak cukup membawa kesuksesan seseorang.

            Yudi Latih dalam sebuah artikelnya mengatakan pendidikan kita telah kehilangan roh dari arti pendidikan yang diwariskan oleh bapak pendidikan kita Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Pendidikan dalam sosok beliau adalah sebuah benih harapan untuk pembebasan, kepribadian dan kepemimpinan. Saat pemerintahan kolonial Belanda, beliau menyadari pentingnya pendidik  yang saat itu begitu diskriminatif bagi rakyat biasa. Berdirinya sekolah taman siswa adalah jawaban atas kegelisahan beliau untuk memberi kesempatan bagi rakyat jelata bisa mengenyam pendidikan. Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah alternatif  yang menjadikan titian sebuah pembebasan.

            Berdirinya Sekolah Taman Siswa di cap oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai sekolah liar. Ki hajar menjawab dengan meyakinkan bahwa keberhasilan pendidikan bukanlah dari fasilitas dan formalitas. Keberhasilan pendidikan adalah berasal dari dalam diri berupa tekad, kecintaan akan pengabdian, dan karakter kepemimpinan. Bagi Ki Hajar pendidikan adalah proses harmonisasi antara wiraga (dunia tindakan) dan alam wirama (dunia pengendalian). Semboyan pendidikan beliau Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mbangun Karso, Tutwuri Handayani ; didepan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.

            Menurut Yudi Latif   sistem pendidikan seharusnya berkarakter, karena sistem pendidikan yang berkarakterlah yang dapat menumbuhkan anak didik yang berkarakter. Komersialisasi pendidikan dengan mengandalkan kemampuan daya beli telah melahirkan sistem pendidikan sebagai barang dagangan yang layak diperjual belikan. Pendidikan menjadi tidak berkarakter. Padahal pendidikan sebagai tumpuan harapan membentuk karakter bangsa. Kenapa karakter begitu penting? Sepintar apupun seseorang, sekaya apapun seseorang, secantik apapun seseorang menjadi tidak bernilai jika seseorang tidak bisa dipercaya lagi dan tidak punya keteguhan sebagai ekspresi keburukan karakter. Tentang pentingnya karakter dalam peribasa Inggris dikatakan, ‘When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lose; when character is lost, everything is lost.” Bung Karno sering bertanya: Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa? Ia lantas menjawab sendiri: Yang menentukan bukanlah luas wilayahnya dan seberapa jumlah penduduknya, melainkan kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya. Pendidikan sebagai wahana pembebasan, pembudayaan, dan kepemimpinan harus menempatkan karakter sebagai tumpuan dasar. Kemudian Yudi Latif melanjutkan keberadaban suatu bangsa terlihat pernghormatannya pada bidang pendidikan. Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha politisasi dan eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan pragmatis.

            Kembali pada tas anakku berat sekali, menjadi catatan sendiri betapa sistem pendidikan kita telah  mengabaikan roh pendidikan itu sendiri. Pendidikan kita seharusnya mengutamakan penananman karakter daripada hal-hal yang bersifat material semata. Proses dehumanisasi pendidikan, komersialisasi pendidikan harus dihentikan demi perbaikan masa depan bangsa.

 Penulis:  I Gst. Ngr. Agung Darmayuda, Direktur Eksekutif Lingkar Studi Mahabraya