Oleh: I Gde Sudibya

Dalam perayaan 75 tahun Indonesia Merdeka, kita dihadapkan kepada pandemi Covid-19 yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya dengan dampak serius luas yang diakibatkannya. Risiko kesehatan, massifnya dampak ekonomi dan sosial yang menyertainya.

Sampai hari ini belum dapat diperkirakan secara cermat, berapa lama pandemi akan berlangsung, dalamnya kerusakan ekonomi yang diakibatkannya, berapa lama waktu, dana dan usaha yang diperlukan untuk ekonomi kembali bisa pulih. Faktanya, sejumlah negara telah mengalami resesi, 2 triwulan berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif, beserta dampak luas sosial ekonomi yang menyertainya.
Tampak pula terjadi persaingan antar negara untuk menemukan vaksin pembasmi dari virus Covid-19 dan juga persaingan untuk perekonomiannya cepat pulih, dengan kesadaran diperlukan kerja sama bilateral untuk menangani dampak pandemi ini.
Akumulasi Permasalahan Bangsa
Krisis kehidupan yang akibat pandemi ini, segera akan membuka tabir akumulasi permasalah bangsa yang telah ada. Makin besar akumulasi permasalahan bangsa yang ada, akan makin cepat  krisis akibat pandemi masuk  dan kemudian berdampak luas pada masyarakat.
Ada beberapa permasalahan bangsa yang dihadapi pemerintah Indonesia dibawah Presiden Jokowidodo
Pertama, dari sisi politik, menguatnya politik berbasis sara, paling tidak di permukaan dengan prasangka sosial yang menyertainya, polarisasi sosial berbasis sara, dengan risiko mudah terjadinya pengepingan secara sosial. Proses demokrasi prosedural yang pragmatis, berbasis transaksional, sehingga kekuatan modal mengalahkan sumber daya politik lainnya, kecerdasan , dedikasi dan juga rekam jejak. Akibatnya, sirkulasi kepemimpinan yang berlangsung, dengan pendanaan negara yang sangat besar, tidak sesuai harapan, perkembangan tanpa perubahan – development without change -.
Kedua, dalam lingkup ekonomi dan ekonomi politik, terjadi kesenjangan ekonomi yang luar biasa: distribusi pendapatan, penguasaan harta produktif, akses terhadap sumber daya ekonomi. Kekeliruan dalam kebijakan pembangunan dan pengelolaan ekonomi politik, berisiko melahirkan ketegangan sosial akut dan risiko politik tinggi.
Ketiga, dalam lingkup sosial kultural, korupsi kekuasaan telah menjadi ” budaya ” ( meminjam istilah sekretarisnya Pak Hatta, yang kemudian oleh publik dipersepsikan sebagai pendapat beliau ) dengan dampak luas yang dibawakannya. Sikap mental menerabas, aji mumpung, feodalisme baru, kong kali kong di dunia birokrasi yang membuat sistem meritokrasi nyaris lumpuh.
 ” Taman Sari ” dan ” Lantera ” Menyinari Negeri
Dalam perayaan 75 tahun Proklamasi kemerdekaan, rasanya pantas untuk menyimak kembali pemikiran Soekarno muda pada pusaran usia 25 tahun -28 tahun  yang dimuat di harian ” Suluh Indonesia Muda ” yang kemudian dibukukan dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.
Tentang ideologi kebangsaan Soekarno di usianya yang ke 25 tahun menulis: ” Nasionalisme jang sedjati, jang nasionalisme itu bukan semata-mata copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan kemanusiaan – nasionalisme  jang menerima rasa nasionalisme itu sebagai wahju dan melaksanakan rasa itu sebagai bakti, adalah terhindar dari segala paham keketjilan dan kesempitan “.
