Keterangan foto:  Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) pada 1 Agustus 2019 secara resmi mengirimkan  Surat Terbuka; Desakan Penghentian Megaproyek Di Kawasan Rawan Bencana Bali Selatan kepada Presiden/MB

“Ini rawan gempa, lokasi ini rawan banjir, jangan dibangun bandara, jangan dibangun bendungan, jangan dibangun perumahan.” Tegas-tegas harus disampaikan. Jangan sampai kita mengulang-ulang sebuah kesalahan yang sudah jelas.

-Presiden Joko Widodo, pada Pembukaan Rapat Kordinasi Nasional BMKG-

Jakarta, (Metrobali.com) – 

Pernyataan tegas Presiden Joko Widodo pada 23 Juli 2019 mempertegas posisi Indonesia yang berada di daerah rawan Bencana. Sekilas, pernyataan tersebut seolah memperlihatkan Presiden mempunyai perhatian terhadap isu kebencanaan secara nasional. Sayangnya, Instruksi kepada BMKG agar secara tegas mengingatkan Pemerintah Daerah untuk tidak melakukan pembangunan di daerah rawan bencana tidak dijadikan alat introspeksi pada kebijakan yang diterbitkan Pemerintah pada masanya ataupun periode pemerintahan lalu yang membuka lebar pembangunan untuk melanggengkan investasi di daerah rawan bencana. Salah satu contoh kebijakan nasional yang membuat rakyat menjadi korban potensial bencana terjadi di Provinsi Bali. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 pada 30 Mei 2014 membuka keran investasi di daerah rawan bencana di Teluk Benoa.

Terkait dengan konteks kebencanaan di Bali, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) pada 1 Agustus 2019 secara resmi mengirimkan  Surat Terbuka; Desakan Penghentian Megaproyek Di Kawasan Rawan Bencana Bali Selatan kepada Presiden. Pada pokoknya memaparkan tentang fakta yang menunjukkan Bali selatan sebagai kawasan rawan bencana dan desakan pembatalan berbagai megaproyek di kawasan rawan bencana.

Menurut Koordinator Divisi Politik ForBALI, Teluk Benoa dan sekitarnya (Bali Selatan) merupakan area yang berhadapan langsung dengan zona megathrust dimana segment Bali memiliki potensi gempa magnitudo maksimum 9,0. Dalam daftar desa kelas bahaya sedang dan tinggi tsunami, yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Bali khususnya di kecamatan Kuta Selatan, Kuta dan Denpasar Selatan terdapat 19 desa/kelurahan dalam kelas bahaya tinggi tsunami. Kawasan perairan Teluk Benoa dan sekitarnya juga rawan likuifaksi dengan skenario gempabumi magnitudo 7.2 SR. “Di kawasan tersebut terdapat empat mega proyek yakni rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar, perluasan pelabuhan Benoa dengan cara reklamasi, perluasan Bandara dengan cara reklamasi seluas 147,45 Ha termasuk rencana pembangunan Bali sport hub yang diwacanakan oleh Bupati Badung seluas 50 hektar yang harus dibatalkan karena berada di kawasan rawan bencana,” ujar Suriadi Darmoko

Atas kondisi tersebut, seharusnya Presiden dengan tegas melakukan pencabutan Perpres 51/2014 dan mengebalikan posisi Teluk Benoa kembali menjadi kawasankonservasi.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyebutkan seharusnya Presiden sadar, instruksi kepada BMKG tidak hanya ditujukan pada Pemerintah Daerah, baik Bupati/ Walikota atau Gubernur, namun termasuk jajaran Kementerian/ Lembaga yang berada di bawahnya, bahkan menjadi pengingat baginya untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan lembaga Kepresidenan yang tidak memperhatikan aspek kebencanaan. “Seharusnya, Presiden bisa mengawali instruksi ini dengan preseden yang baik. Contohnya dengan mencabut Perpres 51/2014 yang membuka keran pembangunan di lokasi rawan bencana. Terlebih ia menyebutkan tidak punya beban masa lalu, sehingga kebijakan yang diterbitkan Pemerintah sebelumnya yang tidak memperhatikan aspek kebencanaan dapat dengan mudah ia koreksi,” ujarnya.

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut seharusnya juga direspon oleh Menteri Kelautan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang telah menerbitkan izin lokasi reklamasi Teluk Benoa pada 29 November 2018. “Karena secara faktual izin lokasi tersebut berada pada kawasan rawan bencana, maka sebagai tindakan konkritnya seharusnya Menteri Susi Pudjiatuti segera mencabut izin tersebut,” tambah Nur Hidayati

Direktur Eksekutif WALHI Bali I Made Juli Untung Pratama menjelaskan, saat ini, tiga diantara proyek tersebut juga sedang diusulkan untuk dimasukkan ke dalam rancangan peraturan daerah tentangn Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( Ranperda RZWP3K). “Dokumen Ranperda RZWP3K, saat ini belum memasukkan secara detail potensi bencana alam, baik gempa bumi, tsunami maupun likuifaksi di Teluk Benoa dan sekitarnya. Maka, kami minta Menteri Susi Pudjiatuti dan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang selama ini terlibat intens dalam pembahasan Ranperda RZWP3K Provinsi Bali untuk memastikan pertimbangan kebencanaan tersebut dimasukkan ke dalam RZWP3K dan mega proyek tersebut tidak diakomodir dalam RZWP3K hingga ditetapkan sebagai peraturan daerah, tegasnya.

Editor: Hana Sutiawati