Denpasar (Metrobali.com)-

Taman Budaya Denpasar hampir tidak banyak berperan dalam pementasan panggung selain sebagai tempat pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) antara Juni-Juli setiap tahunnya, kata Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra.

“Padahal pada era tahun 1980-1990-an pusat pengembangan kesenian Bali itu menjadi panggung Tari Kecak yang sangat disenangi wisatawan mancanegara,” kata Prof Dr I Nyoman Darma Putra di Denpasar, Rabu (29/5).

Pengamat pariwisata dan seni budaya Bali itu juga menilai, daya tarik Taman Budaya di luar aktivitas PKB semakin berkurang, bahkan di luar PKB tidak ada hampir tidak ada aktivitas yang menonjol.

Bahkan koleksi seni lukis dan patung di museum Taman Budaya yang pernah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisman yang datang ke sana, sekarang semakin luntur karena gedungnya kurang terawat.

Pesona fisik taman budaya, meskipun sudah beberapa kali mengalami renovasi juga memudar, tidak lagi berwibawa seperti pada awal didirikan. Sementara selera kemegahan masyarakat juga bergeser ke arah yang lebih besar dan monumental.

“Pudarnya wibawa taman budaya adalah tanda mundurnya ‘staged culture’ di Bali. Ada kabupaten, seperti Gianyar, mencoba membangun gedung kesenian atau balai budaya yang lebih representatif untuk memenuhi kebutuhan akan stage,” ujar Prof Darma Putra.

Upaya tersebut perlu mendapat apresiasi, namun tidak berkembang secara merata di delapan kabupaten lainnya di Bali. Padahal kebutuhan akan panggung pementasan di daerah tujuan wisata ini semakin terasa di mana-mana, disamping masyarakat haus akan hiburan.

Absennya gedung kesenian atau panggung-panggung pertunjukkan di Bali menimbulkan ironi pada wajah seni budaya Bali. Di satu pihak Bali kaya akan seni rupa dan pertunjukan, namun di lain pihak panggung-panggung untuk mementaskannya kian pudar dan menyusut, kata Darma Putra. INT-MB