Tentang ethos kerja sebagai bangsa, Bapak Pendiri Bangsa ini menulis: ” Bekerdja sepenuh-penuhnya,  membanting tulang, memeras tenaga untuk menyusun kekuatan-kekuatan pergerakan kita dibikin mendjadi sekuat-kuatnya, merapatkan golongan-golongan itu satu per satu pula, itulah jang kini harus mendjadi sembojan dan itikad semua patriot Indonesia ” .
Dalam suasana politik identitas yang menonjol, dan kesenjangan ekonomi yang tajam dewasa ini, Soekarno muda menulis tentang Persatuan: ”  Persatuan antara kita dengan kita dapat mendjadi lebih kokoh dan lebih sentausa karenanya. Kitapun masih menetapi akan pepatah: didalam persatuan kita berdiri, didalam perpetjahan kita djatuh – united we stand, devided we fall – “.
Dalam realitas politik yang sangat pragmatis, mengandalkan kekuatan modal, memainkan isu-isu ” purba ” SARA, dengan kualitas intelektual dan spiritual yang banyak mengundang tanda tanya, Soekarno adalah intelektual pejuang yang relegius dalam pikiran dan tindakan.
Dengan mengutip  tokoh intelektual ternama Cri Aurobindo, Soekarno menulis: ” Kebenaran adalah pada kita, keadilan adalah pada kita, pekerti adalah pada kita, dan hukum Allah yang lebih tinggi dari pada hukum manusia, adalah membenarkan kita punya tindakan”.
Dalam realitas politik yang antara lain ditandai oleh: pertimbangan  sangat pragmatis, jangka pendek, ingin cepat untung – quick yielding –  tuna visi, mengalami ” penyakit ” rabun jauh, Soekarno muda, adalah pemikir visioner pada zamannya, sudah memprediksikan perang Pasifik akan berlangsung, perang antara Sekutu di bawah komando A melawan Jepang, 14 tahun sebelum perang yang dimaksud berlangsung. ( Soekarno menulis di ” Suluh Indinesia Muda ” tahun 1928, perang Pasifik dimulai tahun 1942 ).
Ir.Soekarno di usianya yang ke 27 menulis: ” Sebab zaman itu sebentar lagi akan memanggil kita menjadi saksi atas perkelahian yang maha dashjat di lautan Teduh raksasa-raksasa imprialis Amerika, Japan dan Inggris yang berebutan mangsa dan berebutan kekuasaan … “.
Dalam akumulasi permasalahan bangsa yang disebutkan di atas, ditambah dengan krisis akibat pandemi Covid-19, pemikiran jernih Soekarno muda di atas, dengan keluasan visinya, pantas untuk dijadikan referensi dan  program aksi bangsa ke depan. Tentang keluasan dan kedalaman paham kebangsaan, ethos kerja bangsa yang mesti ditumbuhkembangkan, komitment persatuan, kualifikasi pemimpin yang tercerahkan, dan kecerdasan visi dalam merespons dinamika geo politik global.
Meminjam istilah dan spirit Soekarno: lompatan jauh ke depan – step forward for our nation – melalui rawe rawe rantas malang-malang putung, terorisme, fundamentalisme agama, ketidak adilan ekonomi dan sosial,  korupsi kekuasaan yang eksplotatif terhadap rakyat. Exploitation d’ lome par lom.
The founding father mengingatkan, sebagaimana  terpampang di Taman Bung Karno, Sukasada Singaraja, tugas kamu mempertahankan dan mengisi kemerdekaan lebih berat karena harus berhadapan dengan bangsa sendiri, aku lebih gampang karena berhadapan dengan orang asing sebagai penjajah. Sekadar catatan Taman Bung Karno Sukasada berjarak kurang lebih 1 km dari SD 1 Singaraja tempat R Soekemi Ayahnda Soekarno mengajar, kurang lebih 3 km dari rumah  Ibu Nyoman Rai Ibunda sang Proklmator.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, pemikir isu kebangsaan, pengamat ekonomi politik dan kecendrungan masa depan.